Mohon tunggu...
Vincent Setiawan
Vincent Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - A person who loves to write and inspire others

I love to live a life that full with logic. I love to write for inspiring you and helps you escape this mystical night ride

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dari Stress Jadi Gemuk

9 September 2021   20:30 Diperbarui: 9 September 2021   20:32 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Banyak orang yang berkata ketika stress yang terjadi seharusnya adalah badan menjadi lebih kurus. Bahkan ada yang bilang, orang stress itu mukanya seperti mayat. 

Mungkin bagian muka seperti mayat adalah sesuatu yang benar bagi saya kala saya dulu merasakan stress akibat dari Cancel Culture dan juga masalah yang berlarut-larut kala saya SMA. 

Namun, untuk bagian badan menjadi kurus adalah sebuah kemustahilan bagi saya kala itu. Saya sadar betul bahwa tadinya berat badan saya ketika saya berada di kelas 11 awal, selalu stabil di kisaran 67-70. 

Memang cukup gemuk bagi saya yang hanya memiliki tinggi 170 cm kala itu. Namun, dengan tinggi yang sama saya malah memiliki berat badan di kisaran 78-85 kilo di kelas 11 akhir ketika saya sudah merasakan stress. Kok bisa?

Jikalau saya menarik cerita ini kembali ke belakang, saya bisa melihat bahwa penyebabnya adalah 3 hal yang semua manusia sebenarnya lakukan. Tidur, Makan, dan Olahraga. 

Sayangnya, ketiga hal ini tidaklah berjalan secara baik dan tidaklah saling mendukung satu sama lain. Sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam hidup saya kala itu. 

1. Perihal Tidur

Mungkin ini hanya terjadi pada saya, atau terjadi pada orang lain saya kurang tahu juga. Namun, di saat stress saya sedang ada pada puncaknya kala itu, saya luar biasa terikat dengan tidur. 

Rasanya, bangun saja tidak ingin. Saya masih ingat betul di kala saya menghabiskan hampir  12 jam hanya untuk tidur. Waktu itu saya pulang dari sekolah sekitar jam 4 sore, saya mandi, makan sedikit lalu tidur. 

Di pertengahan jam 10 barulah saya terbangun sebentar untuk melakukan tugas dan sekitar pukul 11 malam saya tidur kembali hingga jam 5. 

Dan jikalau anda menerka ini tidak terjadi sekali, anda betul. Ini terjadi hampir kurang lebih 5 hari kala itu. Meskipun begitu orang di rumah hanya berpikir jikalau saya terlalu capek. Padahal faktanya tidaklah seperti itu. 

Itu baru di rumah, lain lagi ketika di sekolah atau di tempat lain. Saya bisa tidur pada jam pelajaran yang kala itu sekitar 45 menit, full. Apalagi kalau tidak ada guru. Jikalau ditotal-total 14-15 Jam saya bisa tidur dalam sehari. Bahkan saya bisa tidur di mana saja. 

Alasan saya untuk tidur hanyalah satu, saya muak dengan dunia yang saya jalani kala itu dan lebih baik kalau saya tidak mendengar atau melihat apa-apa tentang dunia. Tentu saja, makin banyak tidur, makin malaslah saya bergerak. 

2. Perihal makan

Meskipun ketika stress makan saya cenderung sedikit, namun konsumsi gula saya meningkat tajam. Ketika saya pusing berada di sekolah, hal yang selalu saya makan adalah permen. 

Terkadang saya diam-diam memakan permen tersebut di kelas, atau bahkan di toilet sekolah sembari memejamkan mata dan terdiam. Mengapa harus gula? 

Gula seperti doping bagi saya. Sesaat setelah saya makan permen, energi saya memuncak. Saya on fire, tetapi tidak lama saya pun menjadi pusing kembali dan ya paling saya tertidur. 

Hal ini dikombinasikan dengan hal yang pertama maka menjadi sebuah tonjokkan hebat. Gula yang masuk tidak sesuai dengan gula yang dibakar. Malah kebanyakan disimpan dalam bentuk lemak ketika saya tertidur. 

3. Perihal Olahraga

Pernahkah anda berpikir bagaimana caranya saya berolahraga jikalau hampir 15 jam saya bisa tertidur di manapun saya berada? Nah, kalau anda tidak terpikirkan, maka saya pun sama. Ya, stress membuat saya meninggalkan hal yang paling saya cintai yaitu Badminton dan Musik. Namun, yang terparah adalah Badminton. 

Olahraga yang biasanya saya lakukan ketika kamis malam tersebut, saya tidak lakukan selama kurang lebih 2 tahun. Saya hanya memainkan olahraga itu pada saat akhir tahun atau ketika disuruh oleh guru Penjaskes untuk bermain badminton. 

Selebihnya? Tidak pernah. Bahkan saya benar-benar menjadi pemalas. Meskipun bel sudah berbunyi kala itu, saya malah memilih berjalan santai menuju kelas dibandingkan saya harus berlarian. 

Nah, kombinasi antara ketiga hal yang tidak balance tersebut menyebabkan saya mendapatkan penambahan berat badan yang sangat signifikan. Sudah susah gerak, tidur melulu, makan yang manis-manis. 

Ditambah pula saat itu saya sering meminum obat parasetamol untuk mengatasi gejala sakit kepala akibat stress saya. Maka jadilah saya yang memiliki berat badan 85 Kg di akhir masa SMA.

Namun, seiring berjalannya waktu dan berkurangnya stress saya, meskipun sekarang stress dan dampak dari Cancel Culture itu belum hilang, saya sudah bisa berolahraga kembali. 

Pandemi memaksa saya untuk berolahraga dengan alat yang bernama Sepeda. Sepeda selain menjadi olahraga kesenangan saya kala ini, alat tersebut juga bisa menjadi pelarian saya dari segala masalah di masa lalu yang terkadang menghantui. 

Ketika saya bersepeda, pemikiran-pemikiran tersebut tetap muncul, namun setidaknya mereka tersalurkan untuk membakar lemak-lemak saya yang menumpuk. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun