Di lain itu, ia juga pernah mengalami sexual harassment (perundungan seksual). Ia menjadi objek pemuas mata wanita banyak (lagi-lagi ini perbuatan Si Nyonya Rumah yang cantik jelita itu). Si Nyonya menghimpun seluruh istri-istri pejabat dan memaksa sang tampan tampil dengan mempesona. Lantas para wanita itu tak mampu mengedipkan matanya hingga jarinya pun teriris, lalu meminta sang tampan melakukan ‘sesuatu’. Tetapi, ia justru menolak dan membathin “Duhai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada melakukan apa yang mereka ajakkan padaku.”
Ia didekap dalam penjara. Ia harus hidup dalam jeruji besi bukan karena kesalahannya. Penjara itu terasa sesak, jorok, dan gelap. Namun, lelaki tampan itu tetap menjalaninya dengan tetap berbuat baik pada kawan sejerujinya. Nyatanya sikap baik yang diberikan olehnya tak berbalas manis. Ia mengalami pengkhianatan oleh kawan uang dinubuatkannya akan bebas dan menjadi penuang minuman raja, telah dipesan agar meyebut tentang dirinya di hadapan raja agar tegaknya keadilan. Tapi kawan itu lupa. Bertahun-tahun lamanya.
Kamu, yang merasa berat ujiannya.
Jikapun sampai di sini saja; bukankah cukup alasan bagi lelaki itu untuk merasa bahwa hidupnya begitu hancur, menyimpan dendam, merasa dunia ini kejam, untuk menyalahkan Tuhan yang tidak adil, serta melampiaskan masalahnya dengan melakukan sesuatu yang keji tetapi selalu ada pembenarannya?
Tapi lelaki tampan itu memang menakjubkan. Dia malah tampil untuk menjadi penyelamat negeri dari paceklik mematikan. Dia tampil menanggung amanah yang tak sanggup dipikul orang lain. Lebih hebat lagi, dia mampu mengampuni semua yang pernah berlaku buruk dan menjadi sebab segala jatuh bangun dan lika-liku hidupnya. Dia rangkul sebelas bintang, bulan, dan matahari yang hendak bersujud itu supaya bersatu dalam pelukan damai, silatur arham, dan kemaafan.
Lelaki tampan itu, Yusuf ‘alaihis salam.
Maka di awal hikayat Allah menyebut kisahnya sebagai ‘sebaik-baik kisah’, Maka di akhir kisah itu, Allah tegaskan bahwa dalam sebaik-baik kisah itu terdapat ibrah (pelajaran) bagi orang-orang yang mendalam pemahamannya.
Dan tentu kita sangat ingin belajar menjadi si tampan yang sangat gagah menghadapi getirnya hidup. Gagah justru karean bersandar hanya kepada Allah. Sebab, kuat-lemahnya seseorang tergantung pada siapa sandarannya.
Sepahit apa pun hidup kita segetir apa pun pengalaman dirim separah apa pun lika-liku yang kita lalui; Yusuf adalah hujjah Allah agar kita tetap gagah menghadapai hidup dan menempuh hidup yang banyak timpaannya ini. Semua insan hidup dalam berbagao bentuk ujian. Barangkali bentuknya tak serupa. Pun kadarnya juga berbeda. Tapi hakikatnya sama. Lebih-lebih bagi orang-orang yang memilih jalan Islam ini sebagai jalan tempuhannya, jalan yang banyak timpaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H