Mohon tunggu...
Vikri Putra Andana
Vikri Putra Andana Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Hanya ingin berbagi apa yang ada di pikiran untuk dituang menjadi tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Hijrah Terasa Pahit

6 April 2020   08:14 Diperbarui: 6 April 2020   21:19 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

               

 Ketika membaca tulisan ini, bisa jadi pundakmu kini mulai terasa berat sebab ujian yang silih berganti dan terus menerus menimpamu. Hati kecilmu pun, mulai melontarkan kalimat-kalimat pertanyaan “mengapa ketika aku mencoba untuk menjadi lebih baik (hijrah), malah hidupku menjadi lebih berat untuk dijalani ? Bukankah seharusnya ketika aku hijrah, maka semua hidupku akan berjalan dengan mulus ? Tapi, mengapa ? mengapa ada saja masalah yang begitu berat padaku setelah aku hijrah?” Pertanyaan demi pertanyaan mulai terbesit dalam benakmu, seakan pertanyaan ‘mengapa’ kini mulai menghantui dan membuatmu ragu akan jalan yang sudah lama kamu bangun.

Sebelumnya, jauh sebelum kamu  mulai menempuh jalan ini, mentari bersinar lembut kepadamu, dunia terasa terang dan segar rasanya, dan jiwa-jiwamu tertawa lepas menikmati indahnya dunia. Namun kini sinar mentari sangat menyengat panasnya, dunia laksana penjara yang sesak dan pengap, dan jiwamu sering berduka. Kaki-kakimu mulai terasa lelah untuk berjalan, mencoba untuk berhenti dan membalikkan badan kembali ke masa itu. Namun, hati terasa berat untuk mengiyakan kemauan kaki untuk melangkah berbalik.

Hari ini, kamu mencoba berkeluh kesah tentang semua masalah yang kamu hadapi. Kamu  mulai mencoba menuntut Tuhan, yang tidak adil menurutmu. Kamu memperhitungkan apa yang telah kamu lakukan selama ini ternyata tidak mendapatkan balasan yang setimpal. Kamu menuntut lebih dari ini sekarang.

Kamu, yang aku cintai karena Allah.

Ingin rasanya aku bertemu denganmu hanya untuk membawakan bebanmu kini. Berikan kepadaku semua masalahmu padaku. Aku ingin merasakannya. Merasakannya lebih dari yang kamu rasakan sekarang ini. Lalu, kita berdua mencoba berjalan kembali ke depan dan membuang keinginan langkah yang mengajak mundur ke belakang. Berjalan bersamamu, di jalan yang penuh dengan ujian.

Lantas ada sesuatu yang coba memasuki pikiranku. Apakah ada yang ujiannya di jalan ini melampaui seorang lelaki tampan itu ?

Mari mengulang kisah seorang lelaki tampan itu. Pahit kehidupannya tak sebanding dengan manis wajahnya. Dia mengalami begitu banyak hal di masa lalu yang mungkin, untuk kita sekarang akan menjadi sebuah pembenaran untuk berprilaku menyimpang atau bahkan bunuh diri sebab depresi. Mari kita urai kisahnya.

Pada saat ia masih menjadi seorang bocah kecil, ia sudah merasakan konflik persaingan saudaranya yang teramat parah. Rasa dengki kakak-kakaknya pada dirinya begitu tinggi. Kebencian itu pun meruyak menjadi permufakatan yang amat jahat. Dia mengalami percobaan pembunuhan yang amat sadis, dilempar ke sumur menjelang senja. Bayangkan sosok mungil itu direnggut paksa oleh Ayah dan Bunda yang menyayanginya, terluka, sendirian, gelap, sunyi.

Dalam gelap dan mengerikannya sumur yang dalam itu, dengan tak sengaja ia ditemukan oleh kafilah niaga yang ketika itu sedang mengulurkan timba ke dalam sumur. Menyangka setelah ditemukan lalu dikembalikan kepada orang tuanya, ia justru dijual sebagai budah dengan harga yang sangat murah. Ia pun jatuh dalam perbudakan. Menjadi sahaya dalam keluarga Al-‘Aziz. Suatu beban baginya merasakan keterasingan, dan hal yang tidak mudah bagi usia seumurnya.

Dia beranjak menjadi seorang dewasa yang sangat tampan. Namun ketampanannya justru malah menambah ujian baginya. Dia mengalami kekerasan seksual dari orang yang sangat dihormatinya. Nyonya rumah yang muda lagi cantik itu mengurungnya di ruangan tertutup, menggodanya, dan menarik bajunya hingga robek dibagian belakang. Lalu ketika Sang Tuan pulang, wanita bertipu daya itu balik memfitnahnya.

Di lain itu, ia juga pernah mengalami sexual harassment (perundungan seksual). Ia menjadi objek pemuas mata wanita banyak (lagi-lagi ini perbuatan Si Nyonya Rumah yang cantik jelita itu). Si Nyonya menghimpun seluruh istri-istri pejabat dan memaksa sang tampan tampil dengan mempesona. Lantas para wanita itu tak mampu mengedipkan matanya hingga jarinya pun teriris, lalu meminta sang tampan melakukan ‘sesuatu’. Tetapi, ia justru menolak dan membathin  “Duhai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada melakukan apa yang mereka ajakkan padaku.”

Ia didekap dalam penjara. Ia harus hidup dalam jeruji besi bukan karena kesalahannya. Penjara itu terasa sesak, jorok, dan gelap. Namun, lelaki tampan itu tetap menjalaninya dengan tetap berbuat baik pada kawan sejerujinya. Nyatanya sikap baik yang diberikan olehnya tak berbalas manis. Ia mengalami pengkhianatan oleh kawan uang dinubuatkannya akan bebas dan menjadi penuang minuman raja, telah dipesan agar meyebut tentang dirinya di hadapan raja agar tegaknya keadilan. Tapi kawan itu lupa. Bertahun-tahun lamanya.

Kamu, yang merasa berat ujiannya.

Jikapun sampai di sini saja; bukankah cukup alasan bagi lelaki itu untuk merasa bahwa hidupnya begitu hancur, menyimpan dendam, merasa dunia ini kejam, untuk menyalahkan Tuhan yang tidak adil, serta melampiaskan masalahnya dengan melakukan sesuatu yang keji tetapi selalu ada pembenarannya?

Tapi lelaki tampan itu memang menakjubkan. Dia malah tampil untuk menjadi penyelamat negeri dari paceklik mematikan. Dia tampil menanggung amanah yang tak sanggup dipikul orang lain. Lebih hebat lagi, dia mampu mengampuni semua yang pernah berlaku buruk dan menjadi sebab segala jatuh bangun dan lika-liku hidupnya. Dia rangkul sebelas bintang, bulan, dan matahari yang hendak bersujud itu supaya bersatu dalam pelukan damai, silatur arham, dan kemaafan.

Lelaki tampan itu, Yusuf ‘alaihis salam.

Maka di awal hikayat Allah menyebut kisahnya sebagai ‘sebaik-baik kisah’, Maka di akhir kisah itu, Allah tegaskan bahwa dalam sebaik-baik kisah itu  terdapat ibrah (pelajaran) bagi orang-orang yang mendalam pemahamannya.

Dan tentu kita sangat ingin belajar menjadi si tampan yang sangat gagah menghadapi getirnya hidup. Gagah justru karean bersandar hanya kepada Allah. Sebab, kuat-lemahnya seseorang tergantung pada siapa sandarannya.

Sepahit apa pun hidup kita segetir apa pun pengalaman dirim separah apa pun lika-liku yang kita lalui; Yusuf adalah hujjah Allah agar kita tetap gagah menghadapai hidup dan menempuh hidup yang banyak timpaannya ini. Semua insan hidup dalam berbagao bentuk ujian. Barangkali bentuknya tak serupa. Pun kadarnya juga berbeda. Tapi hakikatnya sama. Lebih-lebih bagi orang-orang yang memilih jalan Islam ini sebagai jalan tempuhannya, jalan yang banyak timpaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun