Mohon tunggu...
Vika Kurniawati
Vika Kurniawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

| Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Apoteker vs Drug Vending Machine, Siapa yang Bertahan?

8 November 2019   22:50 Diperbarui: 8 November 2019   23:05 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presentasi mengenai Drug Vending Machine. Doc:Pribadi

Apoteker terdisplin yang paling saya ingat adalah apoteker yang bekerja di apotek tak jauh dari perumahan dimana saya tinggal. Mengapa saya paling ingat? 

Kisahnya begini, pagi itu, saat saya menunggu pesanan obat, kemudian datanglah seorang wanita paruh baya meletakan kunci motor dengan keras di etalase. Dengan nada tinggi, dia bersikeras membeli obat antibiotik untuk paru-paru putranya.

Tentu saja secara halus apoteker meminta resep dokter sebelumnya, namun secara singkat menemukan fakta bahwa wanita tersebut belum konsultasi ke dokter. 

Percakapan yang tetap dilampiri nada tinggi tersebut kemudian beralih pada bujukan agar apoteker mau memproses obat. Dengan halus serta menggali informasi tentang gejala yang diidap putra wanita tersebut, akhirnya apoteker berhasil menyakinkan bahwa diagnosa dokter perlu ditegakkan.

Drug Vending Machine

Presentasi mengenai Drug Vending Machine. Doc:Pribadi
Presentasi mengenai Drug Vending Machine. Doc:Pribadi

Singkat kisah wanita (sebenarnya memakan waktu 20 menit) tersebut bersedia berkonsultasi terlebih dahulu ke dokter sebelum kembali lagi untuk membeli obat. 

Kali itu dia berjabat tangan seraya tersenyum lebar dengan apoteker. Saya dan pembeli yang lain hanya bisa bernafas lega. 

Kisah ini saya ingat saat menyimak presentasi dari keynote speaker yang juga Chairman of Indonesia Pharmaceutical Association yaitu Nurul Falah yang sedikit menyinggung mengenai Drug Vending Machine yang dioperasikan di Dubai.

Drug Vending Machine sendiri juga lebih dahulu beroperasi di Inggris dengan ide dasar untuk mempersingkat waktu tunggu pembeli obat. 

Mesin ini memiliki berbagai tipe, baik yang harus dioperasikan oleh apoteker ataupun secara otomatis, silakan berseluncur di dunia maya untuk detail informasi mengenai  Drug Vending Machine. 

Presentasi tersebut adalah salah satu bagian acara pada hari ke dua  dari 5th Asian Young Pharmacist Grup (AYPG) Leadership Summit 2019. 

Sejumlah 333 peserta yang terdiri dari para apoteker muda berkumpul menjalin kerjasama, berbagi pengalaman serta berlomba sesuai bidangnya. 

Pertemuan yang dimulai dari 7-10 November 2019 di hotel Sheraton Yogyakarta dengan diikuti berbagai delegasi negara Asia juga dihadiri wakil World Health Organization (WHO).


Tentu saja sesuai dengan namanya maka segmentasi dari pertemuan tersebut adalah apoteker muda dengan maksimal umur 35 tahun. 

"Organisasi dan acara yang sudah menginjak tahun ke-lima diadakan memang bertujuan untuk menyatukan para apoteker muda dalam lingkup Asia yang ingin menggembangkan diri baik keahlian maupun jejejaring," berikut penuturan dari Audrey Clarisa selaku President 2018-2020 Asian Young Pharmacists Group saat sesi press conference. 

"Dokter muda atau yang baru lulus, mendapatkan dukungan dari pemerintah dengan bentuk intership selama setahun di rumah sakit untuk menimba pengalaman. Kami sedang mengajukan support serupa bagi para apoteker muda kepada pemerintah agar kualitas semakin meningkat." 

Penuturan dari Nurul Falah tersebut dilanjutkan dengan presentasi singkat mengenai berbagai permasalahan dasar dari Jack Shen Lim sebagai Co Founder of Asian YPG Treasurer of Malaysian Pharmaceutical Society. 

Demikian juga dengan Bryan Posadas selaku Former Asian Young Pharamacists Group dari Filipina, serta Joseph Wang dari delegasi Taiwan.

Kesimpulan

Booth, pameran lomba poster dan suasana pertemuan. Doc:Pribadi 
Booth, pameran lomba poster dan suasana pertemuan. Doc:Pribadi 

Baiklah, kembali ke topik awal yaitu, "Apoteker vs Drug Vending Machine, siapa yang bertahan?"  Menurut saya, seperti yang dikisahkan pada awal artikel bahwa berkat  kesabaran apoteker maka calon pembeli tanpa resep bersedia berkonsultasi dahulu pada dokter. 

Jika saja apoteker hanya berorientasi pada pemasukan laba dari transaksi semata maka kemungkinan besar akan berakibat fatal bagi pasien. Hal serupa juga diungkapkan oleh Nurul Falah yang memuji bagaimana etika tetap dipegang apoteker di Yogyakarta.

Percakapan dengan apoteker juga sering saya lakukan saat menebus resep dokter dengan menanyakan berbagai pertanyaan, "Apakah obat ini fungsi sama walau beda pabrik? Yang mana obat antibiotik?" 

Sudah menjadi hal umum, jika sering kali dokter tidak mempunyai banyak waktu untuk menerangkan fungsi maupun efek samping dari obat. Kesediaan memberikan konsultasi detail mengenai obat inilah yang menjadi nilai tambah yang mendasar tentang apoteker.

Saya percaya seperti maraknya aplikasi konsultasi dokter secara real time namun peranan dokter tidak tergantikan oleh mesin namun terbantu dengan teknologi tersebut. 

Demikian juga apoteker yang tetap saja dibutuhkan walaupun pemesanan obat dilakukan melalui aplikasi, pengiriman melalui kurir online bahkan Drug Vending Machine.  

Lalu menurut anda siapakah yang bertahan dalam era revolusi industry 4.0?  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun