Tepat pada Senin, 18 April 2016 lalu, Luhut Panjaitan sewaktu masih menjabat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) menyelenggarakan simposium Peristiwa 1965 yang kerap diingat lebih dari sekadar penculikan jendral, tetapi pembantaian massal Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mereka yang di-PKI-kan.
"Kita ingin sebagai bangsa besar, menyelesaikan masalah kita," tegas Luhut dalam berita BBC Indonesia yang ditulis Heydar Affan. Walaupun terdengar meyakinkan, pernyataan itu disambung dengan keterangan bahwa Pemerintah Indonesia tidak akan melakukan permintaan maaf atas kekerasan yang terjadi pada Peristiwa 1965, tetapi hanya sebatas penyesalan mendalam.
Masih dalam tahun yang sama, pemerintah juga membuat terobosan baru. Rabu, 27 Juli 2016 lalu, presiden resmi mengumumkan pengangkatan Wiranto. Kesan bagi para penggiat HAM, nama itu masih memikul beban pelanggaran HAM dengan Peristiwa 27 Juli, kasus Semanggi, dan penghilangan aktivis prodemokrasi pada 1997/1998. Tidak ketinggalan, laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun mencantumkan nama itu atas keterlibatannya pada kasus yang mengikuti referendum Timor Leste pada 1999.
Selain itu, baru-baru ini Menko Polhukam yang baru itu juga tengah merencanakan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Disetujui pada Rabu, 4 Januari 2017 lalu, DKN diklaim mampu menengahi pelanggaran HAM melalui jalan musyawarah. Ide brillian ini tentu ditolak tegas oleh para korban pelanggaran HAM dan para penggiat HAM lantaran boro-boro mendekati jalur baik yuridis maupun non-yuridis.
Dibalik selubungnya, DKN memang akal-akalan pemerintah untuk membebaskan pelaku pelanggaran HAM dari jerat hukum dan ganti rugi terlebih menyelesaikannya hingga ke akar kebenarannya. Padahal, saat memperingati Hari HAM Sedunia pada Desember 2015, Presiden RI, Joko Widodo menyampaikan:
“Untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, jalan keluarnya adalah keberanian dari semua pihak untuk membuat terobosan. Sekali lagi, kita semua perlu punya keberanian untuk rekonsiliasi atau mencari terobosan penyelesaian melalui jalur yudisial dan non-yudisial,” dikutip dari berita yang dimuat Kompas pada 12 Desember 2015.
Bila benar penyelesaian HAM membutuhkan keberanian, tentu menilai dari langkah-langkah yang dibuat sampai hari ini, presiden jelas belum bernyali. Keamanan dan stabilitas roda pemerintahan lebih diutamakan dibanding mengambil langkah berani merealisasikan janjinya pada kampanye silam. Kini alasan pemerintah tidak jauh dari sedang fokus ke masalah pembangunan dan ekonomi fisik. Bahkan, ketimbang masalah HAM yang sudah hampir bau tanah, masalah hoax yang baru-baru ini merebak justru malah dikejar.
Detik-detik pemberian rekor MURI dapat dilihat disini.
Menariknya, rekor yang diberikan langsung oleh Jaya Suprana itu mengandung suatu paradoks penghargaan. Tatkala suatu penghargaan selayaknya dibanggakan, tetapi penghargaan ini justru layak diratapi. Diratapi lantaran Aksi Kamisan terlama sama artinya dengan adanya ketidakperdulian terlama dan barangkali penguluran waktu terlama pemerintah Indonesia terhadap komitmen penyelesaian kasus pelanggaran HAM.