Mohon tunggu...
Dimas Sanubari
Dimas Sanubari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Kampus Ungu Semarang

Suka merenung tapi bukan filsuf.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kecanduan Sosial Media Berujung Krisis Identitas

29 Oktober 2020   18:57 Diperbarui: 3 April 2022   16:10 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring berkembangnya sosial media pada masa kini semakin bervariasi fiturnya serta menjadikan wadah juga untuk menghubungkan banyak orang dan sekaligus sosial media sangat membantu sekali ketika kita ingin update informasi terbaru. 

Sosial media pun tidak ada batasan umur untuk penggunaannya dan semua orang bebas mengekspresikan apa yang dia inginkan ketika ingin mengunggah postingan seperti foto, video, musik, status, dan masih banyak lagi.

Perkembangan digital semakin canggih dan tidak bisa dipungkiri kalau arus informasi akan mudah didapat secara cuma-cuma, nah dari hal tersebut secara tidak langsung kita akan disuguhkan hal-hal yang ada di dunia maya kepada diri kita sendiri dan bisa jadi setiap orang masing-masingnya akan menjadi ketergantungan terhadap sosial media terkhusus remaja karena di  usianya yang bisa dikatakan masih muda pasti sangat haus dengan informasi atau konten-konten yang sedang tenar pada masanya. 

Menurut Soejipto (Noviana Dewi, Stefanus Khrismagung Trikusimaadi, 2006 : 227) mengungkapkan bahwa  kecanduan internet memiliki gejala psikologis antara lain perasaan euforia, kemampuan mengontrol pemakaian internet, menambah waktu untuk berinternet, kemampuan bersosialisasi berkurang, depresi, suka berbohong, dan bermasalah secara sosial. Ketika individu mulai kecanduan internet, individu tersebut cenderung menarik diri dari dunia nyata.

Maka bisa dikatakan bahwa sosial media pada masa kini memang sangat dibutuhkan kalangan semua orang, namun hal yang tidak bisa kita hindari adalah cara mengontorol waktu penggunaanya dan setiap masing-masing orang pasti lebih asik melihat kehidupan orang lain yang ada pada dunia maya contohnya seperti selebram, artist, atau mungkin influencer. 

Dan pada akhirnya setiap individu membandingkan kehidupan dirinya sendiri dengan orang lain karena menurut saya media sosial sudah seperti menjadi lingkungan sosial yang di mana itu juga mempengaruhi identitas dirimu sendiri.

Semakin banyak referensi  yang kita temukan di sosial media akan semakin membuat bingung pada diri kita sendiri. Mungkin penggambaran contoh kasus yang biasanya terjadi pada beberapa orang yaitu ketika melihat kehidupan orang lain yang biasanya selalu update lalu secara tidak sadar kita ingin hidup seperti orang lain, padahal setiap individu mempunyai kondisi fisik, sosial, psikologis yang berbeda-beda. Jadi pertimbangan untuk nilai-nilai maupun kebudayaan yang berlaku di lingkungan juga berbeda. 

Banyak orang menafsirkan kalau sosial media sebagai ajang pamer, entah pamer kekayaan, pamer otak, apa pun itu. Kalau kasusnya orang sedang berproses mencari jati diri, kemungkinan akan merasakan perbandingan-perbandingan tersebut akan menjadikan semakin jauh dari jawaban yang diinginkan karena belum tentu setiap individu masing-masing ingin mengaplikasikan diri kita untuk menjadi diri kita sendiri.

Teori yang mengenai krisis identitas ini lahir karena Erickson percaya bahwa hal ini merupakan masalah kepribadian yang sering dihadapi banyak orang dalam hidupnya. 

Apakah anda pernah merasakan iri karena melihat postingan teman di sosial media? Atau mungkin anda pernah mengunggah postingan yang mengarah ke self center? Proses pembentukan identitas akan terjadi ketika di masa remaja. 

Apalagi identitas akan terus berkembang dan bisa saja berubah-ubah tergantung kondisi di sekitarannya, dinamis bukan? Ini hal yang wajar. Untuk mengkonsistenkan suatu karakter identitas amatlah susah, hal tersebut kembali lagi kepada diri kita masing-masing.

Selayaknya sosial media yang bisa digunakan siapa pun maka krisis identitas juga bisa terjadi pada siapa saja tanpa memandang kelompok usia dan paruh baya. 

Menurut saya, krisis identitas akan muncul ketika kita terlalu banyak melihat apa yang ada di sosial media sampai membuat kita tidak bisa melihat diri kita sendiri dan bisa saja karena kita menerima represi atau mendapatkan tekanan yang membuat tidak kenyamanan serta keraguan atas identitas yang dimilikinya. 

Dalam upaya mengatasi krisis identitas, menurut Foulcher dan Day (Rakhman Fadly, 2013 : 4) manusia harus melakukan konstruksi identitas dengan melakukan resistensi, yakni tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk mengatasi represi-represi yang diterima olehnya. 

Kajian-kajian poskolonial, khusunya kritik sastra poskolonial, seringkali terfokus pada cara-cara bagaimana sastra meneliti masalah identitas dengan menggunakan pengertian “hibriditas” (suatu bentuk resistensi) sebagai cara untuk mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang suatu saat akan menghasilkan pembentukan budaya dan identitas-identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri.

Pada saat di masa seperti ini memang sangat sulit sekali untuk menjauhkan dari yang namanya sosial media tapi tidak ada salahnya kalau kita meluangkan waktu untuk rehat sejenak pada kehidupan yang ada di dunia maya. 

Tidak ada salahnya mencoba terlebih dahulu untuk melakukan puasa bermain sosial media karena bisa menjadikan toxic pada diri sendiri, sebenarnya yang toxic itu bukan sosial media tapi diri kita yang selalu berpikiran tidak-tidak dan selalu membandingkan kedipuan orang lain. 

Ditambah kita akan membuang waktu untuk hal yang tidak ada benefit dari diri sendiri dan secara tidak langsung energi kita habis untuk hal yang tidak bisa kalian aplikasikan diri Anda sendiri. “Langit terbuka luas, mengapa tidak pikiranku, pikiranmu?” mengkutip judul lagu dari band Pure Saturday.

Di luar sosial media yang merupakan dunia maya, kita bisa semakin menggali dari diri kita. Mulailah dari melakukan aktivitas sehari-hari, menggunakan waktu beristirahat sebaik mungkin, atau melakukan hobi yang kalian suka, hingga bertemu dan berinteraksi langsung dengan orang lain. Jadi, jangan lupa memanusiakan diri sendiri yes! 

Sebenarnya ada banyak cara lagi untuk menjauhkan diri kita dari sosial media, tapi cara-cara itu semua tergantung dari diri kita masing-masing. Bulatkan tekad dan berpikirlah selalu kalau dirimu tidak akan pernah sendirian, you’ll never walk alone! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun