Mohon tunggu...
vincentius EkaPutra
vincentius EkaPutra Mohon Tunggu... Lainnya - penulis

selamat datang, terimakasih telah berkunjung

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pola Pemikiran Metafisis dari Thomas Aquinas

2 April 2022   21:06 Diperbarui: 2 April 2022   21:13 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pluralisme Herakleitos

Pada dasarnya, kenyataan itu jamak dan beranekaragam dan terdiri dari 'individu-individu' yang otonom dan tanpa hubungan intrinsik. Karenanya, pluralisme menekankan perbedaan dan otonomi. Pluralisme Herakleitos mengarah pada aforismenya tentang panta rei, bahwa segala sesuatu mengalir terus. Pendapat ini ia temukan saat masuk ke dalam air dan setelah mengeluarkan kakinya dari dalam air tersebut ia melihat tidak ada sesuatu pun yang tetap, sebab air itu terus mengalir dengan membawa bekas pijakannya yang pertama. Kenyataan merupakan arus air yang mengalir dan ini mengindikasikan bahwa kenyataan itu berubah-ubah. Kenyataan yang kita alami dalam suatu waktu tidak akan dapat kita alami lagi di waktu yang lain meskipun gejala dan situasinya adalah sama. Oleh sebab tidak ada sesuatu pun yang tetap dan mantap, semuanya dalam proses kemenjadiannya. Perbedaan, perubahaan adalah sesuatu yang pasti dan dasarnya adalah kemampuan inderawi. Hal ini merupakan pertentangan terhadap monisme yang menyangkal penangkapan iderawi. Monisme bertentangan dengan apa yang dapat disaksikan dengan indera, maka harus ditolak.

Metafisika Aristoteles sebagai metafisika pertama

Aristoteles membangun suatu pondasi bagi 'bangunan' metafisika. Ia mengemukakan tema metafisika adalah "kenyataan sekadar kenyataan". Meskipun Aristoteles meletakan dasar it is dalam metafisika, namun dalam metafisika yang dikembangkannya tidak menjawab persoalan atau merefleksikan rumusan fundamental yang telah dikemukakan sebelumnya. Aristoteles justru membahas suatu cara berada daripada membahas mengenai mengada yang hadir dalam segala cara berada. Menurutnya, terdapat dua cara berada yakni substansi dan aksidensi. Substansi dipandang sebagai suatu cara berada yang otonom. Substansi berdiri sendiri dan ada oleh karena diri sendiri (esse in ipso). Keberadaannya tidak tergantung pada yang lain. Yang dibutuhkan dalam substansi adalah esensi dan causa atau penyebab keberadaannya. Sementara cara berada yang kedua adalah aksidens. Ada aksidens tidak dapat berdikari dari dalam dirinya sendiri. Keberadaannya tergantung pada ada yang lain. Ia berelasi dan membutuhkan ada yang lain misalnya keberadaan warna. Kita tidak dapat membayangkan warna tanpa adanya substansi atau bentuk yang menyertainya. Keberadaan warna selalu melekat pada keberadaan substansi. Berbeda halnya dengan kursi sebagai ada substansi. Keberadaan kursi tidak tergantung pada warna. Substansi kursi hanya melibatkan hakekat dan penyebab keberadaannya.

Metafisika Thomas Sebagai Metafisika Kedua

Metafisika Aristoteles merupakan metafisika yang pertama. Aristoteles telah meletakkan dasar realitas dalam metafisika. Kenyataan seluas segala kenyataan melibatkan di dalamnya baik itu realita unitas dan realita pluralitas. Kesatuan merupakan prinsip mendasar dari aktus formalis yang mengandung berbagai jenis yang sama. Di dalam keberadaan jenis yang sama itu, terdapat individualitas yang identic dan menciptakan pluralitas. Cara berada yang tertinggi adalah cara berada substansi-aksidens. Akan tetapi, Aristoteles tampaknya kurang konsekuen terhadap rumusan dasar prinsip metafisisnya. Hylemorfisme belum sampai pada dasar keberadaan yang universal.

Tentang dasar keberadaan yang universal ini baru secara eksplisit muncul dalam pemikiran Thomas Aquinas tentang aktus mengada atau actus essendi. Sejatinya, pemikiran metafisis Thomas merupakan kelanjutan dari tema metafisika yang telah digagas oleh Aristoteles yakni kenyataan sekadar kenyataan. Kenyataan yang hakiki tidak hanya terbatas atau hanya didasarkan pada kesamaan jenis. Kenyataan bahwa terdapat unitas maupun pluralitas ditempatkan dalam kerangka yang lebih mendalam yakni aktus mengada atau actus essendi. Dalam pemikiran Aristoteles, actus yang utama adalah actus formalis yang memungkinkan banyak materia prima menjadi satu. Dalam konsep Thomas Aquinas terjadi peralihan yakni bahwa actus yang utama adalah actus essendi. Dengan demikian, terungkap bahwa pusat metafisika Thomas berorientasi pada pembahasan mengenai aktus mengada.

Thomas menyebut aktus mengada sebagai aktus dari segala aktus yang lain dan kesempurnaan dari segala kesempurnaan lain. Aktus mengada disebut sebagai aktus dari segala aktus yang lain karena sifat ada adalah prinsip universal yang berlaku bagi segala hal. Aktus mengada meresapi segala keberadaan aktus yang lain, bahkan jika hendak kita sandingkan dengan aktus jenis, mengada adalah dasarnya. Mengada merupakan sifat atau ciri sempurna dan serba utuh yang mengandung dan mendasari segala sifat dan kesempurnaan lainnya. Ada berarti ketidakterbatasan, maka secara logis hanya ada satu saja. Jika sesuatu itu terbatas, maka sesuatu itu akan menjadi banyak. Di dunia ini ada banyak hal yang masing-masing dibatasi oleh hakekat dan eksistensinya. Oleh karena itu, pembatasan memunculkan keberagaman. Kekhasan aktus mengada yang mencerminkan pluralitas terletak pada banyaknya hal yang berada dan semua yang berada itu merupakan satu kesatuan sebagai ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun