Empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Sikap empati sering ditunjukkan melalui bentuk sikap atau tindakan.
Sikap empati terhadap diri anak berkebutuhan khusus sangat perlu dan sangat penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada dirinya. Dengan rasa percaya diri tersebut siswa berkebutuhan khusus dapat menunjukkan kemampuan atau bakat yang dimilikinya.
Menurut B.Titchener (1909) yang pertama kali memperkenalkan empati sebagai terjemahan dari Bahasa Jerman einfuhlung yaitu secara harfiyah artinya memasuki persaan orang lain.
Kemampuan berempati harus dimiliki oleh semua orang, karena kemampuan berempati ini muncul pada usia Sekolah Dasar atau dimulai sekitar usia 6 tahun, yang membedakan perasaan empati seorang individu dengan lainnya adalah tingkat kedalaman perasaan dan cara menunjukkan perasaan empati tersebut.
Di sekolah inklusi sering terjadi perundungan (bulliying), dimana siswa berkebutuhan khusus yang menjadi korbannya. Hal ini dikarenakan kurangnya empati siswa reguler. Tindakan bulliying mengakibatkan siswa berkebutuhan khusus merasa terkucilkan dengan siswa reguler lainnya.
Hal tersebut dapat membuat siswa berkebutuhan khusus menjadi down, sehingga tidak dapat melakukan kegiatan yang sering dilakukan serta lebih pendiam dalam mengikuti pembelajaran karena, merasa tidak nyaman dan rasa percaya dirinya tidak ada. Untuk itu, rasa empati sangat penting ditanamkan pada diri anak, agar terhindar dari permusuhan atau perkelahian yang mengakibatkan ketidaknyamanan dan rasa percaya diri hilang.
Adapun beberapa indikator seorang anak dapat disebut memiliki empati yang baik yaitu: memahami perasaan orang lain, memahami ekspresi yang ditunjukkan orang lain, memahami kesedihan orang lain dan memberi respon yang tepat, menunjukkan bahwa ia mengerti perasaan orang lain, menunjukkan kepedulian ketika orang lain diperlakukan tidak baik dan tidak adil, menunjukkan keinginan untuk memahami sudut pandang orang lain, dan mengungkapkan secara lisan pemahaman terhadap perasaan orang lain (Borba: 2008).
Menurut Melinda J. Vitale dalam bukunya The Effective Parenting (2007:125), ada 2 metode yang dapat digunakan oleh guru dalam menumbuhkan rasa empati siswa. Metode yang pertama adalah metode keteladanan, secara etimologi metode keteladaanan mempunyai makna “sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh”. Untuk itu, guru harus selalu memberikan contoh yang baik dan dapat ditiru bagi siswa.
Contoh dari metode keteladanan ini adalah menjadi guru teladan yang memiliki sikap, moral yang baik. Karena secara otomatis siswa akan meniru seluruh tingkah laku guru. Selain itu, guru mengajarkan siswa untuk selalu memiliki sikap dan moral yang baik pada saat kegiatan pembelajaran dengan menyatukan materi pembelajaran pada kehidupan sehari-hari siswa terhadap setiap orang.
Metode yang kedua adalah metode karyawisata, metode ini merupakan kegiatan pembelajaran dengan cara mengamati dunia secara langsung sesuai dengan kenyataan yang ada. Misalnya, siswa diajak ke suatu tempat atau objek tertentu untuk mempelajarinya lebih jauh, membantu anak memahami kehidupan nyata dalam lingkungan.
Objek yang dikunjungi seperti ke panti asuhan anak yatim piatu, disana guru melatih untuk memberikan sedekah pada fakir miskin dan siswa dapat membantu orang lain yang sedang membutuhkan bantuan atau pertolongan.