Mohon tunggu...
Vincent Fabian Thomas
Vincent Fabian Thomas Mohon Tunggu... Mahasiswa, Pers Mahasiswa -

Sarjana Teknik Industri Universitas Parahyangan Bandung - Jurnalis mahasiswa @ Media Parahyangan - Kunjungi : mediaparahyangan.com - Email : vincentfabianthomasdharma@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Vonis Ahok Adalah Momentum, Hukum Indonesia Belum Mati

11 Mei 2017   12:03 Diperbarui: 11 Mei 2017   14:16 2806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahok resmi divonis 2 tahun atas tuduhan penistaan agama. Dok/CNN.com

Jarang-jarang untuk sebuah permasalahan yang berkaitan dengan demokrasi di Indonesia mendapat perhatian internasional. Namun, kali ini sungguh berbeda. Vonis 2 tahun penjara yang baru saja diterima oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok kini resmi menarik perhaitan internasional.

Berbagai organisasi internasional selevel Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Uni Eropa, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, hingga Amnesty Internasional ramai-ramai mengecam. Intinya, putusan hukum yang berkaitan dengan penodaan agama itu merupakan bentuk ketidakadilan di Indonesia dan jelas-jelas menghalangi bahkan melukai semangat demokrasi Indonesia. Dalam hal ini, secara spesifik mereka merujuk pada kebebasan berekspresi.

Hal ini agak menarik, sebab jauh sebelum Ahok diputus bersalah dan dituding sebagai bentuk ketidakadilan, Indonesia sudah sering mencetak dosa serupa. Sebut saja, pembubaran diskusi, monolog, pagelaran, bahkan pelarangan buku yang berkaitan dengan Komunisme.

Dari Insitut Seni Budaya Indonesia, diskorsing mahasiswa di Telkom University, hingga respon TNI mengenai laporan investigasi Allan Nairn baru-baru ini (Ahok Hanyalah Dalih Untuk Makar) dengan ancaman jalur hukum pada tirto.id dan Allan Nairn sendiri. Bukankah itu juga merupakan pelarangan berekspresi?

Atau biar setara, jika kita berbicara mengenai ketidakadilan, selang dua bulan sebelum orang-orang menggila akibat putusan vonis Ahok, petani Kendeng justru mengalami hal serupa. Putusan Makhamah Agung (MA) yang sempat membatalkan izin Lingkungan Pembangunan dan Pertambangan Pabrik PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang ternyata ditabrak begitu saja oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Izin pabrik semen kembali diterbitkan.

Tatkala Jokowi pernah menyambut puluhan petani yang menyemen kaki di depan istana negara, Jokowi tidak bergeming bahkan turut mendukung pembangunan tetap berlanjut. Salah seorang senior penulis di Pers Mahasiswa pun barangkali juga benar bahwa hal itu juga sama fucked up-nyadengan apa yang menimpa Ahok.

Namun, sayang sekali respon netizenbarangkali terlalu elitis. Hanya karena bukan Ahok, seolah mereka tidak tertarik, bahkan tergerak sedikit pun untuk peduli. Penulis pun setuju bahwa apa yang menimpa Ahok adalah benar sebuah ketidakadilan bahkan kecacatan sistem hukum dan peradilan di Indonesia.

Akan tetapi, dalam kiprahnya sebagai gubernur Ahok pun juga pernah melakukan ketidakadilan. Mulai dari penggusuran Bukit Duri yang mengabaikan gugatan warga yang tengah berlangsung, dilanjutkannya reklamasi setelah kemenangan gugatan nelayan, hingga warga miskin kota yang kesulitan mencari pekerjaan lantaran pindah ke rusun sederhana sewa (rusunawa).

Apa yang penulis sampaikan di atas, bukanlah usaha untuk turut mengiyakan atau melegitimasi bahwa Ahok memag layak dihukum. Bukan itu. Namun, seperti pernyataan Robertus Robet pada “Mengapa Ahok Harus Dibebaskan” dalam Indonesiana, “Basuki sudah mencemooh hak asasi manusia, namun demikian konstitusi kita mewajibkan negara untuk melindungi hak asasi manusia semua warga dari diskriminasi -termasuk hak asasi dari warga bernama Basuki Tjahaja Purnama... Kita boleh membenci dia, tapi kita tidak bisa mempidanakan dia.”

Jadi yang mau penulis tekankan di sini adalah memuja Ahok seperti Tuhan tidak akan menyelesaikan masalah. Ahok merupakan salah satu sosok dari sekian banyak sosok lain yang bercita-cita mulia. Namun, merespon vonis yang diterima Ahok juga bukan dengan berkecewa hati, menggila, menulis status berlatar sedih galau, hingga hormat-hormat semu.

Ahok adalah korban ketidakadilan Indonesia yang terus dipelihara. Karena ia adalah korban, sasaran kita bukanlah sosok Ahok dan lawan politiknya, melainkan ketidakadilan yang menyebabkan Ahok dipenjara.

