Mohon tunggu...
Vincensia Prima P.
Vincensia Prima P. Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis adalah media katarsis terbaik

Seorang manusia yang terlahir dari rahim ibu yang mulia.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

What Goes Around, Comes Back Around: Sebuah Permenungan tentang Kesombonganku terhadap Mereka

29 Februari 2016   11:58 Diperbarui: 29 Februari 2016   12:35 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="hikingartist.files.wordpress.com"][/caption]

 

"Karena bukan dari debu terbit bencana dan bukan dari tanah tumbuh kesusahan; melainkan manusia menimbulkan kesusahan bagi dirinya, seperti bunga api berjolak tinggi."

 

-Ayub 5: 6-7

Bumi merupakan tempat yang menjadi pijakan segala makhluk bersukma untuk melangsungkan kehidupan dan aktivitas biotik. Segala makhluk hidup yang memijakkan kaki di atasnya, berusaha untuk saling berinteraksi agar keseimbangan ekosistem dapat terjaga. Namun, seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi yang kian berkembang, eksploitasi alam pun semakin sering digalakkan demi menciptakan lahan-lahan industri baru. Akibatnya, berbagai macam bencana dapat dirasakan sebagai rentetan panjang dari perkembangan peradaban ini.

Manusia sebagai pemegang mandat tertinggi atas kelangsungan hidup segala makhluk di bumi, tentu menjadi makhluk yang paling unik. Manusia memiliki akal dan budi untuk berpikir dan merasa. Terlebih kemampuannya untuk berpikir, manusia dibekali segala macam ‘perangkat’ agar apa yang dipikirkannya dapat berguna bagi sesama. Setiap manusia yang dibekali akal dan budi, tentu memiliki ideologi atau gagasan yang berbeda-beda dalam memposisikan lingkungan, baik dari bagaimana manusia memandang masalah lingkungan, cara menyelesaikan masalah lingkungan maupun mempertahankan kelestarian lingkungan bagi generasi selanjutnya. Ideologi menjadi salah satu software yang ampuh untuk mengubah kondisi lingkungan yang semakin memprihatinkan. Ideologi terhadap lingkungan dapat timbul untuk menyelaraskan kehidupan manusia dengan lingkungan, mengingat manusia tidak bisa hidup tanpa lingkungan, dan lingkungan pun tidak bisa hidup tanpa manusia. Apalagi di era globalisasi ini, ribuan bahkan jutaan manusia berlomba-lomba untuk menangani masalah lingkungan. Mulai dari kalangan masyarakat yang sebagiannya tergabung dalam LSM melakukan aksi-aksi nyata demi menciptakan lingkungan yang lebih baik lagi. Tak mau kalah, perusahaan-perusahaan berskala besar sampai perusahaan berskala kecil pun turut berupaya untuk menciptakan label ‘go green’ atau ramah lingkungan di setiap aktivitas dan produk yang dibuat. Realitanya, Bila dilihat lebih jauh lagi, perusahaan-perusahaan yang mulai menggalakkan label ‘go green’ di setiap produknya justru menggunakan jargon tersebut sebagai bentuk persaingan yang bersifat kapitalis.

Menurut Eder, adanya identitas ‘green’ telah menjadi aset simbolis yang utama dalam masyarakat  modern yang dapat dihubungkan dengan berbagai macam dasar dari filosofi lingkungan (Buhr & Reiter, 2006:4). Dalam menghadapi kenyataan bahwa kondisi lingkungan semakin hari semakin memprihatinkan, diperlukan beberapa ideologi dan filosofi sebagai dasar manusia untuk mengurai segala permasalahan lingkungan yang terjadi. Warren (1998a) menjelaskan bahwa filsafat lingkungan mengadopsi dua pendekatan dasar filsafat tradisional, yaitu teori-teori konsekuensial (teleologikal) seperti utilitarianisme, serta teori-teori non-konsekuensial (deontologikal) seperti filsafat yang berbasis pada hak (right-based philosophies). Selain mengadopsi dua pendekatan ini, filsafat lingkungan memiliki cabang pendekatan non-tradisional atau yang biasa disebut dengan ekologi mendalam (deep ecology) dan ekofeminisme (ecofeminism) (Buhr & Reiter, 2006:4). Pandangan lain menyatakan bahwa filsafat lingkungan secara umum dapat dibagi dalam dua sudut pandang, yaitu antroposentris (berpusat pada manusia) dan ekosentris (berpusat pada lingkungan). Meskipun dibagi menjadi dua pandangan, keduanya tidak dapat dibandingkan karena adanya perbedaan standar (Attfield, 2003; Purser et al., 1995 dalam Buhr & Reiter, 2006:4). Oleh karena itu, Gray et al. (1996) dalam Buhr & Reiter (2006:5) mengemukakan tujuh klasifikasi mengenai pandangan umum atas hubungan antara organisasi ekonomi, masyarakat dan lingkungan, yakni:

 

Filosofi Antroposentris

1.      Kapitalis Murni meyakini pandangan dominan dalam akuntansi dan keuangan, dimana kewajiban utama perusahaan adalah menghasilkan uang untuk para pemilik modal/pemegang saham;

2.      Kaum Bijak merupakan orang-orang yang memiliki pandangan jauh ke depan dengan kepedulian bahwa kemakmuran ekonomi dan stabilitas hanya bisa dicapai dengan melakukan kewajiban-kewajiban sosial tertentu;

Kedua pandangan ini terkait dengan ekonomi neo-klasik yang berdasarkan pada kerangka pikir utilitarian yang secara sempit maupun rasional memiliki fokus pada kepentingan diri. Preferensi atau pilihan individu lebih istimewa dibandingkan dengan kebutuhan kolektif dan masyarakat dilihat sevagai produk dari perjuangan kompetitif yang hanya bisa diwujudkan melalui kekuatan pasar. Peran pemerintah hanya terbatas pada perlindungan hak hidup, kebebasan serta hak milik (Clark, 1998 dalam Buhr & Reiter, 2006:5). Alam hanya diukur berdasarkan kegunaannya bagi manusia dan nilainya bersifat instrumental (Birkeland et al., 1997 dalam Buhr & Reiter 2006).

