Mohon tunggu...
Vincent Gaspersz
Vincent Gaspersz Mohon Tunggu... -

Vincent Gaspersz, adalah Profesor bidang teknik sistem dan manajemen industri. Menulis disertasi doktor di ITB tentang Keterkaitan Struktur Industri dengan Produktivitas di Indonesia, 1991 (Studi Pembangunan Ekonomi dan Sistem Industri Periode 1967-1988).

Selanjutnya

Tutup

Money

Manajemen Six Sigma (Bagian Terakhir)

7 Agustus 2014   05:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:13 5480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Contoh Pengukuran Kapabilitas Six Sigma (Bagian Terakhir)

Oleh: Vincent Gaspersz, Lean Six Sigma Master Black Belt

Makna Pengukuran dalam Manajemen Six Sigma



Terdapat suatu paham/kepercayaan (credo) dalam Six Sigma, yaitu:

Kita tidak mengetahui apa yang kita tidak tahu,

Kita tidak akan bertindak terhadap apa yang kita tidak tahu,

Kita tidak akan mengetahui sampai kita mencari tahu,

Kita tidak akan mencari tahu untuk apa yang kita tidak menanyakan (bertanya),

Kita tidak menanyakan apa yang kita tidak mengukur,

Dengan demikian, maka kita hanya akan tetap menjadi tidak tahu!

Pada tahun 1891, ahli ilmu fisika Inggris Lord Kelvin menulis: “Bila kita dapat mengukur apa yang kita sedang membicarakan, dan menyatakan itu dalam bentuk angka-angka, maka kita mengetahui sesuatu tentang itu; tetapi apabila kita tidak dapat mengukurnya, dan apabila kita tidak dapat menyatakan itu dalam bentuk angka-angka, maka pengetahuan kita adalah tidak lengkap dan tidak memuaskan”.

Ungkapan lain yang berkaitan dengan makna pengukuran adalah:

Mengukur adalah untuk mengerti (memahami),

Memahami adalah untuk memperoleh pengetahuan,

Memperoleh pengetahuan adalah untuk memperoleh kekuasaan (power).

Karena sejak awal waktu kehidupan, hal-hal yang membedakan manusia dengan hewan adalah:

Kemampuan mengamati (observasi), mengukur (measure), menganalisis (analyze), dan menggunakan informasi itu untuk keputusan membawa ke arah perubahan yang lebih baik.

Interpretasi secara bebas terhadap makna dari ketiga pernyataan tentang manfaat pengukuran di atas adalah bahwa pengukuranmemainkan peranan yang sangat penting bagi peningkatan suatu kemajuan (perubahan) ke arah yang lebih baik. Dalam manajemen Six Sigma, pengukuran terhadap fakta-fakta akan menghasilkan data, yang kemudian apabila data itu dianalisis menggunakan alat-alat dan teknik-teknik Six Sigma secara tepat, maka akan memberikan informasi yang akurat, yang selanjutnya informasi itu akan berguna bagi peningkatan pengetahuan para manajer dalam membuat keputusan atau tindakan manajemen untuk meningkatkan kinerja organisasi secara terus-menerus.

Mengubah Unit Pengukuran dari Persen (Per Seratus) menjadi Per Sejuta

Manajemen Six Sigma akan mengubah unit pengukuran dari persen (per seratus) menjadi per million (per sejuta), karena organisasi yang beroperasi pada tingkat 5-Sigma atau 6-Sigma akan sulit mengucapkan kinerja kegagalan dalam bentuk persen (%).

Konversi unit pengukuran dari persen menjadi per sejuta adalah:

1 persen = 1% = 1/100 = 10.000/1.000.000 = 10.000 per sejuta = 10.000 DPM (Defects Per Million) atau 10.000 DPMO (Defects Per Million Opportunities).

Bayangkan kalau suatu organisasi telah mencapai kapabilitas 6-Sigma, yang berarti telah mencapai 3,4 DPMO, maka akan SULIT mengucapkan tingkat kegagalan dalam persentase (%), KARENA:

3,4 DPMO = 3,4/1.000.000 = 0,00034 / 100 = 0,00034 persen = 0,00034%.

Organisasi yang telah mencapai kapabilitas 4-Sigma atau lebih telah HARUS mengkonversi unit pengukuran kesalahan atau kegagalan dari persentase menjadi per sejuta (DPM = Defects Per Million) atau DPMO (Defects Per Million Opportunities).

Pada dasarnya pengukuran berbagai Key Performance Indicators (KPIs) dapat dikonversi ke pengukuran kapabilitas Sigma, dengan membuat target kinerja = 100%. Setiap penyimpangan dari target kinerja dianggap kegagalan, sehingga jika penyimpangan 1% = 1/100 = 10.000/1.000.000 = 10.000 dpmo (defects per million opportunities).

