Perang ternyata juga membawa perubahan dalam norma perjalanan sosial masyarakat Cina. Sebelum berperang, yaitu pada masa berkembangnya feodalisme, struktur sosial masyarakat Chou cenderung bersifat implisit. bisa dikatakan pada masa peperangan hampir tidak mungkin terjadi kenaikan status sosial. Anak yang lahir dari petani, selama hidupnya juga hanya akan terus menjadi seorang petani.Â
Secara hukum tidak mungkin dia dapat menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan, meski pun ia mempunyai kemampuan yang cukup. malahan, anak yang lahir dari kelas bangsawan, meski pun  kurang memiliki kemampuan, akan dengan mudah menjadi penguasa ketika dirinya sudah tumbuh dewasa.Â
Dalam organisasi sosial semacam itu, nasib seseorang ditentukan oleh keturunan mereka. Dengan adanya perang, aturan perpindahan status sosial mengalami perubahan yang cukup berarti. Perang menjadikan adanya perubahan struktur sosial dalam masyarakat Cina, masyarakat menjadi lebih bersifat terbuka dari pada masa sebelumnya.Â
Perubahan itu tidak dapat dilepaskan dari usaha kaum bangsawan untuk memenangkan pertempuran. Usaha itu mereka lakukan, salah satunya, dengan jalan memperbanyak anggota pasukan tempur. Dari sinilah kaum bangsawan kemudian berusaha merekrut orang-orang dari kelas petani untuk dijadikan pasukan tempur.
Para bangsawan tingkat rendah yang keahliannya hanya mengurusi administrasi secara bertahap kehilangan jabatan dan bahkan juga pekerjaan. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar apabila mereka kemudian mereka membenci peperangan. Di samping itu kaum bangsawan rendahan "eks birokrat" yang tidak lagi mempunyai pekerjaan, perang juga mengakibatkan kehancuran dan kesengsaraan bagi masyarakat luas.
Dalam situasi perang, hukum resmi tidak dapat dijalankan dengan sebagaimana semestinya. Yang berlaku dalam masyarakat umum adalah hukum rimba: Siapa yang kuat akan menang dan dapat berbuat semaunya atau berkuasa atas kemenangan yang ia peroleh. Tata krama atau li dan nilai-nilai kebajikan lainnya tidak lagi diperhatikan. Tokoh-tokoh eks birokrat yang mencuat karena ajarannya diikuti oleh
Banyak orang antara lain adalah Konfusius, Mencius, Hsun-tzu, Lao-tzu, Shang Yang, Li Ssu dan Han Fei-tzu. Dengan hadirnya para pemikir sistem pengajaran lama menjadi ketinggalan zaman Dengan adanya revolusi sistem pendidikan, pengajaran tidak lagi semata-mata berorientasi untuk menciptakan manusia terampil. Kepada para siswa diberikan materi pengetahuan yang mengembangkan daya penalaran dan perasaan. Pemahaman tentang nilai-nilai kemanusiaan menjadi unsur sentral dalam pendidikan, dengan tujuan untuk membentuk manusia yang berpribadi dan berani mengambil sikap berdasarkan pandangan pribadi.
Konfusius dan pemikirannya
Pandangan yang paling dasar Konfusianisme adalah bahwa kehidupan yang tertib, damai dan bahagia merupakan impian setiap orang. Dalam kerangka itu, penguasa menjadi salah satu faktor kunci terwujud atau tidaknya cita-cita tersebut. Apabila penguasanya berkarakter idealis, mau tidak mau masyarakatnya akan mengalami tekanan dan penderitaan. Jika penguasanya baik, penuh kebajikan memperhatikan dan bahkan mengutamakan kepentingan rakyat, pasti masyarakat akan hidup dengan penuh kesejahteraan dan kedamaian, yang dimana itu  merupakan bagian yang penting untuk mewujudkan adanya keharmonisan semesta.Â
Pentingnya karakter moral penguasa dapat dipahami salah satunya dari pandangan Konfusius atau Kung Fu-tzu. Dia memandang suatu masyarakat sebagai suatu struktur. Setiap lembaga merupakan sub struktur yang memiliki kewajiban memenuhi tujuan struktur besarnya.Â
Oleh karena itu, setiap sub struktur, harus memahami kedudukannya di dalam keseluruhan struktur. Ungkapan yang terkenal dari Konfusius adalah: "Hendaknya seorang penguasa bersikap sebagai penguasa, seorang menteri bersikap sebagai menteri, seorang ayah bersikap sebagai ayah dan seorang anak bersikap sebagai anak".Konfusius memberi nama pada manusia yang diidealkannya sebagai Chun tzu yang dapat diterjemahkan seperti manusia agung. Menurut dia manusia agung adalah orang yang melaksanakan li (adat istiadat atau etika) dan te atau kebajikan pokok yang meliputi: integritas pribadi (ching), keadilan (i), kesetiaan (chung), toleransi (shu), dan perikemanusiaan (jen)