Sipit matanya, putih kulitnya, pedagang oportunis, dan pelit karakternya seringkali merujuk pada suatu etnis yang kita kenal etnis Tionghoa. Kata “Tionghoa” sendiri sering digunakan sebagai pengganti kata “Cina” yang memiliki konotasi negatif sebagai bentuk rasisme. Disamping itu, kata ini juga merujuk kepada orang-orang Tiongkok yang tinggal di luar Republik Rakyat Tiongkok, salah satunya di Indonesia. Meskipun demikian, dari kata yang sama pula, sejarah menjadi saksi terhadap sentimen dan sejumlah konflik yang mengatasnamakan ras hingga ideologi. Amat disayangkan, akibat dari proses sejarah itu juga ikut menjadikan kata tersebut seolah-olah sebagai rujukan terhadap pemisahan peran pemuda Tionghoa dan Indonesia.
Melihat hal itu, saya memilih untuk skeptis terhadap situasi pemisahan tersebut. Pasalnya, sejarah ternyata menyimpan cerita-cerita yang menyangkal sekaligus menjernihkan kejadian tersebut. Apabila kita kembali ke masa ketika para kompeni masih berkuasa, keadaan tidak seperti sekarang. Maksudnya, tidak ada sentimen maupun “kebencian” terhadap etnis Tionghoa. Setahu saya, baik etnis Tionghoa maupun bukan, keduanya sama-sama membenci dan ditindas kompeni. Mereka pun satu suara menginginkan kemerdekaan. Hal itu juga yang selanjutnya yang tergores dalam tinta sejarah apabila mengingat peristiwa Sumpah Pemuda. Saya sempat mengira bahwa yang turut bersumpah pada waktu itu hanya mereka yang benar-benar asli dari pulau-pulau Indonesia saja. Akan tetapi, setelah saya telusuri ternyata terdapat empat pemuda Tionghoa hadir sebagai peninjau saat sumpah sakti itu dibacakan.
Tidak berhenti di sana, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, ada banyak warga keturunan Tionghoa turut berpartisipasi aktif. Beberapa dari mereka tergabung menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Disamping itu, apabila Anda pernah mendengar peristiwa Rengasdengklok, rumah yang menjadi tempat Bung Karno dan Hatta diinapkan juga adalah milik etnis Tionghoa. Disamping itu, seorang dokter bernama Dr. Sim Ki Ay juga tercatat pernah turut menjaga kesehatan Sultan Hamengku Buwono IX serta Jendral Sudirman. Ditambah lagi, sejumlah warga Tionghoa juga tercatat pernah aktif sebagai tentara kemerdekaan hingga berpangkat laksamana muda serta mendirikan surat kabar yang pro rakyat jajahan (Hong Po).
Pada masa orde lama pun, sejarah turut menjadi saksi akan adanya hubungan yang baik antara pemerintah dan etnis Tionghoa. Sejumlah nama menteri, anggota parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS), hingga anggota DPR hasil pemilu 1955 juga tercatat pernah diisi oleh etnis Tionghoa. Selain itu, Anda juga pasti tidak asing dengan sosok Soe Hok Gie yang pada masa itu menjadi aktivis mahasiswa yang idealis dan kritis. Bersama kakaknya, Arief Budiman, mereka menentang rezim diktatorial Soekarno dan Soeharto.
Namun, semua kisah harmonis itu harus segera meredup lantaran hadirnya kebijakan demi kebijakan kontroversial. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 pun dikeluarkan untuk melarang Warga Negara Asing (WNA) untuk berdagang eceran. Tergolong kontroversial sebab pada praktiknya "orang asing" pada pasal ini terbatas hanya pada orang Tionghoa mengingat pada waktu itu 90% pedagang eceran didominasi oleh orang Tionghoa. Disamping itu, kebijakan kontroversial lain yang menyangkut masalah rasial kembali muncul terutama dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden tahun 1967 No. 14. Instruksi itu menyangkut pembatasan tata cara ibadah berikut adat istiadat Tiongoa yang dianggap tidak boleh mencolok termasuk nama-nama mandarin harus diganti menjadi nama-nama Indonesia. Alhasil hal itu menjadi dinding pembatas bagi keturunan Tionghoa untuk berekpresi baik secara budaya maupun politis. Ditambah lagi, pada tahun 1978, menteri Kehakiman mengeluarkan sebuah surat sakti bernama Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Adapun, surat itu terkesan meragukan pilihan kewarganegaraan yang telah dipegang oleh orang Tionghoa di masa itu. Lebih parahnya lagi tanpa surat itu, seseorang yang termasuk warga keturunan tidak bisa mengurus KTP, paspor, memperoleh pendidikan, hingga menikah. Meskipun demikian, harus diakui bahwa sejarah juga mencatat sejumlah konglomerat Tionghoa memperoleh perlakukan istimewa terutama dalam hal ekonomi. Kedekatan dengan keluarga Cendana membuat mereka mampu menguasai sejumlah ladang bisnis hingga sekarang.
Berlanjut pada masa reformasi, saya pikir keadaan sudah jauh lebih baik dibanding Orde Baru. Sebenarnya secara teknis iya. Terlihat dari kebijakan Presiden RI-3 yang memperbolehkan perayaan budaya Tionghoa berikut penghapusan SBKRI. Sejumlah hak-hak orang Tionghoa juga mulai diakui termasuk dapat berpartisipasi dalam politik, menjadi pejabat pemerintahan, hingga hak-hak yang mendasar seperti pendidikan dan ekonomi. Walaupun dalam prosesnya, sejarah mencatat tidak sedikit warga keturunan Tionghoa yang menjadi korban kekerasan, penjarahan, hingga perkosaan.
Namun, menurut saya, terlepas keadaan telah menjadi baik, sebenarnya masih ada yang hilang yaitu peran pemuda Tionghoa. Jika kita melihat para generasi tua, memang banyak yang saat ini menjabat sebagai menteri maupun pejabat negara seperti gubernur. Namun, setelah generasi tua itu pergi, lantas siapa yang menggantikan mereka? Pertanyaan itu sebenarnya keluar lantaran saya melihat bahwa kepedulian pemuda Tionghoa terhadap masalah negara bukanlah hal yang populer.
Berkaitan dengan hal di atas, baik Anda maupun saya tentu tahu jika bicara soal kiprah maupun prestasi di bidang olahraga, dunia hiburan, maupun bisnis rasanya tidak dikhawatirkan. Saya juga tidak lagi mempermasalahkan diri saya yang tidak lagi mempunyai nama mandarin maupun kemampuan berbahasa mandarin. Akan tetapi, ke mana dan di mana peran pemuda Tionghoa dalam menentukan kondisi berikut masa depan negara ini?
Berkaitan dengan hal itu, saya pikir para pemuda Tionghoa tengah menghadapi “lupa”. Lupa akibat jejak-jejak pengabdian, pengorbanan, dan kesetiaan para pendahulu yang mulai hilang. Baik akibat perkembangan zaman maupun dampak dari kebijakan saat Orde Baru lalu yang saya anggap telah secara sadar dan aktif memutus mata rantai itu. Akan tetapi, “lupa” itu juga yang kadang saya duga menjadi penyebab lunturnya kesadaran dan kebiasaan berpikir kritis di kalangan pemuda Tionghoa. Walaupun demikian, di kampus ternyata masih banyak teman-teman Tionghoa yang peduli dengan hadir dalam sejumlah diskusi-diskusi maupun seminar yang berkaitan dengan masalah negara. Juga tidak ketinggalan masih banyak dari mereka yang tekun memantegi berita-berita sembari mengikuti perkembangan negara ini berikut dengan sejumlah kajian ilmiah terkait masalah di negara.
Akan tetapi, ketika sudah beranjak keluar kampus, keadaan mulai mencerminkan pernyataan saya tentang akibat kelupaan itu. Hal itu justru pernah saya alami saat berpartisipasi dalam aksi Kamisan (Kampanye Pelanggaran Hak Asasi Manusia) di Monas. Suatu ketika seorang ibu yang anaknya menjadi korban penembakan Semanggi 1 mengira saya sebagai turis Jepang. Tidak berhenti di situ, pada kunjungan saya yang kedua, tiga orang pria tua korban selamat pembantaian Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 65-66 mengira saya sebagai warga Singapura. Berkaca dari pengalaman saya sebagai pemuda kelahiran etnis Tionghoa, bisa diterka bahwa mereka bisa jadi jarang melihat kehadiran orang-orang seperti saya. Namun, mereka selalu di sana dan bisa jadi malahan orang-orang seperti saya jugalah yang ternyata tidak peduli pada mereka atau paling tidak kesadaran kritis itu hanya sampai pada kadar tertentu dan tidak akan lebih.
Melihat hal itu, saya akui baik diri saya maupun siapapun tidaklah berhak menghakimi pemuda-pemuda Tionghoa yang terkesan kurang mau peduli dengan hal-hal demikian. Namun apa boleh buat? Seseorang yang nekat melihat fakta-fakta sungguhan itu mau tidak mau akan melanturkan nada yang pesimis. Entah menganggap politik itu kotor, entah menganggap tidak ada harapan lagi kalau bangsa ini masih dapat berubah. Hadirnya orang-orang yang selalu berusaha hidup dari ilusinya sendiri dan berusaha sekuat tenaga menolak realitas di sekitarnya memang tidak dapat dicegah. Dalam artian bahwa orang itu sedang hidup di negara yang terang-terangan bermasalah tapi masih juga meyakinkan dirinya bahwa ia tidak sedang melihat masalah sembari melanjutkan aktivitas sehari-hari berikut target impiannya. Secara tidak langsung, saya pikir hal itu justru yang saat ini sedang melekat di dalam kebanyakan pemuda Tionghoa.
Namun, hal itu juga bukan satu-satunya masalah yang di hadapi pemuda Tionghoa. Realitas di luar juga tengah berbicara agar mengurungkan saja niat-niat yang berkaitan dengan partisipasi skala yang lebih besar. Hal itu semakin terlihat ketika tren terbaru menghadirkan slogan-slogan kebencian terhadap keturunan Tionghoa terutama yang sekarang beredar di media sosial. Menurut saya, fenomena rasial itu tidak lepas dari bibit-bibit Orde Baru yang berusaha menyudutkan keturunan Tionghoa. Tidak ketinggalan kalau perlu mimpi akan muncul seorang presiden beretnis Tionghoa juga harus ikut pupus lantaran siap-siap ditentang habis-habisan oleh organisasi massa (ormas) tertentu.
Akan tetapi, saya hanya berniat melawan lupa sejarah serta jejak yang lama telah ditutup-tutupi dan hilang itu. Ingatan sejarah tentang peran pemuda Tionghoa dalam urusan kenegaraan, sejarah perjuangan, pergerakkan, hingga Sumpah Pemuda perlu dihidupkan kembali. Menurut saya, pemuda Tionghoa harus menolak menjadi bebek apalagi “dibebekkan” baik oleh sesama kalangan Tionghoa maupun oleh mereka yang mengatasnamakan mayoritas. Berkaitan dengan maksud bebek, Anda tahu peternak bebek? Ketika ratusan bebek hanya mengikuti ayunan tongkat ke kiri dan ke kanan menjaga barisan bebek-bebek untuk tetap sesuai arah yang diinginkan sang “peternak”.
Selain itu, saya teringat bahwa negara kita menganut azas Ius Soli. Azas itu turut menegaskan bahwa setiap orang yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia. Maka meskipun seorang pemuda lahir sebagai etnis Tionghoa, ia pun juga adalah pemuda Indonesia. Tidak kurang tidak lebih dalam hak terutama kewajiban. Selama ia tidak memutuskan pindah kewarganegaraan maka masalah negara Indonesia juga adalah masalahnya sebagai warga negaranya. Lagi, suara-suara lantang menuntut keadilan, kemakmuran, dan kebenaran bukanlah hanya milik mereka yang dikatakan orang asli juga bukan yang sekali-sekali boleh dijijikkan oleh pemuda Tionghoa. Dengan azas itu juga kalau dulu pernah ada Sumpah Pemuda maka sumpah itu juga adalah sumpah para pemuda Tionghoa yang lahir di Indonesia. Bila menyadari betul hal ini, maka pola-pola kebudayaan terkait karena saya orang Tionghoa maka saya hanya boleh atau bisa ini dan itu juga turut tidak berlaku lagi.
Akhirnya, menjadi pemuda Tionghoa yang lahir di Indonesia tidaklah berbeda apalagi terpisah dengan menjadi pemuda Indonesia. Siapapun berhak mengambil andil dalam merealisasikan solusi terkait masalah yang tengah dialami negara kita. Meskipun sesungguhnya realisasi itu kerap membentur masalah rasisme ataupun bentuk pola pikir apapun yang diwariskan keluarga, lingkungan, hingga diri sendiri. Untuk saat ini tidak perlu muluk-muluk menuntut kesadaran para pemuda Tionghoa, biarlah mereka yang mau dan berani melangkah menjadi pengecualian! Paling tidak sembari bermimpi menyulut sumbu bom nuklir yang akan menyadarkan peran itu, saat ini kita tengah menyalakan lilin. Memang, apinya tidak seberapa dibanding bom nuklir, tetapi sebuah api mungil lebih baik dari pada kegelapan total. Jadi, jika dulu orang-orang berkumpul menyatakan sumpahnya untuk bertumpah darah, berbangsa, dan menjunjung bahasa persatuan, maka sumpah itu juga adalah Sumpah Pemuda-Tionghoa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H