"Gak usah panik," kata saya. "Itu mirip dengan tidak kena Covid," kata saya lagi. Dia tahu saya bukan dokter. Kata-kata saya itu lebih bersifat menghibur.
Indri sendiri sebenarnya  tidak tahu kalau dia kena Covid. Tidak merasakan sedikit pun gejala-gejala Covid. Tidak demam. Tidak batuk. Tidak sesak napas. Dan tidak kehilangan rasa.
Â
Dia baru tahu kalau terkena Covid belakangan. Yakni dari sikap hati-hatinyi. Dia merasa baru saja bersama teman yang terkena Covid. Dia harus  rapid test: negatif. Dia masih harus hati-hati: melakukan rapid antigen. Juga negatif. Lalu menjalani PCR: positif 33.
Indri buru-buru foto paru-paru: bersih. Tapi ia tetap isolasi diri di sebuah hotel. Anaknyi yang tiap hari mengantar segala macam keperluan. Gantian. Ketika anaknyi dulu terkena Covid, sang ibu yang jadi tukang antar segala macam keperluan isolasinya.
Walhasil, tidak usah panik kalau mendengar orang yang sudah vaksinasi masih terkena Covid. Mungkin mereka itu terlalu percaya diri. Itu wajar. Ekspektasi orang sama: begitu menjalani vaksinasi kedua, harusnya bisa langsung berteriak MERDEKA!
Tidak begitu.
Begitu suntikan kedua melewati hari ke 14 Â sebaiknya memang tes: apakah "saya'' tergolong 65 persen atau masuk yang 35 persen.
Teman-teman saya banyak yang tidak sabar. Baru satu minggu sudah tes. "Sudah muncul sih, tapi baru 7," katanyi. "Teman saya bahkan hanya 2," tambahnyi. "Tapi teman saya lainnya ada yang 37, ada juga yang 36," katanya. "Ada satu yang masih nonreaktif," katanya pula.
Begitulah. Vaksinnya sama: Sinovac. Tapi badan orang berbeda-beda. Termasuk cara badan merespons vaksin tersebut.
Munculnya perasaan ''sudah vaksin, sudah aman'' tidak bisa dibendung. Sama dengan orang yang sudah berhasil menjalani transplant ginjal atau liver. Mereka cepat-cepat ingin ''show-diri'. "Ini lho saya bukan orang sakit lagi". Atau "ini lho, saya sudah vaksinasi".