Sembari duduk santai di sofa ruangannya, beliau terus terang meminta agar pemberitaan Pers Mahasiswa yang saya ikuti, "dikoordinasikan" dulu dengan lembaga eksekutif dan dirinya. Maksudnya, tidak boleh terbit sampai ia baca dan setujui agar tidak menyerempet hal-hal yang negatif tentang kampus. Bahkan sempat disebut juga ada arah untuk membatalkan bahkan menurunkan berita yang dianggap berseberangan dengan kepentingan kampus. Pertemuan itu berakhir buntu, saya menolaknya mentah-mentah juga.
Lalu mengenai ide bahwa mahasiswa kuliah hanya untuk belajar barangkali telah bergeser juga. Kalau catatanHistoria.id menyebut mahasiswa berperan menggerakkan mesin pembangunan, saya pikir trennya kini mengarah pada menjadi pekerja atau kasarnya buruh terdidik yang menjawab kebutuhan-kebutuhan korporasi nasional maupun dunia.
Bahkan, ketika dulu mahasiswa didorong untuk menyelesaikan kuliahnya lalu cepat-cepat bekerja, saya melihat justru sekarang mahasiswa sudah sukarela untuk melakukannya. Ketimbang acara yang ditujukan untuk merawat tradisi intelektual, saya pun menyaksikan hal yang bertolak belakang di kampus saya. Corak kegiatan telah diarahkan seputar kepemimpinan, berbicara di depan umum, persiapan dunia kerja, entrepreneurship, dan yang terbaru barangkali mengenai start-up.
Mengenai itu, saya teringat pada berita wawancara Media Parahyangan dan Sorge Magazine dengan Rocky Gerung, Dosen Filsafat Universitas Indonesia yang menyebutkan bahwa berinvestasi untuk perbaikan hidup ke depan, boleh-boleh saja. Namun, jika politik tidak berubah, kita akan menjadi profesional yang tidak tumbuh dari energi kita sendiri. "Kita berharap nanti dunia akan berubah, enggak. Dunia gaakan berubah, kita yang mesti merubah dunia itu" ucap Rocky.
Pada poin yang tadi sekiranya dapat menjadi pertimbangan bagi kampus terutama mahasiswa dan mungkin dosen untuk terlibat dalam politik. Keterlibatan di sini tentu tidak dalam kapasitas memenangkan atau menggalang dukungan salah satu calon dalam pemilu atau pemerintah yang berkuasa. Keterlibatan dilakukan karena salah satu dharma perguruan tinggi menyebut tugas kampus dalam lingkup pengabdian masyarakat.
Rocky pun menyebut pengabdian masyarakat yang dapat dilakukan oleh kampus adalah kritik sosial. Di luar bencana alam dan pragmatisme jangka pendek, saya barangkali setuju bahwa bentuk pengabdian masyarakat tidak hanya terbatas pada bakti sosial, bazar murah, atau penyuluhan. Namun, kita dapat membantu masyarakat menguraikan dan menguji argumen-argumen yang berdiri di balik tingkah laku partai politik dan kebijakan pemerintah.
Kita juga barangkali mengenal keberadaan organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, atau non governmental organization (NGO). Namun, bukan berarti saya skeptis pada mereka, melainkan dengan jarak dari kekuasaan, mahasiswa sekiranya dapat lebih jernih mengurai argumen-argumen tadi. Lagipula, sebagai institusi pendidikan, hanya di kampus tradisi intelektual sekiranya dipelihara. Saya pun teringat pada pengartian Rocky mengenai intelektual sebagai force of better arguments, artinya memastikan argumen berkembang menjadi lebih bermutu dan hanya dapat bermutu jika terbuka untuk disangsikan.
Oleh karena itu, menurut saya, keadaan yang sempat ditentang oleh Daoed karena bertentangan dengan nilai kemahasiswaan versinya, justru merupakan upaya merawat nilai-nilai kemanusiaan, moral, demokrasi yang seharusnya dijaga oleh mahasiswa. Normalisasi, kecuali bagi kali Ciliwung, tentu tidak cocok bagi mahasiswa sehingga upaya "menormalisasi" hati nurani dan akal sehat malah cenderung menjadi tingkah laku yang abnormal.
Ketika hal itu lepas begitu saja, maka kita pun membuka diri untuk diinjak-injak dalam kekuasaan berikut konstitusi karbitan yang sebenarnya hanya menyokong kekuasaan itu tetap legal.
Apa yang sebutkan di atas, sebagian dan kebanyakan barangkali merupakan refleksi dari kampus saya. Meskipun demikian, bagi pembaca budiman, dapat juga merefleksikan keadaan serupa bilamana juga terjadi di kampusnya masing-masing.
Namun, salah satu hal yang sangsikan juga berkaitan dengan teman-teman saya sendiri. Ketika normalisasi tadi pernah ditentang habis-habisan oleh generasi dulu, kini apa yang saya anggap sebagai sesuatu yang "abnormal" dari sisi akal sehat, sekiranya telah mengambil rupa "upnormal". Maksudnya, baik mahasiswa maupun dosen tidak sedikit pun merasa ada yang tidak beres atau meresahkan, mereka cenderung menikmati bahkan merayakan hal-hal yang saya pikir abnormal tadi. Intinya sudah menjadi hal yang biasa dan lumrah seperti kebiasaan sehari-hari nongkrong di Warunk Upnormal sesungguhnya.