Mohon tunggu...
Viktor Rega
Viktor Rega Mohon Tunggu... Guru - Apa adanya, berjuang untuk menjadi berarti bagi orang lain.

Saya lahir di sebuah dusun kecil . Berjuang menggapai mimpi dengan cara yang berbeda dan luar biasa, menepis segala keraguan bahwa hidup harus diperjuangkan. Menjadi penjual kue keliling kampung ketika duduk dibangku SMP, bekerja sawah membanting tulang untuk membiayai hidup keluarga dan sekolah ketika SMA, karena ayah tercinta sakit-sakit. Menjadi kuli bangunan, tukang sapu jalan, dan Satpam ketika kuliah. Dan sampai detik ini, masih terus berjuang untuk kehidupan baru bagi isteri dan kedua anak-anakku. Entah sampai kapan, manusia tak ada yang tahu. Satu yang pasti, bahwa hidup terus berjalan sampai kita sudah tak mampu lagi berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Empat Pendidikan Karakter di Keluarga yang Berdaya Guna bagi Anak

15 Desember 2021   22:02 Diperbarui: 21 Desember 2021   18:39 1265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kejujuran | Sumber: Freepik

Pendidikan karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi selanjutnya. 

Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk penyempurnaan diri individu secara terus-menerus dan melatih kemampuan diri demi menuju kearah hidup yang lebih baik (Wikipedia).

Pusat dari pendidikan karakter adalah keluarga. Kenapa keluarga? Keluarga adalah tempat pertama dan utama anak mengenal tentang pendidikan  karakter sebelum  mereka dapatkan pada lembaga pendidikan formal. 

Orang pertama yang menanamkan nilai-nilai karakter kepada anak adalah orang tua. Orang tua bertanggung jawab penuh dalam membentuk karakter anak di rumah bahkan sejak anak-anak masih balita. 

Seorang anak sejak balita, memiliki kecendrungan sikap untuk meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya. 

Seorang anak (balita) memandang apapun yang dilakukan oleh orang tua semuanya baik. Karena, pada usia seperti itu mereka belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, semuanya baik menurut mereka. 

Nilai-nilai karakter apa saja yang dapat ditanamkan orang tua kepada anak di rumah? 

Setidaknya ada empat pendidikan karakter dalam keluarga yang berdaya guna bagi anak.

Religius. Religius adalah nilai kerohanian yangb bersifat mutlak karena bersumber pada kepercayaan dalam diri masing-masing individu (keluarga) dan kepercayaan itu tertampak pada agama yang dianutnya. 

Keteladanan orang tua adalah salah satu cara sederhana anak belajar dengan melihat contoh orang tua dalam menerapkan nilai-nilai religius di rumah. 

Misalkan, orang tua selalu melibatkan anak-anak (berapapun usianya) untuk melaksanakan doa bersama pada tempat yang sudah disediakan khusus untuk melaksanakan doa bersama di rumah setiap hari (pagi dan malam). 

Orang tua mengajarkan bagaimana bersikap (baik) dalam berdoa. Anak-anak diberi kesempatan untuk memimpin doa dengan bahasanya sendiri. 

Ilustrasi ibadah | Sumber: Shutterstock
Ilustrasi ibadah | Sumber: Shutterstock
"Karena doa sebenarnya saat dimana kita berbicara dengan Tuhan. Tuhan tidak membutuhkan kata-kata indah, kalimat yang panjang, tetapi kata-kata yang muncul dari hati yang keluar secara spontan. Tuhan sebenarnya sudah tahu sebelum kita berbicara dengan-Nya."

Ini yang harus selalu orang tua tanamkan dalam diri anak, sehingga anak-anak tidak merasa rendah diri dan enggan untuk memimpin doa ketika dipercayakan.

Suatu waktu, kurang lebih dua belas tahun yang lalu. Kala itu, saya sakit dan harus opname di rumah sakit selama dua minggu. 

Kedua anak-anak saya masih balita, anak pertama berusia 3,5 tahun dan anak kedua berusia 2 tahun. Yang menjaga selama saya di rumah sakit adalah isteri saya sedangkan kedua anak saya bersama pengasuhnya di rumah.

Tak diduga, kedua anak saya duduk menangis di tempat yang biasanya kami berdoa bersama di rumah. 

Terdengar oleh pengasuh, kedua anak saya menangis sambil memegang uang lembaran dua ribu,"Tuhan, sembuhkan bapak, kami sangat sedih, kami di rumah tidak ada orang, mama jaga bapak di rumah sakit, ini saya punya uang dua, Tuhan sembuhkan bapak saya, uang ini saya kasih Tuhan."

Dan ini diceritakan kembali pengasuh, ketika saya sudah diperbolehkan pulang ke rumah oleh dokter. Jujur, terharu mendengar cerita pengasuh tersebut. 

Namun dalam hati bahagia, ternyata nilai religius yang ditanamkan kepada anak-anak seperti melibatkan mereka berdoa bersama dapat diteladani oleh mereka walaupun diusia yang masih balita.

Kejujuran. Yang paling utama menanamkan sifat jujur pada diri anak dalam keluarga adalah kedua orang tua. 

Dan sifat jujur tersebut ditanamkan sejak anak usia dini. Anak harus dibiasakan untuk bersifat jujur, yakni mulai dari hal-hal paling kecil.

Ilustrasi kejujuran | Sumber: Freepik
Ilustrasi kejujuran | Sumber: Freepik

Misalkan, dalam kesempatan kebersamaan di rumah sehabis makan malam, orang tua (bapak/ibu) menasehati, "Nak, kalau mau bermain dengan teman-teman, izin kepada bapak atau mama, supaya bapakmama tahu kamu berada di mana."

"Nak, jika kamu mengalami terluka akibat jatuh karena berbenturan dengan teman saat bermain bola, sampaikan kepada bapak mama, kami tidak marah kok."

Dengan itu, anak akan terbiasa sampai pada hal-hal yang lebih besar. Saya memiliki anak laki-laki yang saat ini sudah bersusia 14 tahun. 

Setiap kali mau keluar rumah, ia selalu meminta izin kepada kami dan selalu dengan perjanjian bahwa ia pulang jam sekian. Dan betul, ia pulang rumah tepat pada jam yang dijanjikan. 

Suatu kali, sehabis dari bermain bola bersama teman seusianya, dia pulang rumah memeluk mamanya dengan menangis, "Mama, saya minta maaf, tadi saya jatuh dan pergelangan tangan saya sakit sekali."

Sebagai orang tua, apakah marah? Tentu tidak! Kejujuran anak yang membuat orang tua rapuh dan bersyukur, sehingga bisa mengambil langkah tepat dalam penanganan rasa sakit yang diderita. Ceritanya akan berbeda jika anak tidak bersikap jujur perihal peristiwa yang dialaminya. 

Sudah tentu orang tua hanya bisa melihat perubahan dalam diri anak yang berubah menjadi pemurung. Ditambah lagi dengan komplikasi akibat benturan pada pergelangan tangan dan anggota tubuh lainnya yang ternampak pada suhu tubuh meningkat (badan panas), selera makan berkurang karena menahan perih. 

Sebagai orang tua pasti kalut dan ceroboh dalam penanganan, misalkan bawa ke dokter dan dokter mendiagnosa berbeda dengan sakit yang diderita anak dan memberikan obat yang tidak sesuai dengan sakit. Akibatnya? Tentu kita sudah bisa tebak. 

Oleh karena itu, betapa pentingnya karakter kejujuran ditanamkan dalam diri anak dalam keluarga mulai dari hal yang paling kecil. 

Dengan hal tersebut, anak akan terbiasa untuk berperilaku jujur. Sehingga, anak akan memiliki perasaan yang lebih tenang dan bahagia dalam menjalani hari-hari hidupnya.

Kerja keras. Kerja keras adalah suatu sifat yang dilakukan oleh seseorang dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan dan tidak mudah putus asa. 

Orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuhkan karakter kerja keras pada anak karena keluarga merupakan wahana pertama dan utama dalam membimbing, mengarahkan untuk membentuk perilaku pantang menyerah dan bersemangat juang yang tinggi pada diri anak. 

Mengajarkan anak kerja keras | Sumber: edukasi.kompas.com
Mengajarkan anak kerja keras | Sumber: edukasi.kompas.com

Dalam suasana kebersamaan dalam keluarga misalkan duduk bersama meja makan setelah makan bersama, orang tua harus ada waktu untuk memberikan motivasi atau dorongan kepada anak-anak tentang sikap-sikap yang mencerminkan karakter kerja keras pada mereka. Sehingga, anak-anak memiliki konsep sejak dini bagaimana menjalani kehidupan. 

Motivasi atau dorongan ini bisa dalam bentuk cerita pengelaman masa lalu orang tua atau tentang kisah orang-orang sukses yang berhasil karena tidak berputus asa kalau cobaan menerpa. 

Beruntung, saya diberkahi pengelaman hidup oleh Tuhan yang sangat luar biasa, dan pengelaman itu saya sudah tuangkan dalam buku kedua saya "Badai Pasti Berlalu, Kisah Anak Sawah Menggapai Mimpi."

Jauh sebelum buku ini terceritakan, saya selalu mengkisahkan pengelaman ini dihadapan anak-anak dan isteri saya. Bagaimana perjuangan saya menggapai mimpi (ketika sekolah, masa SMP,SMA dan Kuliah). 

Bagaimana saya menjual kue keliling, jual es keliling, ketika masa SMP dan SMA. Bagaimana menjadi kuli bangunan, tukang sapu jalan (cleaning service), menjadi satpam ketika masih kuliah. Dan kedua anak saya menangis, mendengar kisah yang saya ceritakan. Dan luar biasa dalam perjalanan waktu.

Anak laki-laki saya yang saat ini sudah kelas 8 SMP, dulu ketika dia kelas 3 SD, dia belum bisa membaca lancar dan menulis secara baik. Kemampuan matematikanya luar biasa tetapi kemampuan baca tulisnya begitu rendah. 

Bayangkan sudah kelas 3 SD belum bisa membaca lancar dan menulis baik, padahal pendidikan TK dilalui sebelum masuk sekolah dasar. 

Setelah mendengar kisah pengelaman hidup saya, setiap pulang sekolah dia belajar membaca jika mengalami kesulitan sesekali bertanya saya atau mamanya. 

Setiap hari begitu terus, tidak ada waktu bermain bersama teman-temannya. Dan akhirnya, dia dapat membaca lancar dan menulis dengan baik. Yang membuat terenyuh, saat di kelas 4 dia mewakili sekolahnya untuk lomba baca puisi tingkat SD dalam rangka hari Pendidikan Nasional. Dan dia mendapat juara pertama untuk lomba baca puisi . 

Yang lebih membahagiakan lagi, para jurinya adalah dosen dan guru SMA. Berdasarkan pengakuan jujurnya, "Saya mau seperti bapak, dahulu bapak berjuang dengan keras, saya juga harus bisa."

Oleh karena itu di sinilah upaya serta peran orang tua untuk senantiasa menanamkan dan mengajarkan karakter kerja keras kepada anak, sehingga nantinya akan terbentuk karakter anak yang mandiri, bertanggung jawab dan pekerja keras.

Rendah hati. Rendah hati adalah sifat seseorang yang sebetulnya memiliki kemampuan berlebih, tetapi tidak sombong atau memerkannya. 

Orang tua wajib mengajarkan karakter rendah hati pada anak sejak usia dini agar kelak saat mereka memahami artinya hidup, mereka paham cara bersikap baik. Oleh karena itu, mengajarkan rendah hati perlu dimulai dari orang tua. 

Menumbuhkan sikap rendah hati | Sumber: Shutterstock
Menumbuhkan sikap rendah hati | Sumber: Shutterstock

Pernah suatu waktu, ada seorang bapak tua datang bertamu di rumah kami. Kebetulan kami semua ada di rumah. 

Isteri saya bertanya kepada si bapak, "Bapak ada perlu apa?"

"Pa,bu, mungkin ada beras gaji, saya mau beli cukup tiga kilogram. Di warung, beras harganya mahal. Isteri saya sakit, pa guru," jawab bapak.

Tampa pikir panjang, isteri ke gudang kemudian mengambil beras dua karung masing-masing masanya 10 kg. Diberikan kepada si bapak. 

Ketika si bapak mengatakan, "Aduh pa, bu, uang saya hanya dua puluh empat ribu, bagaimana ini?"

"Tidak apa-apa bapak, bapak bawa saja uang itu untuk berobat mama di rumah juga beras ini," jawab isteri saya. 

Setelah bapak itu pergi, anak saya yang laki-laki yang saat itu baru kelas 5 SD berkata,"Kasihan ya, mama". 

Masih banyak peristiwa-peristiwa serupa dengan segala persolan dan kebutuhan lainnya, yang datang ke rumah. 

Suatu ketika, anak laki-laki saya pulang sekolah tinggal buku tulis yang lama. Padahal, pagi pergi sekolah ada minta di mamanya 5 buku tulis baru dan baju seragam lamanya tapi masih kelihatan baru, alasannya untuk ganti di sekolah, apalagi cuaca panas sedangkan buku tulis barunya untuk buku ulangan. 

Setelah ditanya oleh mamanya, dia menjawab,"Mama, jangan marah, saya kasihan dengan teman kelas saya. Dia sepertinya orang susah. Bajunya penuh noda seperti tidak cuci, kusut, buku tulis hanya satu dan itupun sudah sobek-sobek. Buku baru saya tadi sudah saya kasih dia juga baju seragam itu. Saya kasihan teman saya itu, mama."

Setelah saya pulang kerja, isteri saya menceritakannya kepada saya dengan mata berbinar. 

Sifat rendah hati bisa diterapkan dalam keluarga sehari-hari. Teladan merupakan cara yang paling efektif untuk mengajarkan rendah hati pada anak.

Keluarga mempunyai peranan sangat penting dalam proses pembentukan karakter seorang anak. 

Hal itu disebabkan, keluarga merupakan tempat bertumbuh dan berkembangnya anak sejak usia dini hingga dewas. 

Melalui keteladanan dan habituasi positif dalam keluarga, karakter seorang anak terbentuk. 

Keluarga merupakan unsur terkecil dalam masyarakat dan dari keluarga pulalah anak belajar berperilaku dan bersikap sebagai anggota masyarakat yang bermartabat. 

Peran keluarga begitu penting agar proses dalam setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan serta berkembangnya potensi anak agar menjadi manuasia yang religius, kejujuran, bekerja keras, dan rendah hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun