Kejadian terorisme pada 28 Maret 2021 seharusnya menjadi suatu refleksi besar bagi kaum-kaum beragama, dari agama manapun. Apakah agama yang kita percayai sekarang itu memang benar-benar sempurna tanpa cacat cela atau malah memerlukan evaluasi dari kita supaya tidak ada celah untuk oknum-oknum busuk memperdaya celah di dalam agama kita tersebut?
Sesungguhnya ini adalah masalah lama dari kebanyakan agama-agama yang ada di dunia. Entah itu dari golongan abrahamik maupun golongan agama-agama dharmik. Masalah ini adalah diberantasnya kemampuan berfilsafat dan autokoreksi dalam beragama. Imbas dari adanya masalah ini adalah munculnya gerakan-gerakan puritan atau pemurnian ajaran agama dan berimbas kepada pemaknaan secara literal. Di dalam banyak agama, terutama agama yang mencantumkan ayat perang di dalam kitab sucinya, hal ini adalah suatu masalah yang amat sangat besar.
Gerakan puritan sendiri bukanlah hal baru. Bagi umat Islam, gerakan ini mungkin sangatlah dekat dengan gerakan Wahabi. Bagi umat Kristen, gerakan ini bisa menjadi sangat dekat dengan gerakan pemurnian katolik yang berimbas pada munculnya abad kegelapan dan reformasi, ataupun memunculkan adanya gerakan ikonoklasme yang diprakarsai oleh para Calvinis. Bahkan, gerakan-gerakan biksu Tibet yang melakukan protes dengan membakar diri pun bisa kita anggap sebagai gerakan puritan dalam agama.Â
Kaum puritan sendiri sebenarnya memiliki tujuan yang amat sangat mulia. Memurnikan agama bukanlah hal yang mudah, tetapi mereka mengambil jalan itu. Akan tetapi, seperti yang kita ketahui, agama adalah suatu ilmu yang harus dimaknai secara kontekstual. Penafsiran kitab suci, tidaklah bisa didapatkan hanya dari penerjemahan saja.Â
Banyak hal-hal lain seperti konteks ayat diturunkan atau khotbah dibacakan, konteks per kata yang seringkali merupakan kode karena adanya sensor rezim tertentu ketika ayat tersebut ditulis dan sebagainya. Akibat dari adanya konsep agama yang seperti ini, maka pemaknaan secara tekstual bukanlah suatu pilihan bijak bagi segenap masyarakat yang beragama. Namun, disayangkan, pemaknaan secara literal adalah dasar daripada gerakan puritan di setiap agama. Bermula dari sinilah, kita akan menemukan kontradiksi di dalam pelaksanaan geraka puritan.
Pemaknaan yang dilakukan secara literal mengakibatkan tertutupnya jalan filsafat suatu agama. Hal ini tentu adalah masalah yang sangat besar. Secara general, agama sendiri sebenarnya terdiri dari beberapa unsur seperti filsafat, sosial-budaya, dan juga pseudosains. Agama secara tersirat berusaha menjelaskan cara pandang masyarakat pada saat agama tersebut lahir. Oleh sebab itu, banyak sekali tulisan-tulisan dan ayat-ayat dalam Kitab Suci yang sebenarnya memiliki pertentangan moral dengan norma yang kita jalani sekarang di dalam dunia modern.
Jikalau kita beragama secara benar, pintu filsafat ini masih terbuka. Dengan terbukanya pintu filsafat, kita bisa melihat dan menimbang mana saja norma-norma agama yang masih relevan dengan norma modern kita pada saat ini. Hal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa sesungguhnya agama sekalipun memiliki kecacatan akibat berkembangnya norma dan moral masyarakat. Beberapa hal yang dulu bisa dilakukan, tidak bisa kita lakukan lagi pada saat ini.Â
Bagi orang-orang yang memandang ini dengan pandangan dan perspektif positif, kecacatan suatu agama bukanlah suatu aib, melainkan kesempatan. Â Kesempatan untuk umat beragama melakukan evaluasi dan eksplorasi terhadap dogma yang mereka percayai. Dalam agama Buddha, hal ini disebut sebagai Ehipassiko, ataupun dalam agama Islam hal ini disebut Tabbayun. Verifikasi menjadi hal yang sangat vital dan penting di sini. Ketika verifikasi dan evaluasi terjadi di dalam proses ini, maka agama yang kita percayai akan menjadi jauh lebih terlihat kesempurnaannya.Â
Apakah dengan melakukan evaluasi artinya kita melakukan distorsi kepada agama kita? Jawabannya adalah tidak. Selama dogma-dogma inti tidak dirubah, maka distorsi tidaklah terjadi.Â
Akan tetapi, mirisnya, golongan puritan yang berusaha melakukan pemurnian lah yang melakukan distorsi terhadap dogma-dogma inti agama. Sebagai contoh, sumber iman Kristen berpangku pada 3 hal yaitu Tradisi Suci, Kitab Suci, dan Ajaran Gereja. Hal ini menjadi suatu dogma yang sebetulnya sangatlah sakral dalam kehidupan orang Kristen. Akan tetapi, munculnya ikonoklasme dan praktik untuk percaya hanya kepada kitab suci saja memunculkan distorsi kepada dogma inti dari ajaran kristen.Â
Kegiatan ini pun terjadi di banyak agama lainnya, sebagai contoh gerakan Salafi Jihad atau Wahabiisme yang berpangku untuk menegakkan "Dunia Islam" malah mendistorsi ajaran-ajaran kasih yang dibabarkan oleh nabi Muhammad SAW selama hidupnya. Bahkan, beberapa agama "damai" seperti Buddhisme pun mengalami distorsi luar biasa seperti munculnya gerakan ekstrimisme di Myanmar.Â
Pada intinya, geraka puritan menimbulkan ironi tersendiri. Motivasi mereka yang berniat untuk memurnikan agamanya, malah berujung pada adanya distorsi yang mereka lakukan kepada agamanya sendiri. Lantas, bagaimana dengan anda? Manakah di antara 2 kalimat ini yang lebih baik dalam menanggapi terorisme, "Saya mengakui bahwa mereka adalah anggota agama saya dan saya meminta maaf" atau "Mereka bukan anggota agama saya dan mereka adalah Atheis"?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H