Wanawisata Batu Kuda | dokpri
Karena pada zaman duhulu batu kuda  sering digadang-gadang memiliki batu Berbentuk mirip dengan hewan kuda ,Yang berada di kaki gunung manglayang kawasan bandung Timur.
Hal tersebut di percayai oleh masyarakat dan sesepuh bahwa batu kuda memiliki banyak peristiwa  mistis di dalamnya hingga sampai saat ini. sebelum dikenal wanawisata oleh penduduk setempat mengenal  batu kuda sebagai tempat untuk mencari kayu bakar.Nama batu kuda  diambil dari mitos  sesepuh masyarakat setempat bahwa gunung manglayang dahulu merupakan tempat bertapanya seorang raja yang dikenal prabu eyang kusumah.
Raja tersebut bersama istrinya eyang layang sari usai berkelana dan berburu mencari tempat beristrirahat hingga ke puncak gunung.Setelah  menemukan tempat yang cocok keduanya menetap dan melanjutkan pertapaan hingga tileum.
Sebelumnya prabu eyang kusumah mengubah kuda yang dikenal dengan nama kuda semprani menjadi batu dengan posisi telungkup (Depa).Panjang situs batu tersebut sekira 15 meter,lebar 3 meter dan tingginya 5 meter.lokasi batu berada  sebelah  utara sekitar 700 meter dari pintu gerbang.
Pada masa penjajahan belanda wilayah ini juga sempat  menjadi tempat peternakan ulat sutra atau penduduk setempat menyebutnya gedong hileud.Namun karena mengalami kebangkrutan akhirnya bangunan-bangunan tersebut dihancurkan.
Selang beberapa tahun terjadi penebangan liar hutan sekitar batu kuda sehingga wilayah ujung berung sering terendam  air akibat banjir bandang dari kaki gunung manglayang .
Untunglah tahun 1987 pihak perhutani segera mengelola hutan-hutan di wilayah tersebut menjadi obyek wisata yang dibuka untuk umum.
Wisata batu kuda yang dikelola oleh perhutani serta bekerja sama dengan pihak lembanga masyarakat desa hutan (LMDH) yang dimana masyarakat ikut dilibatkan untuk mengelola wisata batu kuda diantaranya pengelola tiket masuk dengan biaya 7 Ribu perorang dewasa atau anak-anak dengan jaminan asuransi keselamatan,kebersihan,parkiran,warung-warung yang mempekerjakan sekitar 30 orang masyarakat setempat.
Lalu jika mendaki tidak diperkenankan jumlah orang dalam bilangan ganjil. Norma yang telah ditetapkan oleh pangriksa (Sesepuh) sebaiknya ditaati karena hal itu berkenaan dengan keselamatan jiwa seseorang.