Mohon tunggu...
Vina Alfiana
Vina Alfiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo, perkenalkan saya Vina Alfiana merupakan mahasiswa tingkat akhir di salah satu Universitas di Kota Malang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Fenomena Sampah Fashion: Dampak dan Upaya Global dalam Mengurangi Krisis Sampah di Industri Fashion

26 Desember 2024   11:17 Diperbarui: 26 Desember 2024   11:17 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

G7 Fashion Pact adalah inisiatif lingkungan yang dipelopori oleh Presiden Emmanuel Macron dan CEO Kering, Franois-Henri Pinault, pada G7 2019. Pakta ini melibatkan 75 perusahaan dan lebih dari 150 merek, termasuk Gucci, Chanel, Prada, Nike, Zara, dan H&M, untuk mengurangi dampak negatif industri fashion terhadap lingkungan (Asy'ari & Amalia, 2022).  Beutified (2019) dalam (Asy'ari & Amalia, 2022) menjelaskan bahwa fokus utamanya adalah pada perubahan iklim, perlindungan keanekaragaman hayati, dan konservasi laut, dengan tujuan mencapai 100% energi terbarukan sebelum 2030, menghilangkan emisi karbon pada 2050, dan mengurangi polusi plastik dan bahan kimia.

3. Global Fashion Summit

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ini diselenggarakan oleh Global Fashion Agenda, yang berawal dari Copenhagen Fashion Summit pada 2009, bertepatan dengan COP15. Saat itu, keberlanjutan masih dianggap sebagai isu filantropi dalam fashion. Global Fashion Agenda berupaya mendorong tanggung jawab industri fashion terhadap iklim dan memicu diskusi keberlanjutan. Setelah 13 tahun, keberlanjutan kini diakui penting oleh CEO dan investor yang mempertimbangkan ESG. KTT ini memperkuat koneksi perusahaan fashion global, meningkatkan kesadaran, dan mendorong aliansi internasional. Global Fashion Summit melibatkan lebih dari 100 perusahaan dan 600 pertemuan bisnis (Summit, 2022).

4. Kampanye Sustainable Fashion

Sustainable fashion merupakan bagian dari gerakan slow fashion, gerakan ini sering dianggap sebagai lawan dari fast fashion. Slow fashion berfokus pada nilai-nilai keberlanjutan, seperti memperbaiki kondisi kerja dan mengurangi dampak lingkungan (Pookulangara & Lenzen, 2013). Gerakan ini muncul sebagai tanggapan terhadap siklus fashion yang cepat dan pertumbuhan bisnis yang tidak berkelanjutan, dengan mempromosikan perilaku etis, mengurangi produksi, dan lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas (Ertekin & Atik, 2014). Johnston 2012 dalam (Asy'ari & Amalia, 2022) menjelaskan sustainable fashion lebih menekankan pada pemberdayaan pekerja di seluruh rantai pasokan, penggunaan daur ulang, teknik produksi tradisional, serta pemanfaatan bahan baku yang terbarukan dan organik. Inti dari slow fashion dan sustainable fashion terletak pada pendekatan seimbang dalam proses produksi busana, seperti menciptakan dampak positif yang berkelanjutan, mendukung produksi lokal, dan menekankan transparansi bahan baku (Ertekin & Atik, 2014).

Selain slow fashion, kini muncul gerakan thrift sebagai respons terhadap fast fashion, yang populer di kalangan generasi Z dan Y yang lebih peduli terhadap perubahan iklim dibandingkan generasi sebelumnya. Sebelumnya, thrift merujuk pada toko amal di Amerika Serikat dan Inggris yang menjual barang bekas untuk tujuan amal. Namun, di Indonesia, thrift shop memiliki makna yang sedikit berbeda, di mana barang bekas dijual tanpa tujuan amal, melainkan untuk penghematan dan pengurangan limbah fashion (Sendari, 2021). Thrift shop kini dapat ditemukan di media sosial atau pasar thrift. Gerakan thrift membantu mengurangi dampak negatif dari fast fashion terhadap lingkungan, ekonomi, dan sosial, serta mendukung pola konsumsi yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Simpulan

 

Sampah fashion menjadi masalah besar yang muncul akibat fenomena fast fashion, yang menawarkan tren pakaian dengan harga terjangkau namun menghasilkan limbah tekstil yang sangat banyak. Produksi massal yang cepat ini menyebabkan tingginya volume sampah fashion, yang berkontribusi pada polusi air, udara, dan tanah. Dampak negatif lain dari fast fashion termasuk pemanasan global, penipisan ozon, dan dampak buruk terhadap kondisi tenaga kerja di negara berkembang.

Upaya global untuk mengurangi krisis sampah fashion dapat dimulai melalui berbagai alternatif, seperti komitmen dalam Fashion Industry Charter for Climate Action, G7 Fashion Pact, dan Global Fashion Summit, yang bertujuan mengurangi dampak negatif industri fashion terhadap lingkungan. Selain itu, gerakan seperti slow fashion dan thrift juga memberikan alternatif untuk mengurangi konsumsi berlebihan, dengan fokus pada keberlanjutan, etika, dan pengurangan limbah. Gerakan ini semakin populer di kalangan generasi muda yang lebih peduli terhadap isu perubahan iklim, sehingga mendorong konsumsi yang lebih bijak dan ramah lingkungan.

Daftar Rujukan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun