Presentasi tersebut adalah salah satu bagian acara pada hari ke dua  dari 5th Asian Young Pharmacist Grup (AYPG) Leadership Summit 2019.Â
Sejumlah 333 peserta yang terdiri dari para apoteker muda berkumpul menjalin kerjasama, berbagi pengalaman serta berlomba sesuai bidangnya.Â
Pertemuan yang dimulai dari 7-10 November 2019 di hotel Sheraton Yogyakarta dengan diikuti berbagai delegasi negara Asia juga dihadiri wakil World Health Organization (WHO).
Tentu saja sesuai dengan namanya maka segmentasi dari pertemuan tersebut adalah apoteker muda dengan maksimal umur 35 tahun.Â
"Organisasi dan acara yang sudah menginjak tahun ke-lima diadakan memang bertujuan untuk menyatukan para apoteker muda dalam lingkup Asia yang ingin menggembangkan diri baik keahlian maupun jejejaring," berikut penuturan dari Audrey Clarisa selaku President 2018-2020 Asian Young Pharmacists Group saat sesi press conference.Â
"Dokter muda atau yang baru lulus, mendapatkan dukungan dari pemerintah dengan bentuk intership selama setahun di rumah sakit untuk menimba pengalaman. Kami sedang mengajukan support serupa bagi para apoteker muda kepada pemerintah agar kualitas semakin meningkat."Â
Penuturan dari Nurul Falah tersebut dilanjutkan dengan presentasi singkat mengenai berbagai permasalahan dasar dari Jack Shen Lim sebagai Co Founder of Asian YPG Treasurer of Malaysian Pharmaceutical Society.Â
Demikian juga dengan Bryan Posadas selaku Former Asian Young Pharamacists Group dari Filipina, serta Joseph Wang dari delegasi Taiwan.
Kesimpulan
Baiklah, kembali ke topik awal yaitu, "Apoteker vs Drug Vending Machine, siapa yang bertahan?"  Menurut saya, seperti yang dikisahkan pada awal artikel bahwa berkat  kesabaran apoteker maka calon pembeli tanpa resep bersedia berkonsultasi dahulu pada dokter.Â
Jika saja apoteker hanya berorientasi pada pemasukan laba dari transaksi semata maka kemungkinan besar akan berakibat fatal bagi pasien. Hal serupa juga diungkapkan oleh Nurul Falah yang memuji bagaimana etika tetap dipegang apoteker di Yogyakarta.