Ketidakadilan itu juga yang tercermin jelas dari bobroknya sistem peradilan dan hukum di Indonesia. Dalam artian, jarang-jarang sebuah hukum dapat mengatur wilayah privat seperti agama bahkan mengurusi hal-hal ultra-subjektif macam penistaan, penghinaan, pencemaran nama baik, hingga perkara yang berkaitan dengan singgung-tersinggung.
Vonis Ahok bukanlah akhir dari keadilan, buktinya masih banyak ketidakadilan masih berkeliaran dan membutuhkan perhatian kita. Jika kita pandang bulu dengan hanya meratapi ketidakadilan yang menimpa Ahok, bukankah kita juga bersikap tidak adil terhadap ketidakadilan lainnya yang selama ini jauh dari perhatian dan simpati kita. Terlebih ketidakadilan yang kini sedang diperjuangkan di sawah, pesisir pantai, wilayah kumuh, wartawan, buruh, dan aktivis HAM hingga lingkungan.
Di sini penulis ingin menegaskan bahwa walaupun Ahok merupakan sosok yang dikagumi, dihormati, bahkan menjadi idola, sekali-kali ia tidak dapat menjadi fokus utama polemik ini. Vonis yang menimpa Ahok bukanlah bencana, melainkan momentum. Saat dunia internasional kompak mengecam beriringan dengan netizen dan kaum muda Indonesia, inilah momentum untuk mereformasi hukum Indonesia.
Mereformasi tidak dapat dilakukan dengan membalas Rizieq dengan melaporkannya dengan hal serupa. Bukan juga dengan menjerat sejumlah orang dengan pasal dugaan makar dan membuat demo tandingan 411 atau “aksi super damai” apalagi terjebak dalam keruhnya pertikaian agama.
Fokus kita adalah hukum itu sendiri. Hukum yang tengah dinodai dengan pasal-pasal sampah dan tidak berguna. Pasal-pasal itu juga yang sangking karetnya lebih sering menguntungkan penguasa, kelompok elit, dan ekstrimis-radikalis golongan tertentu.
Jika memang benar berpihak pada keadilan, kita juga sepatutnya menjauhkan diri dari menggunakan pasal-pasal serupa. Karena itu, sejumlah kontra-pelaporan yang dilakukan semenjak Ahok dilaporkan ke kepolisian bukanlah tindakan yang bijaksana meskipun niatnya untuk menegakkan keadilan.
Bukan mata ganti mata dan gigi ganti gigi, melainkan bagaimana kita menghilangkan sumber penderitaan dan keresahan itu sendiri. Keadilan itu tidak jelas batasan dan penafsirannya, tapi penulis kira ketidakadilan lebih mudah menjadi patokan bagi kita dalam bertindak menuju keadilan.
Pasal berbau penodaan agama, penghinaan, penistaan, hingga pencemaran nama baik sudah sepatutnya dihapuskan. Dihapuskan bukan karena Ahok divonis 2 tahun penjara, melainkan karena sudah banyak korban. Korban-korban yang luput dari perhatian kita hingga korban-korban di masa mendatang yang barangkali berpotensi terjerat hal itulah yang seharusnya menjadi perhatian kita.
Karena alasan di atas juga, penulis merasa kurang setuju dengan hastag berbunyi #RIPHukumIndonesia. Memiliki rasa kecewa terhadap apa yang tertimpa Ahok adalah suatu kewajaran, tetapi tidak selamanya Ahok seolah menjadi finalisasi dari harapan dan perjuangan yang masih harus kita lakukan dan berujung pada sikap fatalis semata.
Vonis Ahok adalah momentum, suatu batu yang seharusnya menjadi batu loncatan bukan batu sandungan bagi hukum dan peradilan Indonesia terutama demokrasi. Juga bukan sebuah bola batu penghancur bangunan yang memaksa kita meratapi dan berkeluh-kesah semata.
Inilah momen yang menjadi pijakan kita untuk memperbaiki dan menyempurnakan hukum dan peradilan Indonesia. Masih ada waktu dan kesempatan untuk menyelamatkan hukum dan peradilan yang telah ternodai itu. Hukum Indonesia belum bahkan tidak akan pernah mati.