Mohon tunggu...
Vincent Fabian Thomas
Vincent Fabian Thomas Mohon Tunggu... Mahasiswa, Pers Mahasiswa -

Sarjana Teknik Industri Universitas Parahyangan Bandung - Jurnalis mahasiswa @ Media Parahyangan - Kunjungi : mediaparahyangan.com - Email : vincentfabianthomasdharma@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

10 Tahun Aksi Kamisan, Presidenku yang Belum Juga Bernyali

20 Januari 2017   14:57 Diperbarui: 20 Januari 2017   15:04 1653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meneropong Istana Presiden. Dok/Pribadi
Meneropong Istana Presiden. Dok/Pribadi
Berhadapan dengan calon presiden digunjing memiliki jejak pelanggaran HAM, isu HAM tak diragukan lagi membuatnya relatif lebih unggul dari calon lawannya. Penguasa yang kini duduk manis di istana negara pun memenangi pemilu 2014 silam itu. Selama kurang lebih 2 tahun sejak terpilihnya, pemerintah kini seolah mengingkari pesona janji yang ditebar pada masa kampanye.

Tepat pada Senin, 18 April 2016 lalu, Luhut Panjaitan sewaktu masih menjabat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) menyelenggarakan simposium Peristiwa 1965 yang kerap diingat lebih dari sekadar penculikan jendral, tetapi pembantaian massal Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mereka yang di-PKI-kan.

"Kita ingin sebagai bangsa besar, menyelesaikan masalah kita," tegas Luhut dalam berita BBC Indonesia yang ditulis Heydar Affan. Walaupun terdengar meyakinkan, pernyataan itu disambung dengan keterangan bahwa Pemerintah Indonesia tidak akan melakukan permintaan maaf atas kekerasan yang terjadi pada Peristiwa 1965, tetapi hanya sebatas penyesalan mendalam.

Masih dalam tahun yang sama, pemerintah juga membuat terobosan baru. Rabu, 27 Juli 2016 lalu, presiden resmi mengumumkan pengangkatan Wiranto. Kesan bagi para penggiat HAM, nama itu masih memikul beban pelanggaran HAM dengan Peristiwa 27 Juli, kasus Semanggi, dan penghilangan aktivis prodemokrasi pada 1997/1998. Tidak ketinggalan, laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun mencantumkan nama itu atas keterlibatannya pada kasus yang mengikuti referendum Timor Leste pada 1999.

Selain itu, baru-baru ini Menko Polhukam yang baru itu juga tengah merencanakan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Disetujui pada Rabu, 4 Januari 2017 lalu, DKN diklaim mampu menengahi pelanggaran HAM melalui jalan musyawarah. Ide brillian ini tentu ditolak tegas oleh para korban pelanggaran HAM dan para penggiat HAM lantaran boro-boro mendekati jalur baik yuridis maupun non-yuridis.

Dibalik selubungnya, DKN memang akal-akalan pemerintah untuk membebaskan pelaku pelanggaran HAM dari jerat hukum dan ganti rugi terlebih menyelesaikannya hingga ke akar kebenarannya. Padahal, saat memperingati Hari HAM Sedunia pada Desember 2015, Presiden RI, Joko Widodo menyampaikan:

“Untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, jalan keluarnya adalah keberanian dari semua pihak untuk membuat terobosan. Sekali lagi, kita semua perlu punya keberanian untuk rekonsiliasi atau mencari terobosan penyelesaian melalui jalur yudisial dan non-yudisial,” dikutip dari berita yang dimuat Kompas pada 12 Desember 2015.

Bila benar penyelesaian HAM membutuhkan keberanian, tentu menilai dari langkah-langkah yang dibuat sampai hari ini, presiden jelas belum bernyali. Keamanan dan stabilitas roda pemerintahan lebih diutamakan dibanding mengambil langkah berani merealisasikan janjinya pada kampanye silam. Kini alasan pemerintah tidak jauh dari sedang fokus ke masalah pembangunan dan ekonomi fisik. Bahkan, ketimbang masalah HAM yang sudah hampir bau tanah, masalah hoax yang baru-baru ini merebak justru malah dikejar.

Sebelum pemberian Rekor MURI, Suciwati, Sumarsih, dan Jaya Suprana pada 10thAksiKamisan. Dok/Pribadi
Sebelum pemberian Rekor MURI, Suciwati, Sumarsih, dan Jaya Suprana pada 10thAksiKamisan. Dok/Pribadi
Tatkala usia Aksi kamisan beranjak 10 tahun, pada peringatan 10th Aksi Kamisan pada 19 Januari 2017 lalu Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Penghargaan MURI itu diberikan untuk rekor Aksi Kamisan, Aksi perjuangan membongkar fakta kebenaran, mencari keadilan, melawan lupa, dan impunitas terlama (setiap hari Kamis pukul 16.00 s/d 17.00 di depan istana tanpa pernah putus, sejak hari Kamis tgl 18 Januari 2007 s/d hari Kamis tgl 19 Januari 2017).

Detik-detik pemberian rekor MURI dapat dilihat disini.

Menariknya, rekor yang diberikan langsung oleh Jaya Suprana itu mengandung suatu paradoks penghargaan. Tatkala suatu penghargaan selayaknya dibanggakan, tetapi penghargaan ini justru layak diratapi. Diratapi lantaran Aksi Kamisan terlama sama artinya dengan adanya ketidakperdulian terlama dan barangkali penguluran waktu terlama pemerintah Indonesia terhadap komitmen penyelesaian kasus pelanggaran HAM.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun