"Kekinian" barangkali merupakan kata kunci bagi sebuah bisnis sejenis cafe yang bernama Warunk Upnormal. Namanya unik, sekilas saya membaca, saya pikir penulisannya "abnormal", tetapi ternyata "upnormal". Meskipun demikian, barangkali konsep yang ingin ditawarkan oleh penggagas bisnis itu adalah sesuatu yang berbeda, yang lain, dan yang asing dari yang sudah ada. Bahkan dari diksi abnormal yang sudah biasa didengar.
Saat teman-teman saya dapat menghabiskan lebih dari satu kali nongkrong di sana dalam sebulan bahkan sepekan, saya memilih cukup sekali-dua kali dalam beberapa bulan. Itu pun kalau diajak teman. Alasannya, tidak jauh dari mempertahankan idealisme saya bahwa uang 20 ribu rupiah dapat saya alokasikan untuk dua kali makan dalam sehari, ketimbang dihabiskan untuk menu indomie dan sebuah minuman dalam sekali santap.
Perihal permainan kata "normal" tadi, ternyata telah lama menjadi populer dalam kehidupan kampus terutama bagi mereka yang sebelum atau tidak lama lagi akan memakai toga, menyaksikan mundurnya Soeharto dari kepresidenan. Pada 1978 silam, Soeharto pernah menunjuk sesosok Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bernama Daoed Joesoef.
Historia.id pun mencatat bahwa Daoed menjabat menteri ketika Kabinet Pembangunan III (1978-1982). Baru-baru ini, beliau pun dikabarkan telah meninggal dunia di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, pada 23 Januari 2018, pukul 23.55 WIB. Meski telah tiada, warisan beliau barangkali akan tetap diingat sebagai pria yang menelurkan gagasan "Normalisasi Kehidupan Kampus".
Seperti yang tadi saya tuturkan di awal, bahwa gagasan dengan kata "normal" ini pernah sangat populer di masa lampau. Tepatnya, populer untuk ditolak mentah-mentah oleh para mahasiswa lantaran konsekuensi dari ditekennya kebijakan itu, salah satunya adalah pembubaran dewan kemahasiswaan. Sementara organisasi kemahasiswaan yang diizinkan hanya senat mahasiswa dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) di tingkat fakultas. Semua dilakukan demi menjauhkan mahasiswa dari politik praktis.
Selain paket hemat di atas yang dikenal dengan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), sejarah barangkali mencatat bahwa paket itu dilengkapi dengan combo lainnya. Yaitu, pengawasan ketat rektorat terhadap kegiatan kemahasiswaan yang dikenal melalui Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) sehingga lahirlah singkatan sakti yang mudah diingat NKK/BKK.
Pada masa itu, saya barangkali bahkan belum direncanakan oleh orang tua sehingga belum bisa berkomentar banyak mengenai gejolak yang terjadi pada waktu itu. Namun, yang saya tahu adalah kondisi terkini yang saya amati dan hadapi sebagai mahasiswa sekarang. Catatanhistoria.id ini barangkali terasa cukup untuk menggambarkan apa yang kebetulan pernah terjadi di masa lampau, tetapi kemudian masi langgeng saja, tetap terpelihara di lingkungan kampus:
"Kehidupan mahasiswa memulai babak baru di bawah pengawasan ketat birokrat kampus. Mahasiswa didorong untuk hanya belajar dan segera menyelesaikan kuliah untuk kemudian bekerja".
Tepat seperti dua pernyataan itu, hanya saja yang terjadi bukan lagi babak baru, melainkan berganti kemasan. Ketika dulu konteksnya barangkali untuk mencapai kestabilan politik agar pemerintah bisa fokus mengambil kebijakan untuk perekonomian, kini saya pikir fokusnya lebih terlokalisir. Bergantung pada sang rektor atau pemimpin yayasan atau pihak lain ingin berbuat apa di kampus. Namun, idenya tetap sama yaitu mempreteli kapasitas mahasiswa untuk mempengaruhi pengambilan keputusan, dulu bagi negara, kini bagi kampus.
Mengenai upaya melucuti sikap kritis mahasiswa dalam lembaga kemahasiswaan, barangkali upaya itu sudah berbuah hasil. Di kampus saya misalnya, mahasiswa sudah mantap menjauhi aksi baik "diam" maupun ala-ala turun ke jalan seperti yang dilakukan para alumni pada 1998 silam. Lembaga eksekutif pun hanya mampu mengecek penulisan proposal kegiatan dan menjalankan rangkaian acara selayaknya event organizer. Sementara lembaga legislatif tidak lebih dari penyelenggaran pemilu, penerbitan ketetapan hukum, dan barangkali perpanjangan tangan rektorat.
Sebagai mahasiswa yang telah aktif di dunia Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) terutama yang bergerak di bidang jurnalistik, cengkraman kontrol dari birokrat kampus memang masih terasa. Pernah suatu ketika saya menjawab panggilan seorang wakil rektor bidang kemahasiswan pada pertengahan Mei 2017.
Sembari duduk santai di sofa ruangannya, beliau terus terang meminta agar pemberitaan Pers Mahasiswa yang saya ikuti, "dikoordinasikan" dulu dengan lembaga eksekutif dan dirinya. Maksudnya, tidak boleh terbit sampai ia baca dan setujui agar tidak menyerempet hal-hal yang negatif tentang kampus. Bahkan sempat disebut juga ada arah untuk membatalkan bahkan menurunkan berita yang dianggap berseberangan dengan kepentingan kampus. Pertemuan itu berakhir buntu, saya menolaknya mentah-mentah juga.
Lalu mengenai ide bahwa mahasiswa kuliah hanya untuk belajar barangkali telah bergeser juga. Kalau catatanHistoria.id menyebut mahasiswa berperan menggerakkan mesin pembangunan, saya pikir trennya kini mengarah pada menjadi pekerja atau kasarnya buruh terdidik yang menjawab kebutuhan-kebutuhan korporasi nasional maupun dunia.
Bahkan, ketika dulu mahasiswa didorong untuk menyelesaikan kuliahnya lalu cepat-cepat bekerja, saya melihat justru sekarang mahasiswa sudah sukarela untuk melakukannya. Ketimbang acara yang ditujukan untuk merawat tradisi intelektual, saya pun menyaksikan hal yang bertolak belakang di kampus saya. Corak kegiatan telah diarahkan seputar kepemimpinan, berbicara di depan umum, persiapan dunia kerja, entrepreneurship, dan yang terbaru barangkali mengenai start-up.
Mengenai itu, saya teringat pada berita wawancara Media Parahyangan dan Sorge Magazine dengan Rocky Gerung, Dosen Filsafat Universitas Indonesia yang menyebutkan bahwa berinvestasi untuk perbaikan hidup ke depan, boleh-boleh saja. Namun, jika politik tidak berubah, kita akan menjadi profesional yang tidak tumbuh dari energi kita sendiri. "Kita berharap nanti dunia akan berubah, enggak. Dunia gaakan berubah, kita yang mesti merubah dunia itu" ucap Rocky.
Pada poin yang tadi sekiranya dapat menjadi pertimbangan bagi kampus terutama mahasiswa dan mungkin dosen untuk terlibat dalam politik. Keterlibatan di sini tentu tidak dalam kapasitas memenangkan atau menggalang dukungan salah satu calon dalam pemilu atau pemerintah yang berkuasa. Keterlibatan dilakukan karena salah satu dharma perguruan tinggi menyebut tugas kampus dalam lingkup pengabdian masyarakat.
Rocky pun menyebut pengabdian masyarakat yang dapat dilakukan oleh kampus adalah kritik sosial. Di luar bencana alam dan pragmatisme jangka pendek, saya barangkali setuju bahwa bentuk pengabdian masyarakat tidak hanya terbatas pada bakti sosial, bazar murah, atau penyuluhan. Namun, kita dapat membantu masyarakat menguraikan dan menguji argumen-argumen yang berdiri di balik tingkah laku partai politik dan kebijakan pemerintah.
Kita juga barangkali mengenal keberadaan organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, atau non governmental organization (NGO). Namun, bukan berarti saya skeptis pada mereka, melainkan dengan jarak dari kekuasaan, mahasiswa sekiranya dapat lebih jernih mengurai argumen-argumen tadi. Lagipula, sebagai institusi pendidikan, hanya di kampus tradisi intelektual sekiranya dipelihara. Saya pun teringat pada pengartian Rocky mengenai intelektual sebagai force of better arguments, artinya memastikan argumen berkembang menjadi lebih bermutu dan hanya dapat bermutu jika terbuka untuk disangsikan.
Oleh karena itu, menurut saya, keadaan yang sempat ditentang oleh Daoed karena bertentangan dengan nilai kemahasiswaan versinya, justru merupakan upaya merawat nilai-nilai kemanusiaan, moral, demokrasi yang seharusnya dijaga oleh mahasiswa. Normalisasi, kecuali bagi kali Ciliwung, tentu tidak cocok bagi mahasiswa sehingga upaya "menormalisasi" hati nurani dan akal sehat malah cenderung menjadi tingkah laku yang abnormal.
Ketika hal itu lepas begitu saja, maka kita pun membuka diri untuk diinjak-injak dalam kekuasaan berikut konstitusi karbitan yang sebenarnya hanya menyokong kekuasaan itu tetap legal.
Apa yang sebutkan di atas, sebagian dan kebanyakan barangkali merupakan refleksi dari kampus saya. Meskipun demikian, bagi pembaca budiman, dapat juga merefleksikan keadaan serupa bilamana juga terjadi di kampusnya masing-masing.
Namun, salah satu hal yang sangsikan juga berkaitan dengan teman-teman saya sendiri. Ketika normalisasi tadi pernah ditentang habis-habisan oleh generasi dulu, kini apa yang saya anggap sebagai sesuatu yang "abnormal" dari sisi akal sehat, sekiranya telah mengambil rupa "upnormal". Maksudnya, baik mahasiswa maupun dosen tidak sedikit pun merasa ada yang tidak beres atau meresahkan, mereka cenderung menikmati bahkan merayakan hal-hal yang saya pikir abnormal tadi. Intinya sudah menjadi hal yang biasa dan lumrah seperti kebiasaan sehari-hari nongkrong di Warunk Upnormal sesungguhnya.
Sebagai mahasiswa yang turut menikmati pencapaian dari proses pendidikan di Indonesia, saya juga merasa perlu menghormati kepergian beliau setelah pernah mengabdi bagi negeri ini. Selamat jalan Bapak Daoed Joesoef.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H