Contoh KPIs dari FISIP Universitas Indonesia dapat dilihat di sini:

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCAQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.fisip.ui.ac.id%2Fkpi.pdf&ei=C-DhU6_BI4mJuASonoDICQ&usg=AFQjCNHX-ApGDyx0IDSjedcI2oYThxOZWQ&sig2=wHgqCoOf4NAwyxZ-MPN5Ag&bvm=bv.72197243,d.c2E

Matriks KPIs Universitas dapat juga dilihat di sini:

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&ved=0CDEQFjAD&url=http%3A%2F%2Fwww.puskom.upnvj.ac.id%2Fdownload%2FMatriks%2520KPI%2520Universitas.xls&ei=C-DhU6_BI4mJuASonoDICQ&usg=AFQjCNGxyQXd3dT1ugq8XjRQGiGYkMjEiQ&sig2=nRiBFrmQpjjtrpyQZu6VzQ&bvm=bv.72197243,d.c2E

Dengan mengubah pengukuran kinerja perguruan tinggi di atas dari persentase menjadi DPMO, maka secara langsung akan mensosialisasikan manajemen Six Sigma dalam pengelolaan perguruan tinggi, sehingga membuat civitas akademika perguruan tinggi di Indonesia menjadi familiar dengan Six Sigma, yang sekaligus akan membuatterjadi “link and match” antara dunia perguruan tinggi dan dunia industri di Indonesia. Karena seperti disebutkan dalam rangkaian tulisan tentang manajemen Six Sigma bahwa kebutuhan dunia industri terhadap personel Six Sigmapada saat sekarang maupun di masa mendatang akan meningkat sejalan dengan telah diadopsi metodologi Six Sigma sebagai Standar Internasional ISO 13053-1:2011 dan aka nada perubahan signifikan dalam Standar Sistem Manajemen Kualitas. Internasional ISO 9001:2015.

Sistem pendidikan “link and match” semacam ini  telah dilakukan di Jepang, di mana alat-alat dan teknik-teknik pengendalian kualitas seperti: tujuh alat (seven tools) yang sering dipergunakan dalam pengendalian kualitas telah diajarkan sejak sekolah menengah, sehingga ketika seseorang lulus dari sekolah menengah dan bekerja di industri, maka mereka telah familiar dengan alat-alat pengendalian kualitas itu.

Pengukuran Kinerja Menggunakan Six Sigma

Six Sigmadapat dijadikan sebagai ukuran target kinerja organisasi, tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma yang dicapai, maka kinerja sistem organisasi akan semakin baik. Sehingga 6-sigma otomatis lebih baik daripada 4-sigma, lebih baik daripada 3-sigma. Berikut ini akan dikemukakan penggunaan konsep Six Sigma dalam pengukuran berbagai kasus seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.

.

Contoh perhitungan dalam Tabel 1. dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:


  • Kasus transaksi bisnis untuk 500.000 pelanggan per satuan waktu tertentu.
  • Unit total = 500.000 transaksi
  • Kapabilitas 1-Sigma = 691.462 DPMO =(691.462 / 1.000.000) x 500.000 = 345.731 kegagalan atau kesalahan transaksi.
  • Kapabilitas 3-Sigma = 66.807 DPMO =(66.807 / 1.000.000) x 500.000 = 33.404 kegagalan atau kesalahan transaksi.
  • Kapabilitas 5-Sigma = 233 DPMO =(233 / 1.000.000) x 500.000 = 117 kegagalan atau kesalahan transaksi.
  • Kapabilitas 6-Sigma = 3,4 DPMO =(3,4 / 1.000.000) x 500.000 = 2 kegagalan atau kesalahan transaksi.

Tampak kapabilitas 6-sigma jauh lebih baik dari kapabilitas 5, 4, 3, 2, dan 1-sigma.

Tabel 1. Pengukuran Kapabilitas Sigma dari Beberapa Kasus

140733759839564300
140733759839564300

14073377051563483256
14073377051563483256


Sumber: Futerer, S. L. (2009). Lean Six Sigma in Service Application and Case Studies. CRC Press, New York.

Dari Tabel 1 tampak bahwa untuk kasus anggaran pembangunan sebesar Rp. 2.000 trilyun, apabila manajemen anggaran telah mencapai kapabilitas Six Sigma, maka berarti HANYA akan ada penyimpangan sekitar Rp. 6,8 milyar. Jika manajemen anggaran baru mencapai kapabilitas 3-Sigma, maka berarti terjadi penyimpangan sekitar Rp. 134 trilyun. Jika sinyalemen ketidakefektifan anggaran pembangunan di Indonesia sekitar 30% yang dikemukakan oleh Alm. Prof. Soemitro Djojohadikusumo, maka berarti kapabilitas manajemen anggaran di Indonesia MASIH berada di sekitar 2-Sigma; jauh di bawah manajemen anggaran pembangunan di negara-negara maju yang umumnya telah memiliki kapabilitas di sekitar 5-Sigma maupun 6-Sigma. .

Itulah makna pengukuran kapabilitas Sigma di atas agar kita mengetahui posisi kinerja manajemen sekarang, dan berusaha meningkatkan kinerja itu terus-menerus agar mencapai kapabilitas 6-Sigma dengan target utama kesalahan NOL (zero defect/error) dalam setiap aktivitas untuk semua bidang kehidupan. Dari gambar di atas dapat juga diketahui bahwa tingkat kecelakaan pesawat terbang telah mencapai sekitar kapabilitas 6-Sigma, NAMUN penanganan bagasi baru mencapai kapabilitas sekitar 4-Sigma.

Contoh Pengukuran Kapabilitas Proses (Nilai Sigma) dari Jasa Pengangkutan Kapal Ferry

Bayangkan bahwa telah dilakukan pengukuran selama periode tiga bulan, dan diperoleh informasi bahwa dari proses pengangkutan sebanyak 24 ribu penumpang diketahui jenis-jenis keluhan dari penumpang seperti dalam Tabel 2.

Tabel 2.

14073377912064299050
14073377912064299050


Dari informasi di atas, kita mengetahui bahwa kapabilitas proses pengangkutan (jasa kapal Ferry) adalah 2.94 sigma, masih jauh dari 6-sigma (DPMO = 3,4), sehingga harus ditingkatkan lagi kinerjanya agar mencapai kapabilitas proses 6-Sigma dalam pelayanan penumpang.

Contoh Pengukuran Kapabilitas Proses pada Industri Listrik

Penulis pernah mengukur kinerja PT. PLN dalam hal kontinuitas ketersediaan listrik, di mana pada umumnya ukuran kapabilitas proses dari PT. PLN dalam menyediakan listrik masih berada di bawah 3-sigma. Beberapa pengukuran kinerja PLN menggunakan perspektif Six Sigma ditunjukkan dalam Tabel 3. Berdasarkan informasi ini, maka manajemen PLN dapat menentukan baseline kinerja, kemudian berusaha giat terus-menerus melalui Tim Peningkatan Kinerja agar mampu membawa perusahaan menuju keunggulan bisnis berkelas dunia pada kapabilitas 6-Sigma.

Tabel 3.

1407337835432438922
1407337835432438922


Catatan: jika kinerja kapabilitas proses PLN mampu ditingkatkan menjadi 4-sigma (6210 dpmo = defects per million opportunities), maka ketiadaan listrik dalam 1 tahun = 54,40 jam atau 2,27 hari; atau ketiadaan listrik dalam 1 bulan = 4,47 jam saja.

Tampak bahwa pada tingkat kapabilitas proses 6-sigma (3,4 dpmo), maka ketiadaan listrik dalam satu tahun hanya 1,79 menit atau 8,81 detik per bulan, dan kinerja ini telah dicapai oleh negara-negara maju di dunia.

Berdasarkan informasi di atas, PLN di setiap area atau wilayah dapat menentukan baseline kinerja dari kapabilitas proses dalam nilai sigma. Sebagai misal, PLN wilayah DKI Jaya apabila masih berkisar sekitar 3-sigma, maka masih akan ada ketiadaan listrik di DKI Jaya sekitar 24,38 hari per tahun atau 48,10 jam per bulan.

Contoh Pengukuran Kapabilitas Sistem K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)

Six Sigma dapat juga dipergunakan untuk mengevaluasi keefektifan dari sistem K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) yang telah diimplementasikan. Misalkan berdasarkan pengukuran kecelakaan kerja diperoleh data berikut:

Unit pengukuran = karyawan

Defect = karyawan yang mengalami kecelakaan kerja dan sakit

Opportunity for Error dalam 1 unit = 1 karyawan per hari kerja

Dalam 1 tahun diketahui ada 250 hari kerja.

Misalkan ada 1386 karyawan dalam perusahaan dan terjadi 113 kasus kecelakaan kerja dan sakit dalam setahun (terdapat 113 karyawan yang sakit dan mengalami kecelakaan kerja).

Perhitungan Defects Per Unit (DPU) = (total # defects) / (total # units) = (113 karyawan/tahun) / 1386 karyawan = 0.0815295/tahun.