Ketidakadilan itu juga yang tercermin jelas dari bobroknya sistem peradilan dan hukum di Indonesia. Dalam artian, jarang-jarang sebuah hukum dapat mengatur wilayah privat seperti agama bahkan mengurusi hal-hal ultra-subjektif macam penistaan, penghinaan, pencemaran nama baik, hingga perkara yang berkaitan dengan singgung-tersinggung.

Vonis Ahok bukanlah akhir dari keadilan, buktinya masih banyak ketidakadilan masih berkeliaran dan membutuhkan perhatian kita. Jika kita pandang bulu dengan hanya meratapi ketidakadilan yang menimpa Ahok, bukankah kita juga bersikap tidak adil terhadap ketidakadilan lainnya yang selama ini jauh dari perhatian dan simpati kita. Terlebih ketidakadilan yang kini sedang diperjuangkan di sawah, pesisir pantai, wilayah kumuh, wartawan, buruh, dan aktivis HAM hingga lingkungan.

Di sini penulis ingin menegaskan bahwa walaupun Ahok merupakan sosok yang dikagumi, dihormati, bahkan menjadi idola, sekali-kali ia tidak dapat menjadi fokus utama polemik ini. Vonis yang menimpa Ahok bukanlah bencana, melainkan momentum. Saat dunia internasional kompak mengecam beriringan dengan netizen dan kaum muda Indonesia, inilah momentum untuk mereformasi hukum Indonesia.

Mereformasi tidak dapat dilakukan dengan membalas Rizieq dengan melaporkannya dengan hal serupa. Bukan juga dengan menjerat sejumlah orang dengan pasal dugaan makar dan membuat demo tandingan 411 atau “aksi super damai” apalagi terjebak dalam keruhnya pertikaian agama.

Fokus kita adalah hukum itu sendiri. Hukum yang tengah dinodai dengan pasal-pasal sampah dan tidak berguna. Pasal-pasal itu juga yang sangking karetnya lebih sering menguntungkan penguasa, kelompok elit, dan ekstrimis-radikalis golongan tertentu.

Jika memang benar berpihak pada keadilan, kita juga sepatutnya menjauhkan diri dari menggunakan pasal-pasal serupa. Karena itu, sejumlah kontra-pelaporan yang dilakukan semenjak Ahok dilaporkan ke kepolisian bukanlah tindakan yang bijaksana meskipun niatnya untuk menegakkan keadilan.

Bukan mata ganti mata dan gigi ganti gigi, melainkan bagaimana kita menghilangkan sumber penderitaan dan keresahan itu sendiri. Keadilan itu tidak jelas batasan dan penafsirannya, tapi penulis kira ketidakadilan lebih mudah menjadi patokan bagi kita dalam bertindak menuju keadilan.

Pasal berbau penodaan agama, penghinaan, penistaan, hingga pencemaran nama baik sudah sepatutnya dihapuskan. Dihapuskan bukan karena Ahok divonis 2 tahun penjara, melainkan karena sudah banyak korban. Korban-korban yang luput dari perhatian kita hingga korban-korban di masa mendatang yang barangkali berpotensi terjerat hal itulah yang seharusnya menjadi perhatian kita.

Karena alasan di atas juga, penulis merasa kurang setuju dengan hastag berbunyi #RIPHukumIndonesia. Memiliki rasa kecewa terhadap apa yang tertimpa Ahok adalah suatu kewajaran, tetapi tidak selamanya Ahok seolah menjadi finalisasi dari harapan dan perjuangan yang masih harus kita lakukan dan berujung pada sikap fatalis semata.

Vonis Ahok adalah momentum, suatu batu yang seharusnya menjadi batu loncatan bukan batu sandungan bagi hukum dan peradilan Indonesia terutama demokrasi. Juga bukan sebuah bola batu penghancur bangunan yang memaksa kita meratapi dan berkeluh-kesah semata.

Inilah momen yang menjadi pijakan kita untuk memperbaiki dan menyempurnakan hukum dan peradilan Indonesia. Masih ada waktu dan kesempatan untuk menyelamatkan hukum dan peradilan yang telah ternodai itu. Hukum Indonesia belum bahkan tidak akan pernah mati.

Jika benar Indonesia adalah negara hukum, sudah sepatutnya hukum tidak pernah divonis mati. Menyelamatkan hukum adalah sebuah kewajiban, sementara memastikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak sembrono dalam membuat sebuah UU terutama yang berbau penistaan, penghinaan, dan pencemaran nama baik adalah suatu keharusan. Karena itu, vonis Ahok adalah momentum dan hukum Indonesia belum mati. 

*Tulisan ini telah ditayangkan di mahasiswabicara.id dengan judul

"VONIS AHOK ADALAH MOMENTUM, HUKUM INDONESIA BELUM MATI"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun