Mohon tunggu...
Vincent Setiawan
Vincent Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - A person who loves to write and inspire others

I love to live a life that full with logic. I love to write for inspiring you and helps you escape this mystical night ride

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Percaya dalam Agama Buddha Tidak Asal Percaya Saja

25 Februari 2021   13:41 Diperbarui: 25 Februari 2021   13:49 3300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ehipassiko, come and see you know.....Mungkin bagi umat Buddha yang pernah merasakan datang ke sekolah minggu Buddhis pasti pernah mendengar lagu itu. Ehipassiko, itulah kata pertama yang diucapkan dalam lirik lagu tersebut. Tapi pahamkah anda tentang perkataan Ehipassiko ini?

Jikalau menilik dari etimologinya berasal dari 3 kata yaitu ehi (Datang), passa (Lihat), dan ika (sebuah sufiks/akhiran) sehingga kita bisa menerjemahkan Ehipassiko menjadi Datang dan Lihat. Atau dalam agama Buddha dan pengajarannya seringkali diartikan menjadi Datang dan Buktikan. Alias ini merupakan suatu jenis kata ajakan sekaligus tantangan untuk datang dan membuktikan sendiri ajaran Sang Buddha.

Sebenarnya apa esensi daripada ehipassiko ini sendiri dalam agama Buddha ?

Jikalau kita melihat ke belakang, kata Ehipassiko ini hadir pada beberapa Khotbah Dhamma yang dibabarkan secara langsung oleh Sang Buddha, di antaranya adalah Dhajagga Sutta, Muluposatha Sutta, dan Mahanama Sutta. Dalam khotbah-khotbah ini, sang Buddha membabarkan suatu penghayatan yang patut dihayati oleh semua muridNya yaitu Dhammanusatti (Penghayatan pada Dhamma/Dharma). Di dalam penghayatan ini, ditemukan satu kata Ehipassiko yang merupakan salah satu sifat dari Dhamma. Kata ini jikalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia akan menjadi siap untuk dibuktikan.

Lantas mengapa Dhamma menjadi memiliki sifat Ehipassiko? Mengapa kita tidak boleh percaya saja dengan apa yang kita percayai seperti dogma Abrahamik ataupun dogma-dogma agama-agama mainstream yang lain ?

Jawabannya dapat kita temukan di dalam Kalama Sutta. Dalam Kalama Sutta, dituliskan bahwa salah satu yang harus dilakukan oleh murid Buddha adalah tidak boleh asal percaya. Tidak diperbolehkan murid Sang Buddha untuk langsung percaya terhadap Guru kita, Kitab Suci, Tradisi Lisan, Desas-desus dan hal-hal lain yang belum bisa dibuktikan sendiri oleh murid-muridNya. Meskipun sebenarnya hal ini dibabarkan kepada suku Kalama, tetapi hal ini juga dijadikan salah satu acuan sebagai dasar dogma bagi Buddhis untuk tidak langsung percaya begitu saja.

Mungkin saja, ini adalah upaya sang Buddha kepada segenap muridNya untuk mewaspadai agar mereka tidak jatuh ke dalam fanatisme buta apalagi terhadap Kitab Suci. Dikarenakan sang Buddha sangat paham jikalau selama Beliau berkhotbah, Beliau tidak melakukan pencatatan apapun, tidak melakukan dokumentasi apapun, serta tidak melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pengkanonisasian Khotbah DhammaNya. Khotbah yang Beliau lakukan selalu disampaikan secara spontan. Sehingga, jikalau suatu hari akan dibukukan, kemungkinan besar ini akan menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda.

Serta jikalau kita ingin mengulik ke dalam Dhammapada, Dhammapada I syair pertama dan kedua selalu berbicara tentang bagaimana diri kita diatur oleh pikiran kita. Jikalau kita tidak memiliki pemikiran yang kritis dan hanya ikut-ikut saja apa kata pemuka agama, apa kata Kitab Suci, serta apa kata kabar burung, pastilah diri kita pun akan ikut-ikutan seperti itu. Sehingga ini akan menghancurkan tujuan mulia dari agama Buddha yaitu menuju kepada akhir Dukkha.

Jikalau kita jadikan perbandingan, hal ini bisa disamakan dengan metode ilmiah dalam Sains modern. Dalam sains modern, salah satu hal yang membangun dan menjadi dasar daripada sains adalah skeptisisme dalam berpikir. Suatu teori harus bisa diverifikasi oleh orang yang berbeda-beda di dalam sejarah dan harus menghasilkan hasil yang sama pula. Sehingga, tidak bisa kita hanya menerka-nerka saja.

Akan tetapi, meskipun dibuktikan oleh orang yang berbeda-beda, seorang saintis akan sangat paham dan sangat yakin kalau yang telah ia temukan itu akan memiliki hasil yang sama. Sehingga untuk mempersingkat metode trial and errorsertaverifikasisecara terus menerus, para saintis pun mengembangkan pencatatan menggunakan persamaan matematika yang dapat digunakan sebagai acuan sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda.

Jikalau kita hubungkan, hal ini pun akan kita temukan dalam Buddhisme. Skeptisisme adalah inti yang membangun iman seorang Buddhis (iman akan disebut sebagai Saddha untuk selanjutnya). Sehingga, diperlukan trial and error serta verifikasi berkali-kali dari seorang Buddhis untuk menentukan dan membuktikan Saddha tersebut.

Jikalau seperti itu, maka pembukuan Tipitaka sebagai kitab suci seharusnya akan bertindak sama dengan pencatatan matematis dalam ranah sains. Namun, disinilah terjadi perbedaan. Jikalau kita berbicara soal sains, ketika suatu kejadian telah dibukukan dan didokumentasikan serta dicatat menggunakan persamaan matematis, orang-orang serta para saintis akan memandang dari satu kerangka berpikir yang sama sehingga perbedaan interpretasi dapat dihindari. Akan tetapi, dalam konteks beragama, sekalipun telah dibukukan serta telah dilakukan pengkanonisasian, orang-orang masih bisa melihat dari sudut pandang dan interpretasi mereka sendiri. Sehingga, hal ini akan menimbulkan hasil yang berbeda-beda.

Oleh karena perbedaan di atas, Sang Buddha menyarankan kepada semua murid-muridNya untuk terus melakukan Ehipassiko atau pembuktian sendiri sebelum percaya dengan apa yang diajarkan. Hal ini dikarenakan, jikalau kita tidak melakukan Ehipassiko, kita akan dengan mudah dibawa oleh oknum-oknum jahat dalam agama yang mengubah sudut pandang kita menjadi sama dan searah dengan sudut pandang yang mereka miliki. Hal ini jikalau tidak ditangani akan menjadi masalah dalam Agama Buddha itu sendiri.

Bencana besar pastinya akan menghampiri agama Buddha jikalau Ehipassiko tidak dijalankan. Hal ini bisa kita lihat dalam sosok Bhante Ashin Wirathu. Dikarenakan fanatisme buta Buddhis Myanmar, Bhante Ashin Wirathu pun dengan mudahnya bisa melakukan pembunuhan serta pembantaian kepada etnis Rohingya. Hal ini tentu saja membuktikan bahwa Buddhis Myanmar tidak melakukan ehipassiko secara benar. Karena, jikalau ehipassiko dijalankan secara benar, Buddhis Myanmar tidak akan mungkin mau percaya begitu saja untuk menjalankan praktik kekerasan.

Akhir kata, ehipassiko adalah suatu dasar yang mendasari hampir semua ajaran Sammasambuddha Buddha Gautama. Bahkan peristiwa tercerahkannya sang Buddha pun diawali dengan Ehipassiko yaitu di saat sang Buddha melihat 4 tanda. Bayangkan jikalau sang Buddha tetap diam di istana dan tidak menjalankan Ehipassiko, sepertinya kita tidak akan bisa melihat ajaran Buddha eksis di dunia kita saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun