Malam ini, kudengar kembali langkah kakinya di atap bangunan ini, melangkah dengan lesu, menuju kepada tepian gedung setinggi tiga puluh meter ini. Wajahnya meluapkan perasaan bahwa tidak ada lagi harapan di dunia ini. Rambut panjangnya semakin lama semakin menipis, sama seperti selembar daun yang berjatuhan di musim gugur. Wajahnya pun semakin memucat tetapi matanya semakin menghitam.
"Turunlah! Hidup tidak seberat yang kau pikirkan," cegahku.Â
Tangannya yang sudah mulai kehilangan dagingnya sedikit demi sedikit, semakin lama semakin dingin. Dia memang sudah berada di batas kehidupan, tetapi bukan ini batasnya. Batas kehidupan bukanlah mengenai mati dan hidup, melainkan mengenai bertahan atau mengakhirinya dengan paksa.Â
"Kau lagi?! Sudah yang ke sepuluh kali. Aku bukan hendak membunuh diriku sendiri ataupun meloncat dari gedung tinggi ini. Aku hanya ingin menyapa teman-teman dan keluargaku di bawah sana." Wajahnya menunjukkan raut kekesalan. Memang benar sudah sampai sepuluh kali aku berhentikan dia dari pinggiran gedung ini.Â
Keluarganya dan teman-temannya? Siapa mereka? Semenjak orang ini pertama kali datang ke tempat ini, aku tidak pernah mengetahui namanya, bahkan apa latar belakangnya, tetapi yang lebih ku tidak ketahui lagi adalah adanya keluarganya di bawah sana.Â
Keluarga? Keluarga macam apa yang meninggalkan orang sakit sepertinya di apartemen tua nan tidak terurus seperti ini. Hanya keluarga yang menginginkan ia untuk bergabung dengan kematian saja yang akan memberinya kesempatan untuk hidup di tempat ini.
Wajahnya, dengan seluruh raut kesalnya, masih terpampang jelas di hadapanku. Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah, aku yang terbawa oleh hawa penasaran, melangkahkan kakiku ke arahnya.Â
Entah kenapa, beban berat selepas bekerja yang aku rasakan, makin lama semakin ringan kala aku mendekatinya. Wajahnya pun berubah, dari raut kesal setengah mati, berubah perlahan-lahan menjadi senyuman manis. Wajah itu sangat membuat tenang hatiku, bahkan membuat langkahku semakin ringan mendekatinya.
Sedikit demi sedikit, aku menghampirinya.
"Itulah keluargaku. Menyenangkan bukan jikalau kau bisa bertemu keluargaku? Sekarang ayo aku perkenalkan engkau kepada keluargaku."Â
"Ya, perkenalkanlah aku dengan mereka."
Keluarganya, yang berada tiga puluh meter di bawah sana, entah mengapa menjadi semakin dekat. Wajah mereka, yang semakin dekat aku lihat, semakin mengembangkan senyumannya.Â
Tenang. Tenang sekali rasanya. Tidak pernah ada ketenangan seperti ini. Sampai-sampai ketenangan ini membawaku merasakan hawa dingin di sekujur tubuhku.Â
Mataku, menjadi semakin gelap. Gambaran terakhir yang aku lihat adalah senyuman mereka, keluarga perempuan itu. Senyuman yang membawaku kepada ketenangan ini.Â
Dan kala aku merasakan suara terakhir yang kudengar, aku mendengar suara ini, "Terima kasih kau telah berani menemui keluargaku. Sekarang istirahatlah, tubuhmu sudah terlalu lelah. Sudah saatnya kau tertidur."
Ah, aku baru sadar. Aku baru saja termakan bualannya. Bualan dari kematian.
Cerpen ini terinspirasi dari  lagu Yoru ni Kakeru oleh YoasobiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H