Para ahli terdahulu pun berpendapat, yakni oleh Branch & Oberg (2004), dimana model inkuiri ini memiliki enam fase:Â
(a) perencanaan,Â
(b) pengumpulan informasi,Â
(c) pemrosesan informasi,Â
(d) penarikan kesimpulan,Â
(e) komunikasi, danÂ
(f) evaluasi.Â
Dari paparan para ahli di atas, hal ini dapat kita terapkan pada kegiatan pembelajaran di kelas kita. Membantu peserta didik dan guru mencapai tujuan pendidikan nasional di Indonesia, khususnya dalam pengajaran sains di seluruh sekolah. Tingkat model inkuiri ini menunjukkan bahwa peserta didik dapat melatih keterampilan berpikir kritis dengan model pembelajaran ini. Keterampilan ini diperoleh dengan mencari data, mengolah data, membuat pernyataan penalaran, menyampaikan pengetahuan yang didukung oleh teori yang relevan, dan menolak pendapat yang diterima, namun terdapat informasi yang salah ataupun keliru. Kegiatan pembelajaran berbasis inkuiri ini memperkenalkan peserta didik untuk aktif mencari informasi dengan melakukan eksperimen pemecahan masalah. Bahwa dalam hal ini akan mempengaruhi pencapaian hasil belajar yang setinggi-tingginya, karena peserta didik akan terbiasa menjawab permasalahan dengan analisis yang tepat. (Nisa, E. K., Jatmiko, B., & Koestiari, T., 2018). Sehingga nantinya dapat terpacu untuk selalu berpikir kritis.
Ada tiga jenis pendekatan penelitian, yaitu model pembelajaran penelitian bebas, model pembelajaran penelitian bebas modifikasi, dan model pembelajaran penelitian terbimbing. Model yang didasarkan pada teori konstruktivis ini memiliki makna bahwa pengetahuan harus dibangun ke dalam pikiran peserta didik. (Conway, 2014). Dimana pengalaman belajar peserta didik semakin mendalam dan mereka terpapar pada prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang ada sehingga nantinya dapat tercapainya tujuan pendidikan nasional. (Machtinger, 2014).
Model inkuiri erat kaitannya dengan kegiatan eksperimen, termasuk lebih banyak data eksperimen atau observasional untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis peserta didik. Dimana kegiatan mengajar perlu didukung dengan fasilitas yang dapat menunjang efektifitas pelaksanaan kegiatan eksperimen. Namun, fakta yang diperoleh di lapangan atau dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tidak semua sekolah memiliki laboratorium fisika yang sesuai. Meskipun terdapat laboratorium fisika, namun peralatan laboratorium yang tersedia seringkali tidak lengkap. Ketika peralatan laboratorium tersedia, seringkali tidak dapat digunakan atau dalam keadaan rusak. Ada juga materi fisik yang tidak bisa dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Dengan pemecahan masalah tersebut, laboratorium virtual dapat digunakan untuk kegiatan pengajaran yang bertujuan untuk melatih keterampilan berpikir kritis. (Hendratmoko, A. F., Wasis, W., & Susantini, E. 2016).