3.     Pendukung Kontrak Sosial meyakini bahwa perusahaan-perusahaan dan banyak organisasi dapat muncul dan eksis karena adanya izin dari masyarakat. Oleh sebab itu, terdapat tanggungjawab untuk menghormati dan menanggapi masyarakat. Secara umum, pandangan ini didasarkan pada pertimbangan hak-hak asasi manusia (Buhr & Reiter, 2006). Peran signifikan dari pemerintah tercermin dalam bentuk regulasi karena harga-harga di pasar tidak merefleksikan biaya sesungguhnya dari kerusakan lingkungan dan sosial terkait proses produksi dan konsumsi (Clark, 1998 dalam Buhr & Reiter, 2006).  Sylvan (1998) dalam Buhr & Reiter (2006:6) menjelaskan bahwa manusia memiliki peran untuk mengembangkan, mengolah dan menyempurnakan alam. Hal ini nampaknya dilakukan (lagi-lagi) untuk kepentingan manusia sendiri, sehingga dengan sedemikian rupa peran-peran tersebut selaras dengan kegunaan secara ekonomis.

 

Filosofi Ekosentris

4.      Ekologiawan Sosial merupakan kaum yang memperhatikan lingkungan sosial dan memiliki keyakinan bahwa organisasi besar telah berpengaruh dalam membuat problem-problem sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, organisasi-organisasi seharusnya ikut mengambil bagian dalam membasmi problem-problem sosial dan lingkungan ini;

5.      Sosialis percaya bahwa harus ada pengaturan kembali secara signifikan terhadap sistem kepemilikan dan struktur masyarakat;

Dua perspektif ini berusaha memosisikan manusia dalam konteks lingkungan serta mengkritisi segala bentuk dominasi. Namun, sebagai negara berbangsa, dua perspektif ini mengacu pada pemusatan kekuatan ekonomi, otoritarianisme, ideologi represesif dan menjadi mesin ekoteknologikal raksasa (Clark, 1998 dalam Buhr & Reiter, 2006:6).

6.      Feminis Radikal meyakini adanya kesalahan yang paling esensial tentang konstruksi agresif maskulin yang menjadi pedoman dalam sistem sosial kita, sehingga dibutuhkan nilai-nilai yang lebih feminin, seperti cinta, belas kasih dan gotong royong. Ekofeminisme menjadi payung dari berbagai pandangan yang berfokus terhadap bagaimana dominasi atas perempuan sejalan dengan dominasi terhadap lingkungan (Warren, 1994 dalam Buhr & Reiter, 2006:6). Persoalan mengenai dominasi yang merendahkan nilai perempuan serta alam lebih spesifik lagi diarahkan pada androsentrisme atau konsepsi tertentu mengenai kelelakian, bukan hanya keterpusatan pada manusia (Buhr & Reiter, 2006:7).

7.      Deep Ecologists adalah mereka yang memegang teguh kepercayaan bahwa manusia tidak memiliki hak yang lebih tinggi terhadap kehidupan dari makhluk hidup lainnya. Deep ecology berfokus pada usaha untuk menghadirkan sikap egalitarian atau kesetaraan antara manusia dengan segala entitas yang ada dalam ekosfer (Fox, 1998 dalam Buhr & Reiter, 2006:7).

 

Adanya filsafat-filsafat dan ideologi mengenai lingkungan, telah menghadirkan pengaruh penting untuk mengubah dunia. Kini, banyak bermunculan masyarakat-masyarakat dengan gerakan untuk membuat sesuatu yang baik bagi alam. Manusia mulai berpikir bahwa aksi nyata berbuat baik kepada alam akan membawa efek timbal balik, dimana manusia juga akan mendapat kebaikan dari alam. Namun, kesadaran peduli lingkungan tidak sepenuhnya diterjemahkan secara baik oleh masyarakat. Masih ada banyak kalangan yang justru membuat kapitalisme dan persaingan ekonomi muncul. Lingkungan dijadikan wahana para pengusaha sebagai perjuangan politik dan perebutan posisi dalam pasar, untuk meraih green image. Mungkin saja, bombardir kapitalisme terhadap lingkungan akan menutup kemungkinan untuk mencapai keberlanjutan (Gray & Milne, 2004 dalam Buhr & Reiter, 2006). Namun, menyerah pada kondisi dan berhenti berusaha untuk melestarikan lingkungan tentu bukan menjadi sebuah pilihan (Buhr & Reiter, 2006:24). Maka dari itu, pelestarian lingkungan dapat dipupuk dengan menumbuhkan niat untuk menyayangi lingkungan, yang nantinya akan berkembang menjadi sebuah aksi dan partisipasi dari segala pihak dalam upaya untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik lagi.

 

Daftar Pustaka

Buhr, N. & Reiter, S. (2006). Ideology, the Environment, and One Worldview: A Discourse Analysis of Noranda’s Environmental and Sustainable Development Reports. Diakses pada 27 Februari 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun