Mohon tunggu...
Vincent Setiawan
Vincent Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - A person who loves to write and inspire others

I love to live a life that full with logic. I love to write for inspiring you and helps you escape this mystical night ride

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Toa Masjid: Sejarah, Pengaturannya, dan Polemik

23 Februari 2022   10:57 Diperbarui: 23 Februari 2022   11:26 3215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adzan, Bilal, dan Islam - Minews ID 

Toa masjid telah diatur penggunaannya oleh kementrian Agama. 100 desibel, batas tertinggi intensitas suara toa masjid yang diperbolehkan oleh negara. Walaupun penerapan aturan dan sanksinya sangat meragukan, peraturan ini patut kita perhatikan.

Penerapan aturan mengenai pengeras suara masjid ini tergolong lambat apabila dibandingkan dengan negara-negara di daerah timur tengah. Arab Saudi contohnya, telah mengatur penggunaan pengeras suara masjid sejak tahun 2015. Poin aturannya kurang lebih sama dengan yang baru-baru ini dikeluarkan oleh kemenag.

Adzan Menurut Sudut Pandang Sejarah Islam

Adzan, Bilal, dan Islam - Minews ID 
Adzan, Bilal, dan Islam - Minews ID 

Sebenarnya jika melihat pada aturan dalam Islam sendiri, mulanya adzan dilakukan oleh seorang muadzin dengan suara yang lantang, keras, dan merdu. Muadzin pertama dalam sejarah islam adalah Bilal bin Rabbah. Bilal melakukan adzan dari sebuah tembok tinggi di dekat masjid dan menjadi penanda bagi semua umat islam kala itu bahwa waktu Shalat sudah tiba.

Sebuah pemikiran yang sangat baik pada zamannya. Meskipun, tradisi seperti adzan juga telah dilaksanakan oleh ajaran-ajaran agama lain sejamannya. Seperti contohnya para Yahudi dengan terompetnya, atau para zoroatrianis dengan api suci yang dikobarkan. Maka, adzan yang menggunakan suara manusia adalah hal baru dalam pelaksanaan penandaan waktu ibadah. 

Hal ini pun dilaksanakan sebagai sebuah panggilan resmi untuk waktu Shalat, setelah Nabi Muhammad SAW mendapatkan kabar bahwa Umar bin Khattab mendapatkan anjuran yang sama dalam mimpinya. 

Zaman Berkembang, Adzan Menggunakan Pengeras Suara

Jaman berubah dan pengembangan teknologi pun maju pesat. Orang-orang di berbagai negara akhirnya beradaptasi. Seperti contohnya pada umat Islam di Indonesia yang menggunakan bedug sebagai penanda waktu Shalat sebelum adzan dikumandangkan. Maka, adzan yang dipekikkan di atas tembok seperti yang dilakukan Bilal bin Rabbah pun perlahan-lahan tergantikan.

Semakin berkembang zaman, tradisi pun bergeser. Hingga akhirnya, umat muslim menggunakan pengeras suara sebagai salah satu media untuk mengumandangkan adzan. 

Apakah hal ini salah? Tentunya tidak. Malah memang agama seharusnya begini. Berjalan seiringan dengan zaman, berjalan seiringan dengan kemajuan teknologi, dan memberdayakan kemajuan teknologi tersebut.

Lalu Kenapa Penggunaannya Diatur?

Jelas, jikalau kita menilik pada poin-poin yang dikemukakan oleh Kemenag, pengaturan pengeras suara ini diciptakan untuk memelihara keharmonisan antar umat. Bukan hanya umat Islam dengan umat lainnya, namun kepada sesama umat Islam sendiri.

Selain itu, pengaturan pengeras suara masjid sebenarnya ber-impact baik pada suara adzan itu sendiri. Dengan suara adzan yang memiliki desibel tidak terlalu tinggi, suara adzan yang terdengar pastilah lebih merdu. Sekarang, seberapa sering kita mendengar suara adzan yang saling nabrak satu sama lainnya? Bukankah adzan yang saling menabrak ini justru mengganggu kejelasan suara adzan itu sendiri?

Juga, di sisi lain, suara adzan yang terlalu menggulung, bisa menimbulkan interferensi yang bersifat konstruktif. Intensitas suara yang terlalu tinggi akibat adanya interferensi ini, dapat membahayakan kesehatan dan juga merusak lingkungan dalam waktu lama. Bukankah hal ini bertentangan dengan prinsip Rahmatan lil Alamin? 

bukutuliskecil.blogspot.com
bukutuliskecil.blogspot.com

Belum lagi kalau ada ceramah yang memang dalam rangka membandingkan agama. Kalau sampai hal tersebut terekspos ke luar, konflik horizontal di level pemukiman berpotensi terjadi. Hal ini tentunya akan mencoreng citra umat Islam sendiri. 

Oleh sebab itu, menurut saya, yang tinggal dan berasal dari keluarga dengan latar belakang yang majemuk, menyatakan setuju agar penggunaan pengeras suara ini diatur. Bukan sebagai upaya melemahkan umat Islam atau upaya terselubung dari umat lain untuk mengambil umat, namun sebagai upaya untuk menjaga keharmonisan serta mewujudkan Indonesia yang jauh lebih baik.

EPILOG

Maka, sekarang pertanyaan datang untuk para pembaca yang sekiranya menentang pelaksanaan aturan ini. Apa dasar anda menentangnya? Apakah karena anda merasa tradisi islam diobok-obok oleh pemerintah? Atau itu sebenarnya hanyalah ego anda sendiri? Mengingat, di negara mayoritas muslim seperti Arab Saudi dan Turki pun, penggunaan pengeras suara masjid memang diatur untuk keharmonisan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun