Sebagai seseorang yang dibesarkan di Pulau Jawa, saya sungguh terenyuh menyaksikan video viral sekelompok anak SD yang menyebrangi sungai menggunakan syrofoam. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kemudian jika styrofoam itu pecah ditengah sungai.
Setelah ditelusuri, kejadian tersebut ternyata berlokasi di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatra Selatan. Berdasarkan data BPS, Provinsi ini memang cukup memiliki presentasi kemiskinan yang tinggi, yakni sebesar 12,36%.
Sebagai pengantar, saya ingin mengatan di awal bahwa saya bukanlah seorang pakar hukum, Â atau pemerhati kemiskinan. Â Marilah kita anggap tulisan ini sebagai celoteh, atau hanya sekedar ungkapan kegundahan seorang rakyat jelata saja.
Potret kehidupan yang kita saksikan di video itu mungkin hanyalah satu dari ribuan bahkan jutaan penderitaan yang dialami penduduk miskin di Indonesia. Bayangkan saja, saat ini kita memiliki 27,54 juta penduduk miskin, hampir setara dengan total populasi Venezuela.
Kesepakatan tentang pelabelan miskin telah ditentukan dari jumlah pengeluaran masyarakat. Apabila seseorang memiliki pengeluaran dibawah Rp 472.525 per bulan, maka orang tersebut dikatakan sebagai masyarakat miskin.
Menghadapi kemiskinan ini, pemerintah telah mengeluarkan semua upaya. Salah satunya melalui berbagai program perlindungan sosial, mengundang investor asing agar bisa menciptakan tenaga kerja, meningkatkan kualitas pendidikan, mendorong beasiswa, dan mungkin masih banyak program lainnya dari berbagai rezim yang tidak saya ketahui.
Sayangnya, kita semua lupa. Bahwa korupsi merupakan penghambat dari semua tujuan ideal itu. semua cita-cita itu sirna bak tulisan pasir yang disapu ombak. Seringkali saya berpikir, jikalah kita semua merasa cukup dengan anugerah yang Tuhan berikan untuk Indonesia dan dikelola oleh pemimpin yang jujur dan amanah, masyarakat miskin pasti tidak akan ada.
Coba kita sebut potensi alamiah yang ada di Indonesia, saya rasa semua unsur dalam tabel periodik kita punya. Kita memiliki tambang emas di Papua, timah di Pulau Bangka dan Belitung, nikel di Sulsel, Sulteng, Halmahera Timur dan Papua, batubara di Kalimantan, minyak bumi, gas, dan masih banyak lagi.
Pertanyaannya, apakah kita tahu sumber daya alam yang kita miliki, siapa yang menguasainya, apakah sumber daya itu telah memberikan dampak, atau sumber daya itu hampir habis tanpa meningkalkan kesejahteraan, Â atau potensi itu sengaja ditutup-tutupi oleh segelintir orang.
Dalam aspek sumber daya alam saja, jika semuanya dikelola dengan jujur dan transparan, saya yakin akan menciptakan kemakmuran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar, bahkan satu daerah dapat saling membantu dengan daerah lain yang memiliki pendapatan lebih rendah.