Dengan hati yang hangat, aku melanjutkan hari-hariku . Kuliah dan pekerjaan sampingan sebagai buruh pabrik  memberikan banyak pelajaran berharga, tetapi dalam setiap langkahku, bayangan wajah Maria Yosephine selalu hadir, memberikan semangat dan makna lebih dalam dalam setiap perjuanganku.
Setiap malam, sebelum tertidur, aku selalu melirik surat dari Maria Yosephine yang tersimpan rapi di samping tempat tidur. Kata-katanya seperti membawa angin segar ke dalam hidupku yang penuh dengan rutinitas.
Kadang-kadang, aku membaca surat itu berulang kali, seperti menikmati secangkir teh hangat di malam yang sejuk. Meski berada di tempat yang jauh, rasa kerinduan dan cinta padanya membuat hari-hariku  menjadi lebih berarti.
Aku berusaha memberikan yang terbaik dalam kuliah dan pekerjaan sampingan.
Dalam keramaian dan hiruk-pikuk kota, terkadang hatiku terasa sunyi. Namun, ketika membaca surat Maria Yosephine, aku merasa seperti ada seseorang yang selalu menyaksikan setiap langkahku.
Mungkin, hanya lewat surat, tetapi setiap kata-katanya membawa kehadirannya begitu dekat, seolah-olah dia berjalan bersamaku setiap hari.
Sembari menatap langit-langit kamar kosku, aku merenung. Bagaimana mungkin cinta pertamaku bisa begitu kuat, meskipun kita terpisah jarak dan waktu?
Sementara rindu dan cinta tumbuh, aku terus berusaha untuk menjadi seseorang yang bisa membuat Maria Yosephine bangga, bahkan dari kejauhan.
***
Setiap hari, langit masih gelap ketika terjaga pada pukul 04.00 pagi. Dengan semangat dan kantong mata yang masih mengantuk, aku beranjak menuju kompleks perumahan elit Panakukang Mas untuk memulai tugas sebagai petugas kebersihan jalan . Suara langkah kaki dan gemerisik sapu menjadi teman setia di pagi yang masih sunyi.
Melalui cahaya lampu jalan yang samar-samar, aku membersihkan setiap sudut dan tikungan di kompleks tersebut. Dalam kesunyian pagi itu, terkadang aku merenung tentang hidup dan masa depan. Pekerjaan ini mungkin tidak selalu mudah, tetapi itu memberikan kehidupan baru dan pelajaran berharga setelah aku memutuskan untuk resign dari pabrik.
Setelah selesai menjalankan tugas pagi, aku pulang ke kos dan bersiap-siap untuk kuliah yang biasanya dimulai pukul 13.00. Sesekali, mataku berat karena kurang tidur, tetapi aku selalu diingatkan oleh mimpi untuk masa depan yang lebih baik, termasuk masa depan bersama Maria Yosephine.
Kuliah di siang hari menjadi ladang pengalaman dan pengetahuan yang kaya. Walaupun terkadang lelah fisik menyertai, semangat untuk belajar dan menggapai impianku tetap menggelora. Aku percaya bahwa setiap usaha yang aku lakukan saat ini akan menjadi bekal berharga untuk masa depan.
Hidup ini mungkin penuh tantangan, tetapi setiap langkah dan perjuangan kecilku adalah bagian dari perjalanan menuju impian . Saat matahari terbenam di ujung langit, aku kembali merenung tentang surat balasan dari Maria Yosephine yang menjadi sumber semangat di setiap hari.
***
Tahun 1998, menjelang ujian semeter kedua  , aku mengikuti tes UPMTN di Universitas Negeri Makassar  pada fakultas MIPA dengan tiga pilihan jurusan, pendidikan Fisika, Pendidikan Kimia dan Pendidikan Biologi. Sebulan kemudian, aku dinyatakan lulus pada pilihan jurusan pendidikan Fisika.
Dengan hati penuh sukacita dan harapan, aku meninggalkan Makassar setelah menerima kabar bahwa aku lulus ujian UPMTN. Pilihan jurusan pendidikan fisika membuka lembaran baru dalam perjalanan akademis dan kehidupanku.
Perasaan bahagia tak terhingga membawaku kembali ke Flores, tempat di mana keluargaku berada. Penuh semangat, aku ingin berbagi kabar baik ini dengan kedua orang tuaku yang selalu memberikan dukungan dalam setiap langkahku.
Ketika sampai di rumah, senyum bahagia terpancar di wajahku. Aku menemui bapak dan mama dengan hati penuh harap, "Bapak, mama, saya lulus UPMTN! Saya diterima di jurusan Pendidikan Fisika di Universitas Negeri Makassar!"
Kedua orang tuaku memandangku dengan bangga, dan kebahagiaan mereka menjadi bagian dari kebahagiaanku. Bapak tersenyum lebar, sementara mama memberikan pelukan hangat. Kata-kata terima kasih pun tak terucap sepenuhnya, karena rasa syukur dan kebahagiaan telah mengisi ruangan rumahku yang sederhana.
Berdinding gedek, beratap belahan bambu, itulah istana kebanggaanku. Istana yang dibangun kedua orang tua  dengan tetesan keringat dan air mata.
***
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H