Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah( (UMKM) merupakan unit atau sektor bisnis yang berskala kecil yang juga bertarget dalam pasar yang kecil atau menegah. Meskipun merupakan unit yang kecil tetapi UMKM memiliki peran yang penting dalam perekonomian global, hal ini seringkali UMKM dijadikan sebagai tulang belakang ekonomi lokal dalam menciptakan lapangan kerja baru serta ada penyumbangan terhadap pertumbuhan perekonomian. Namun, UMKM memiliki suatu hambatan dalam beroperasional yakni dalam bagian pendanaan. Oleh karena itu, dalam upaya memahami pergerakan dan dinamika pendanaan UMKM, konsep Pecking Order Theory dan Myers Majluf Model telah menjadi fokus utama dalam penelitian akademis dan praktik bisnis.
Pecking Order Theory merupakan kerangka kerja dan pemikiran yang bermanfaat dalam memahami lebih dalam dengan preferensi perusahaan dalam pemilihan sumber pendanaan. Teori tersebut melihat bagaimana perusahaan sebagai entitas yang cenderung menggunakan sumber dana secara internal terlebih dahulu sebelum bergerak lebih lanjut dengan beralih ke pendanaan secara eksternal. Fungsi dari pendanaan secara eksternal dilakukan apabila dana secara internal tidak mencukup. Urutan yang dikemukakan dalam teori ini adalah laba ditahan, hutang, dan saham preferen serta yang terakhir adalah saham biasa. Urutan pendanaan ini menunjukkan bahwa pendanaan ini berdasarkan tingkat risiko atas keputusan dan biaya atas sumber pendanaan dari mulai yang termurah hingga yang paling mahal (Sartono, 2015). Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa perusahaan memiliki informasi yang lebih baik mengenai kelayakan proyek-proyek internal mereka dibanding investor secara eksternal.
Menurut Pecking Order Theory, urutan pendanaan yang diutamakan oleh perusahaan adalah sebagai berikut:
Sumber Dana Internal: Perusahaan cenderung memanfaatkan laba ditahan, tabungan pribadi pemilik, dan sumber dana internal lainnya untuk membiayai proyek-proyek baru atau ekspansi bisnis.
- Tabungan Pribadi Pemilik: seorang pemilik UMKM mungkin menggunakan tabungan pribadinya untuk memulai atau memperluas bisnisnya. Misalnya, seorang wirausaha yang memanfaatkan simpanan pribadinya untuk membeli peralatan atau menyewa ruang usaha.
- Laba Ditahan: UMKM yang telah beroperasi untuk beberapa waktu mungkin telah mengumpulkan laba ditahan dari kegiatan operasional mereka. Laba ini dapat digunakan untuk membiayai ekspansi bisnis, seperti meningkatkan kapasitas produksi atau mengembangkan produk baru.
- Pinjaman dari Keluarga atau Teman: pemilik UMKM dapat meminta pinjaman dari anggota keluarga atau teman dekat sebagai bentuk pendanaan internal sebelum mereka mempertimbangkan pendanaan eksternal. Ini sering menjadi opsi yang lebih mudah diakses dan memiliki persyaratan yang lebih fleksibel.
Utang: Jika sumber dana internal tidak mencukupi, perusahaan kemudian mempertimbangkan untuk menggunakan utang sebagai alternatif. Utang seringkali dianggap lebih murah daripada pendanaan ekuitas karena bunga yang dibayarkan dapat dikurangkan dari pajak.
Pinjaman Bank: UMKM dapat mengajukan pinjaman bank untuk memenuhi kebutuhan modal mereka. Misalnya, untuk membiayai pembelian inventaris tambahan atau untuk melunasi utang dagang.
Kredit Modal Kerja: pinjaman untuk modal kerja sering kali dibutuhkan oleh UMKM untuk menjaga likuiditas mereka dan mendukung operasi sehari-hari, seperti pembelian bahan baku atau pembayaran gaji karyawan.
Pembiayaan dari Lembaga Keuangan Non-Bank: selain bank, UMKM juga dapat mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan non-bank seperti perusahaan pembiayaan atau koperasi kredit.
Ekuitas: Pendanaan melalui penjualan saham merupakan opsi terakhir yang dipertimbangkan oleh perusahaan. Hal ini karena penerbitan saham dapat menyebabkan dilusi kepemilikan, serta membawa biaya tambahan seperti biaya underwriting dan biaya administrasi.
Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering/IPO): UMKM yang telah berkembang dan memiliki rencana ekspansi besar mungkin memilih untuk melakukan IPO untuk mengumpulkan dana dari pasar modal. Contoh ini jarang terjadi di tingkat UMKM, kecuali jika perusahaan tersebut telah tumbuh menjadi perusahaan besar.
- Penjualan Saham kepada Investor Swasta: UMKM yang membutuhkan investasi besar untuk pertumbuhan atau ekspansi mungkin menjual saham kepada investor swasta atau venture capital sebagai bagian dari strategi pendanaan mereka.
Oleh karena itu, Pecking Order Theory ketika diterapkan dalam UMKM ini dapat mengelola pendanaan mereka secara lebih efektif. UMKM dapat memanfaatkan sumber dana secara internal ini sebelum mencari pendanaan eksternal yang cenderung lebih mahal dan tentunya beresiko. Hal ini juga membantu mereka dalam pengelolaan biaya pendanaan dan mengurangi resiko keuangan yang bersangkutan dengan pendanaan eksternal. Maka Pecking Order Theory bukan hanya menjadi kerangka teoretis, tetapi juga alat yang praktis bagi UMKM untuk mengembangkan strategi pendanaan mereka secara berkelanjutan.
Myers Majluf Model, di sisi lain menyoroti asimetri informasi antara manajemen sebuah perusahaan dan investor secara eksternal. Teori atau model ini mengasumsikan bahwa manajemen perusahaan memiliki informasi yang lebih menguntungkan tentang prospek bisnis mereka daripada investor. Oleh karena itu, ketika perusahaan memutuskan untuk mencari pendanaan secara eksternal, para investor ada probabilitas akan menganggap bahwa perusahaan tersebut memiliki masalah atau kesulitan yang tidak diungkapkan secara keseluruhan.
Menurut Myers Majluf Model, asimetri informasi antara perusahaan dan investor eksternal dapat berdampak sebagai:
- Biaya Asimetri Informasi: investor eksternal mungkin menuntut tingkat pengembalian yang lebih tinggi untuk mengkompensasi ketidakpastian yang dihadapi akibat kurangnya informasi yang tersedia.Â
- Adverse Selection: perusahaan cenderung menarik jenis investor yang lebih bersedia mengambil risiko atau memiliki ekspektasi pengembalian yang lebih rendah, karena investor yang lebih konservatif atau berpengalaman mungkin akan menghindari investasi tersebut karena ketidakpastian yang terkait dengan informasi yang terbatas. Â
Kedua pendekatan tersebut yakni Pecking Order Theory dan Myers Majluf Model dapat memberikan wawasan yang berharga mengenai dinamika pendanaan dalam berjalannya UMKM. Pecking Order Theory menyoroti preferensi perusahaan dalam menggunakan sumber dana secara internal terlebih dahulu, dimana Myers Majluf Model lebih menyoroti tantangan yang akan dihadapi oleh perusahaan atau UMKM dalam mendapatkan pendanaan secara eksternal akibat dari asimetri informasi.Â
Dalam dunia nyata, UMKM pada umumnya menggunakan kombinasi dari kedua pendekatan tersebut. UMKM dapat memanfaatkan sumber dana secara internal, seperti laba yang ditahan atau tabungan pribadi individiu yang dipakai menjadi modal dalam menjalankan operasional dari operasi sehari-hari hingga ekspansi bisnis. Tetapi, hal ini menimbulkan pertimbangan yakni ketika UMKM memerlukan pendanaan yang lebih ketika ingin mengembangkan bisnis atau proyek-proyek yang lebih besar atau berisiko tinggi. Oleh karena itu, UMKM harus mempertimbangkan bagaimana cara menyajian informasi mereka terhadap investor yang memiliki potential untuk menanamkan uang di perusahaan agar tidak menimbulkan kecurigaan yang berlebihan mengenai prospek bisnis mereka.
Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan dalam mendapatkan pendanaan dalam UMKM, hal yang perlu dilakukan yakni memahami bagaimana secara mendalam preferensi perusahaan tersebut. Selain itu, UMKM juga harus mengetahui bagaimana mengatasi tantangan yang dapat diakibatkan oleh asimetri informasi antara pihak UMKM dengan investor atau sumber pendanaan eksternal. Dengan memanfaatkan pendekatan yang holistik dan bijaksana terhadap pendanaan, UMKM dapat memperkuat posisi mereka dalam menghadapi tantangan dan peluang di pasar.
Daftar Pustaka:
Sartono, A. (2015). Manajemen Keuangan: Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: BPFE
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H