Perhitungan DPMO (Defects Per Million Opportunities) = ((DPU/tahun) x 1.000.000)/Opportunities for error dalam 1 unit = ((0.0815295/tahun) x 1.000.000) / (250 hari kerja/tahun) = 326 DPMO.

Nilai 326 DPMO ini dapat dikonversikan ke dalam nilai sigma menggunakan Microsoft Excel, yaitu: =normsinv((1000000-326)/(1000000))+1.5 = 4.91.Dalam hal ini kita mengetahui bahwa kapabilitas sistem K3 di perusahaan itu adalah 4.91 Sigma.

Contoh lain dilakukan perhitungan berdasarkan hari kerja produktif yang hilang.

Unit pengukuran = hari kerja produktif

Defect = kehilangan hari kerja produktif karena kecelakaan kerja dan/atau sakit.

Opportunities for Error in One Unit = 1 per hari kerja produktif. Dalam 1 tahun diketahui ada 250 hari kerja, yang berarti sama dengan: 1386 karyawan x 250 hari kerja = 346.500 hari kerja karyawan produktif.

Misalkan berdasarkan perhitungan selama setahun terjadi kehilangan 3.218 hari kerja karyawan produktif karena kecelakaan kerja dan/atau sakit.

Perhitungan Defects Per Unit (DPU) = (total # defects) / (total # units) = (3.218 hari kerja karyawan yang hilang/tahun)/(346.500 hari kerja karyawan/tahun) = 0.0092871.

Perhitungan DPMO (Defects Per Million Opportunities) = ((DPU/tahun) x 1.000.000)/Opportunities for error dalam 1 unit = ((0.0092871/tahun) x 1.000.000) / 1 = 9.287 DPMO.

Nilai 9.287 DPMO ini dapat dikonversikan ke dalam nilai sigma menggunakan Microsoft Excel, yaitu: =normsinv((1000000-9287)/(1000000))+1.5 = 3.85.Dalam hal ini kita mengetahui bahwa kapabilitas sistem K3 di perusahaan itu adalah 3.85 Sigma.

Six Sigma Business Scorecard

Pengukuran Six Sigma yang ditunjukkan di atas dilakukan pada tingkat proses, sedangkan pengukuran Six Sigma pada tingkat bisnis atau perusahaan akan dikemukakan berikut ini.

Gupta (2004) mengajukan tujuh kategori yang dipergunakan dalam menetapkan Indeks Kinerja Bisnis (BPIn) beserta pengaruhnya terhadap profitabilitas perusahaan. Ketujuh kategori itu adalah sebagai berikut:

1.Kepemimpinan dan Profitabilitas (LNP = Leadership and Profitability)

2.Manajemen dan Peningkatan (MAI = Management and Improvement)

3.Karyawan dan Inovasi (EAI = Employees and Innovation)

4.Manajemen Pembelian dan Pemasok (PSM = Purchasing and Supplier Management)

5.Eksekusi Operasional (OPE = Operation Execution)

6.Penjualan dan Distribusi (SND = Sales and Distribution)

7.Pelayanan dan Pertumbuhan (SAG = Sales and Growth)

1407337897101878935
1407337897101878935


Bagan 1. Kategori dalam Six Sigma Business Scorecard

(Sumber: Gupta, 2004)

Contoh pengukuran Six Sigma ditunjukkan dalam Tabel 4.

Tabel4. Contoh Pengukuran Six Sigma Business Scorecard

1407337928355226697
1407337928355226697


Keterangan perhitungan dalam Tabel 4:

·Defects Per Unit (DPU) = - ln (BPIn) = - ln (0.7150) = 0.335473 = 0.3355 (dibulatkan).

·Corporate DPMO (Defects Per Million Opportunities) = (DPU x 1,000,000) / Banyak Eksekutif yang Melapor kepada CEO = (0.335473 x 1,000,000) / 9 = 37,275.

·Corporate Sigma = normsinv((1000000-37275)/(1000000))+1.5 = 3.283226 = 3.28 (dibulatkan).

·Banyaknya eksekutif yang melapor kepada CEO menggambarkan kesempatan untuk membuat kesalahan dalam pembuatan keputusan.

Terdapat hubungan antara Indeks Kinerja Bisnis (BPIn) dan Defects Per Unit (DPU), yaitu: DPU = -ln (BPIn), di mana ln = logaritma natural. Penulis buku ini telah mencoba membangkitkan hubungan antara beberapa nilai BPIn dan DPU seperti ditunjukkan dalam 5.

Tabel 5. Hubungan Antara Indeks Kinerja Bisnis (BPIn) dan Defects Per Unit (DPU) dalam Pengukuran Six Sigma Business Scorecard

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun