Mohon tunggu...
Vina Serevina
Vina Serevina Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Negeri Jakarta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pengajar Mata Kuliah Wawasan Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Urgensi Pembentukan Karakter Siswa di Lingkungan Sekolah

27 Februari 2022   18:50 Diperbarui: 27 Februari 2022   18:56 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada banyak isu menarik yang dapat kita pahami lebih dalam, diantaranya adalah peran sekolah dalam pembentukan karakter siswa, hambatan dan kendala yang kerap ditemukan dalam proses pembentukan karakter siswa di sekolah, serta solusi efektif yang dapat diterapkan untuk mengatasi hambatan dan kendala yang seringkali muncul dalam proses pembentukan karakter siswa di sekolah.

Dunia pendidikan adalah satu aspek yang sangat krusial bagi peningkatan kualitas individu manusia supaya dapat menggerakan seluruh aspek kehidupan. Salah satu tujuan pendidikan karakter merupakan menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab siswa sebagai generasi penerus bangsa. Dalam hal ini berarti menjadi generasi penerus bangsa peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan pengambilan keputusan yang sempurna keliru satunya merupakan pengambilan keputusan terhadap karir yang mana nanti sebagai bekal individu seseorang dalam mewujudkan tujuan Pendidikan menjadi generasi yang berguna bagi masyarakat. (Nugroho, P. 2020).

Dalam implementasinya pembentukan karakter siswa dilakukan pada semua jenjang pendidikan, mulai dari SD hingga SMA. Sekolah berperan sebagai tempat berlangsungnya proses penyampaian nilai-nilai pembelajaran berlangsung dalam periode waktu tertentu. Dalam proses pembentuk karakter siswa di sekolah, tenaga pendidik harus menyusun perencanaan seperti pembuatan kalender akademik, penyusunan program sekolah, perencanaan lembaga,   pengalokasian   waktu,   menyusun   jadwal kerja, menyusun visi, misi dan program kerja lainnya yang terkait dengan penanaman nilai-nilai budi yang baik untuk membentuk karakter siswa (Rosad, A. M. 2019).

Menurut Ratna Megawangi, pendiri Indonesia Heritage Foundation, ada tiga tahap pembentukan karakter, yang pertama adalah moral knowing, yaitu memahamkan dengan baik pada anak tentang arti kebaikan, seperti mengapa harus berperilaku baik, untuk apa berperilaku baik, dan apa manfaat berperilaku baik. Yang kedua adalah moral feeling, yaitu membangun kecintaan berperilaku baik pada anak yang akan menjadi sumber energi anak untuk berperilaku baik. Bentuk implementasinya adalah membentuk karakter adalah dengan cara menumbuhkannya, dan yang terakhir adalah moral action, yaitu bagaimana membuat pengetahuan moral menjadi tindakan nyata. Moral action ini merupakan outcome dari dua tahap sebelumnya dan harus dilakukan berulang-ulang agar menjadi moral behavior. Ratna juga menambahkan, ada 9 pilar karakter yang harus ditumbuhkan dalam diri siswa, yaitu cinta kepada tuhan, kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, bijaksana, hormat, santun, dermawan, suka menolong, gotong royong, percaya diri, kreatif, bekerja keras, kepemimpinan, keadilan, baik hati, dan  rendah hati.

Dalam proses pembentukan karakter siswa, guru dapat menciptakan anak didik yang berkarakter dimulai dari pembuatan perancangan aplikasi pembelajaran (RPP). Karakter yang akan ditanamkan bisa ditulis secara eksplisit dalam RPP. Dengan demikian, pada setiap aktivitas pembelajaran guru perlu menerapkan karakter yang akan dikembangkan menggunakan materi, metode, dan strategi pembelajaran. Ketika guru ingin menguatkan karakter kerjasama, disiplin waktu, keberanian, dan percaya diri, maka pengajar perlu menaruh aktivitas-aktivitas pada proses pembelajaran sehari-hari. Guru perlu menyadari bahwa guru harus menaruh perhatian yang intensif dalam karakter yang ingin dikembangkan ketika proses pembelajaran sedang berlangsung. Seperti kita ketahui bahwa belajar tidak hanya untuk memahami ilmu pengetahuan saja, tetapi juga bisa menerapkan ilmu pengetahuan pada bentuk karya yang mencerminkan keterampilan dan menaikkan perilaku positif. Guru juga dapat melatih kedisiplinan dan tanggung jawab siswa dengan memberikan siswa tugas dengan tenggat waktu pengumpulan tertentu. Dengan begitu siswa dilatih dan dibiasakan untuk bertanggung jawab terhadap dirinya dan tugas yang diberikan dan juga membiasakan siswa untuk disiplin dalam menggunakan waktu (Widiastuti, H. 2012).

Dalam menanamkan karakter siswa di lingkungan formal, guru berperan sangat intensif dan signifikan. Selain bertanggung jawab untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, guru juga bertanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai baik sehingga membentuk individu siswa yang memiliki akhlak mulia. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa pendidikan bukan saja bertujuan untuk mengembangkan manusia yang memiliki keterampilan dan ilmu pengetahuan, tetapi pendidikan juga bertujuan mengembangkan manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Guru juga dapat berperan dengan membuat aturan dan tata tertib kepada siswa, sehingga dapat melatih siswa dalam disiplin, mandiri, bertanggung jawab, dan menghargai aturan.

Agar dapat membangun karakter anak didik maka guru wajib menanamkan nilai-nilai karakter melalui pemahaman atau pengetahuan sehingga dapat menumbuhkan keyakinan anak didik untuk berkarakter yang baik, serta membimbing dan memantau anak didik dalam proses merealisasikan karakter tersebut. Hal lain yang juga krusial merupakan guru pun wajib berperilaku dan menjadi contoh sebagaimana nilai-nilai yg diajarkannya kepada siswa. Dengan demikian akan melahirkan pencerahan dan kesadaran dari dalam diri siswa. Dengan pencerahan dan kesadaran itu, maka siswa akan tetap akan berkarakter yang baik meskipun tidak lagi dipantau oleh sang guru, dan bisa menahan diri dari banyak sekali hal negatif yang terdapat dalam lingkungan (Wally, M. 2022).

Menurut Budimansyah (2010, hlm. 2) bahwa: "Walaupun sudah diselenggarakan melalui berbagai upaya, pembangunan karakter bangsa belum terlaksana secara optimal dan pengaruhnya terhadap pembentukan karakter baik (good character) warga negara belum cukup signifikan". Hal ini didukung dengan hasil penelitian Chou, Tu and Huang (2013, hlm. 62) yang menyatakan bahwa "Morality and character is one of the most important tenets of education". Lebih lanjut Chou et al (2013, hlm. 62) menjelaskan bahwa guru sebaiknya melakukan refleksi terhadap hasil yang diperoleh siswa dari setiap pembelajaran yang berhubungan dengan pembentukan karakter di sekolah (Bahrudin, M. D. F. 2017).

Kendala yang kerap terjadi dalam proses pembentukan karakter siswa diantaranya yaitu masih banyak siswa ditemukan sering melanggar peraturan dan tata tertib sekolah. Hal ini terjadi disebabkan karenanya kurangnya kepedulian sebagian guru dalam penanganan pelanggaran tersebut,  sehingga  pembentukan  perilaku  siswa  yang  berkarakter  belum maksimal. Masih banyak siswa yang menganggap peraturan sekolah dan tata tertib itu tidak penting dan sering diabaikan. Di sisi lain, masih sering juga ditemukan guru yang cuek dan kurang memperhatikan perilaku siswa yang suka melanggar tata tertib dan peraturan di sekolah. Hal tersebut menimbulkan kesan adanya pembiaran dan masih minimnya upaya guru untuk meluruskan kesalahan siswa tersebut (Solihuddin, M. 2013).

Hambatan lain yang juga sering ditemukan dalam proses pembentukan karakter siswa yaitu kurangnya ruang gerak guru untuk memantau dan mengontrol perilaku siswa di luar sekolah. Acap kali kita jumpai siswa berpikir bahwa apabila telah di luar sekolah maka peraturan dan tata tertib sekolah tidak lagi berlaku sehingga mendorong siswa melakukan hal-hal negatif, sebagai contoh seperti ketika pandemic Covid-19 yang mengharuskan siswa melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), banyak sekali kita temukan siswa yang pergi ke warnet dan bermain game online ketika jam pelajaran PJJ berlangsung. Karena guru tidak dapat memantau secara langsung membuat siswa menjadi merasa bebas untuk melanggar peraturan sekolah. Hal tersebut menjadi hambatan untuk guru membentuk sikap disiplin dan bertanggung jawab pada diri siswa. Selain itu, seringkali juga siswa melakukan kecurangan ketika melakukan ujian secara daring di rumah. Hal ini terjadi lagi-lagi tidak adanya kontrol secara langsung dari guru sehingga mendorong siswa melakukan perilaku buruk tersebut. Perilaku tersebut menjadi kendala guru untuk membentuk sikap kejujuran siswa (Sabrina, U., Ardianti, S. D., & Ermawati, D. 2021).

Selain kedua hambatan yang sudah dijabarkan sebelumnya, hambatan yang juga sering terjadi dalam proses pembentukan karakter siswa di sekolah yaitu kurangnya dukungan dari orang tua dan masyarakat di lingkungan siswa. Masih banyak ditemukan orang tua yang kurang memperhatikan perilaku dan tumbuh kembang siswa dirumah, sehingga siswa tidak dibiasakan untuk hidup disiplin. Orang tua cenderung sibuk dengan karir dan pekerjaan sehingga melupakan tanggung jawabnya dalam memantau dan mengontrol karakter siswa di rumah. Selain itu lingkungan dan masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan karakter siswa. Lingkungan dan kelompok pergaulan yang buruk dapat merusak karakter siswa. Banyak sekali ditemukan siswa mengikuti apa yang teman-temannya lakukan, walaupun hal buruk sekalipun. Hal ini terjadi lagi-lagi karena kurangnya pengawasan oleh orang tua (Suriansyah, A. 2015).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun