Mohon tunggu...
Vincent Setiawan
Vincent Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - A person who loves to write and inspire others

I love to live a life that full with logic. I love to write for inspiring you and helps you escape this mystical night ride

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Percaya dalam Agama Buddha Tidak Asal Percaya Saja

25 Februari 2021   13:41 Diperbarui: 25 Februari 2021   13:49 3300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jikalau seperti itu, maka pembukuan Tipitaka sebagai kitab suci seharusnya akan bertindak sama dengan pencatatan matematis dalam ranah sains. Namun, disinilah terjadi perbedaan. Jikalau kita berbicara soal sains, ketika suatu kejadian telah dibukukan dan didokumentasikan serta dicatat menggunakan persamaan matematis, orang-orang serta para saintis akan memandang dari satu kerangka berpikir yang sama sehingga perbedaan interpretasi dapat dihindari. Akan tetapi, dalam konteks beragama, sekalipun telah dibukukan serta telah dilakukan pengkanonisasian, orang-orang masih bisa melihat dari sudut pandang dan interpretasi mereka sendiri. Sehingga, hal ini akan menimbulkan hasil yang berbeda-beda.

Oleh karena perbedaan di atas, Sang Buddha menyarankan kepada semua murid-muridNya untuk terus melakukan Ehipassiko atau pembuktian sendiri sebelum percaya dengan apa yang diajarkan. Hal ini dikarenakan, jikalau kita tidak melakukan Ehipassiko, kita akan dengan mudah dibawa oleh oknum-oknum jahat dalam agama yang mengubah sudut pandang kita menjadi sama dan searah dengan sudut pandang yang mereka miliki. Hal ini jikalau tidak ditangani akan menjadi masalah dalam Agama Buddha itu sendiri.

Bencana besar pastinya akan menghampiri agama Buddha jikalau Ehipassiko tidak dijalankan. Hal ini bisa kita lihat dalam sosok Bhante Ashin Wirathu. Dikarenakan fanatisme buta Buddhis Myanmar, Bhante Ashin Wirathu pun dengan mudahnya bisa melakukan pembunuhan serta pembantaian kepada etnis Rohingya. Hal ini tentu saja membuktikan bahwa Buddhis Myanmar tidak melakukan ehipassiko secara benar. Karena, jikalau ehipassiko dijalankan secara benar, Buddhis Myanmar tidak akan mungkin mau percaya begitu saja untuk menjalankan praktik kekerasan.

Akhir kata, ehipassiko adalah suatu dasar yang mendasari hampir semua ajaran Sammasambuddha Buddha Gautama. Bahkan peristiwa tercerahkannya sang Buddha pun diawali dengan Ehipassiko yaitu di saat sang Buddha melihat 4 tanda. Bayangkan jikalau sang Buddha tetap diam di istana dan tidak menjalankan Ehipassiko, sepertinya kita tidak akan bisa melihat ajaran Buddha eksis di dunia kita saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun