Sebagai manusia, dimanapun dan dengan siapapun kita hidup masalah pasti akan kita temukan. Salah satu isu yang sedang ramai dibahas di dunia kerja saat ini adalah isu yang berkaitan dengan interaksi antara staf dan bos atau atasan dengan bawahan.
Entah merupakan hal baru atau sudah lama, namun pandangan mengenai "Quiet Quitting" saat ini menimbulkan diskursus menarik yang menimbulkan pro kontra. "Quiet Quitting" atau istilah sederhananya adalah bekerja seperlunya umumnya dianut oleh para staf atau karyawan. Sementara respon atasan dari sikap tersebut adalah "Quiet Firing" atau mendiamkan karyawan untuk terlibat dalam sebuah sebuah proyek atau kenaikan jabatan
Pertanyaan dari interaksi tersebut pun muncul. Apakah interaksi quiet quitting dan quiet firing antara staf dan atasan itu baik terlebih jika interaksi model ini terjadi dalam waktu yang lama.Â
Untuk menjawab pandangan tersebut mari kita telaah dari perspektif para staf dan perspektif para bos. Berdasarkan referensi dan pengalaman pribadi, sebagai staf apalagi yang sudah berkeluarga, ketegasan antara waktu bekerja dan istirahat sangatlah penting. menentukan batasan tentang apa yang sedang dilakukan pada saat jam kerja dan diluar jam kerja sangatlah penting untuk menciptakan pola hidup yang seimbang.
Berbanding terbalik dengan para staf yang ingin memiliki keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, para atasan atau bos biasanya memiliki pemikiran yang berlawanan.Â
Beberapa atasan atau bos terutama di perusahaan tertentu cenderung berpikir bagaimana caranya memberdayakan para staf agar mendapatkan keuntungan yang besar bagi dirinya dan perusahaan atau institusi yang dipimpinnya.
Perspektif para bos, selain berpikir kompetitif, pasti juga akan berpikir tentang bagaimana perusahaan yang dipimpinnya bisa tetap eksis atau terus berjalan. Oleh karenanya, sebagian orang mungkin berpikir, untuk mewujudkan hal tersebut, dirinya dan para staf tidak bisa bekerja biasa-biasa saja. diperlukan sebuah usaha ekstra atau usaha lebih yang dirinya dan para staf lakukan dibanding dengan perusahaan lain.
Konflik akan muncul ketika terjadi ketidakselarasan antara hak dan kewajiban atau antara tuntutan dan apa yang didapatkan. Oleh karenanya, untuk menghindari konflik tersebut terutama untuk menghindari konflik terjadi dalam waktu yang lama, diperlukan sebuah keseimbangan antara hak dan kewajiban yang didukung dengan komunikasi yang baik antara staf dan karyawan.
Keseimbangan tersebut dapat tercipta dengan kemauan masing-masing pihak dalam komitmen yang telah dibuat bersama. Bagi para staf, bersikap seperlunya pasti merupakan senjata utama, selain menghindari diri dari berbagai interaksi yang tidak diinginkan, bersikap seperlunya juga dapat menyelamatkan kita dari ebrbagai drama yang mungkin terjadi selama bekerja.
Kesepakatan antara para staf dan atasan dapat dibuat di awal sebelum para staf masuk ke struktur perusahaan. Dalam fase ini, para atasan sebaiknya membuat aturan yang jelas mengenai lama waktu bekerja, komunikasi dan koordinasi, bonus yang didapatkan jika bekerja lebih dari jam kerja dan hal-hal lain yang umunya disepakati di awal kerja.