Mohon tunggu...
Vina Fitrotun Nisa
Vina Fitrotun Nisa Mohon Tunggu... Penulis - partime journalist

Senang bercerita

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Apakah Kalian Tim Quiet Quitting? Tren Bekerja yang Lagi Happening di Kalangan Generasi Z

24 September 2022   14:47 Diperbarui: 24 September 2022   15:07 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: okezone.com

Sebagai manusia, dimanapun dan dengan siapapun kita hidup masalah pasti akan kita temukan. Salah satu isu yang sedang ramai dibahas di dunia kerja saat ini adalah isu yang berkaitan dengan interaksi antara staf dan bos atau atasan dengan bawahan.

Entah merupakan hal baru atau sudah lama, namun pandangan mengenai "Quiet Quitting" saat ini menimbulkan diskursus menarik yang menimbulkan pro kontra. "Quiet Quitting" atau istilah sederhananya adalah bekerja seperlunya umumnya dianut oleh para staf atau karyawan. Sementara respon atasan dari sikap tersebut adalah "Quiet Firing" atau mendiamkan karyawan untuk terlibat dalam sebuah sebuah proyek atau kenaikan jabatan

Pertanyaan dari interaksi tersebut pun muncul. Apakah interaksi quiet quitting dan quiet firing antara staf dan atasan itu baik terlebih jika interaksi model ini terjadi dalam waktu yang lama. 

Untuk menjawab pandangan tersebut mari kita telaah dari perspektif para staf dan perspektif para bos. Berdasarkan referensi dan pengalaman pribadi, sebagai staf apalagi yang sudah berkeluarga, ketegasan antara waktu bekerja dan istirahat sangatlah penting. menentukan batasan tentang apa yang sedang dilakukan pada saat jam kerja dan diluar jam kerja sangatlah penting untuk menciptakan pola hidup yang seimbang.

Berbanding terbalik dengan para staf yang ingin memiliki keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, para atasan atau bos biasanya memiliki pemikiran yang berlawanan. 

Beberapa atasan atau bos terutama di perusahaan tertentu cenderung berpikir bagaimana caranya memberdayakan para staf agar mendapatkan keuntungan yang besar bagi dirinya dan perusahaan atau institusi yang dipimpinnya.

Perspektif para bos, selain berpikir kompetitif, pasti juga akan berpikir tentang bagaimana perusahaan yang dipimpinnya bisa tetap eksis atau terus berjalan. Oleh karenanya, sebagian orang mungkin berpikir, untuk mewujudkan hal tersebut, dirinya dan para staf tidak bisa bekerja biasa-biasa saja. diperlukan sebuah usaha ekstra atau usaha lebih yang dirinya dan para staf lakukan dibanding dengan perusahaan lain.

Konflik akan muncul ketika terjadi ketidakselarasan antara hak dan kewajiban atau antara tuntutan dan apa yang didapatkan. Oleh karenanya, untuk menghindari konflik tersebut terutama untuk menghindari konflik terjadi dalam waktu yang lama, diperlukan sebuah keseimbangan antara hak dan kewajiban yang didukung dengan komunikasi yang baik antara staf dan karyawan.

Keseimbangan tersebut dapat tercipta dengan kemauan masing-masing pihak dalam komitmen yang telah dibuat bersama. Bagi para staf, bersikap seperlunya pasti merupakan senjata utama, selain menghindari diri dari berbagai interaksi yang tidak diinginkan, bersikap seperlunya juga dapat menyelamatkan kita dari ebrbagai drama yang mungkin terjadi selama bekerja.

Kesepakatan antara para staf dan atasan dapat dibuat di awal sebelum para staf masuk ke struktur perusahaan. Dalam fase ini, para atasan sebaiknya membuat aturan yang jelas mengenai lama waktu bekerja, komunikasi dan koordinasi, bonus yang didapatkan jika bekerja lebih dari jam kerja dan hal-hal lain yang umunya disepakati di awal kerja.

Para atasan juga harus memiliki kesadaran tentang pemberdayaan tenaga kerja. masalahnya, seluruh staf tidak bisa dipekerjakan semaunya tanpa memperhatikan hak dan kebutuhan staf seperti kebutuhan untuk istirahat dan metahuman hobi. Karena kesehatan para staf juga nantinya akan berpengaruh terhadap kinerja yang akan dilakukan.

Sebaliknya, jika para staf sudah terlihat mulai melenceng dari perjanjian awal, seorang atasan dapat melakukan rapat evaluasi atau menegur staf tersebut secara langsung. Untuk menyimpulkan apakah sikap quiet quitting merupakan ide yang bagus atau tidak pasti akan dikembalikan lagi kepada masing-masing individu.

Karena setiap orang memiliki target dan tujuan yang berbeda. Disamping itu, tidak semua perusahaan juga memiliki fokus dan bidang yang sama. ada bidang-bidang lain yang menuntuk perusahaan tersebut harus berbeda dari perusahaan lainnya. inti dari relasi dan interaksi yang sehat antara staf dan atasan adalah adanya komunikasi dan komitmen yang sama-sama dijalankan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun