Terminal Kota yang berada di tengah Kota Bajawa adalah tempat mangkalku menjajakan kue porerore. Seperti biasa, sesampai di terminal, aku harus melapor kepada petugas terminal, sekaligus mengambil peralatan kebersihan seperti sapu, tempat sampah.
Aku menyapu terminal, dan membersihkan tempat duduk. Itu kulakukan sebagai upeti atau biaya sewa terminal agar aku dapat menjajakan kue di sana. Setelah itu aku baru diperbolehkan menjajakan kue di terminal. Aku bisa pulang ke rumah bosku setelah semua kue yang aku bawa terjual, karena setiap satu keranjang kue yang terjual aku mendapat upah Rp250 / keranjang.
Begitulah aktivitasku di Bajawa. Siang menjual kue, malam hari membantu majikan (bos) membakar sate kambing yang kebetulan majikan saya juga memiliki rumah makan.
Aku bekerja pada baba Lorenz sebagai penjual kue selama satu bulan. Karena orang tuaku melalui pamanku om Ambros menjemputku di terminal kota selagi aku menjajakan kue. Keesokan harinya, aku pamit kepada majikan baba Lorenz dan pulang kampung.
Dengan upahku selama sebulan yang aku tabung di celengan setiap mendapat persen harian yang totalnya Rp2.750 aku pulang kembali ke kampung. Dengan modal itu, aku beli senter baterai seharga Rp. 125, sebagai kenang-kenangan dari kota.
Sesampai di kampung, aku disambut ibuku dengan rasa haru. Ibarat anak yang hilang diketemukan kembali.
Aku terpaksa tidak sekolah selama setahun karena kesalahanku sendiri dan selama setahun itu aku membantu orang tuaku bekerja di sawah. Usiaku saat itu 14 tahun.
Bersambung ..........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H