Mohon tunggu...
Vika Kurniawati
Vika Kurniawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

| Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wage R Supratman dan Lagu Indonesia Raya Membuat Saya Terisak

8 November 2017   06:41 Diperbarui: 8 November 2017   09:02 2056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Flayer Wage. Doc: Fachrul Muchsen

Berulang kali saya harus menggunakan ujung syal untuk menutupi bibir, dan hidung. Begitulah cara saya untuk menahan emosi yang akan menguar bila tidak dibendung. Saya memang selalu terharu saat mendengarkan lagu yang beraroma nasionalisme. Saya sedang menonton film Wage, sebuah biopik dari tokoh Wage Rudolf Supartman.

Sejak di bangku Sekolah Dasar saya selalu menyanyikan lagu ciptaan beliau di setiap upacara bendera, atau saat pelajaran musik hingga Sekolah Menengah Umum. Saya juga berusaha keras menghapalkan tiga stanza  Indonesia Raya untuk ujian praktek pramuka. Begitulah pandangan anak kecil dengan lirik lagu kebangsaan, dan saat  beranjak dewasa saya paham akan makna sesungguhnya. Apa mungkin pandangan saya ini juga dialami anak bangsa yang seangkatan saya? Entah.

Dulu saya mengenal Wage R Supratman hanya sebatas teks sejarah beserta maha karyanya. Saya pikir semua anak sekolah, dan masyarakat umum berpengetahuan yang sama, terkecuali pemerhati sejarah dan musisi. Untuk itu beruntunglah saya mendapat kesempatan untuk  menonton film biopik nya di Jogja. Prita Nasution juga menjadi salah satu aktris yang beradu acting. Saya seperti mendapat durian runtuh.

Biopik atau film biografi sendiri adalah sebuah film yang mendramatisasikan kehidupan tokoh yang melegenda dalam kehidupan nyata. Penonton seperti menonton curriculum vitae ditambah narasi tokoh tersebut secara lebih detail, bahkan terkadang peristiwa-peristiwa yang tidak kita ketahui sebelumnya, menjadi tersingkap dalam film biopik. Sejauh pengetahuan saya tentang industri film, pembuatan film biopik memerlukan keberanian besar dalam berinvestasi. Boleh saya menyebutkan bahwa modal dasar dari pembuatan film biopik adalah idealisme?

Biografi Rendra. Doc: Fachrul Muchsen
Biografi Rendra. Doc: Fachrul Muchsen
Begitu juga yang saya dapati saat menyaksikan adegan demi adegan yang tak tertera dalam buku sejarah ataupun perbincangan di masyarakat umum. Aktor muda Rendra yang berasal dari Yogyakarta mampu mengimbang piawainya akting  Putri Ayudya, dan para aktor lain. Berbicara tentang pria yang hebat dalam bidangnya, maka tidak mengabaikan peran wanita yang selalu menyokongnya. Saya mendapatinya juga dalam diri Roekijem Supratidjah yang merupakan kakak perempuan tertua dari Wage. Banyak adegan dalam film ini menggambarkan peran Rukiyem dalam perjalanan hidup Wage setelah kepergian ibu kandung mereka. Ilustrasi musik dari Indra Qadarsih tentu menambah suasana masa lalu yang  dihadirkan kembali saat pemutaran film Wage. Tentu saja peranan ilustrasi sangat penting, film Wage adalah biopik dari seorang maestro musik sekaligus pahlawan kemerdekaan di bidangnya.

Seperti jamaknya manusia dengan talenta yang lebih, maka kesunyian menjadi pasangan dalam hidup. Kita diajak melihat  bagaimana pergumulan dari seorang anak tentara KNIL Belanda dengan Siti Senen. 

Terdapat juga pergulatan batin antara seorang bumiputera, demikian juga kebingungan indentitas dari seorang anak indo blasteran. Seperti yang kita ketahui seorang anak dengan dua darah masih disangsikan nasionalisme, dan tentu berpengaruh dalam pergaulan Wage.

Salah satu  kalimat yang saya sukai saat menonton film Wage ini adalah, "Negeri ini butuh lebih banyak orang gila untuk merdeka." Tentu dalam bahasa sekarang akan diterjemahkan sebagai pandangan yang keluar dari kotak atau zona nyaman.  Sayangnya Wage Rudolf Supartman tidak bisa mengenyam kemerdekaan Indonesia, walau tanggal kelahiranya kemudian resmi menjadi Hari Musik Nasional.

Kopiers dengan Rendra, pemeran Wage. Doc: Pribadi
Kopiers dengan Rendra, pemeran Wage. Doc: Pribadi
Saya sendiri suka dengan pengambilan sudut-sudut adegan yang tidak biasa dalam flm Wage ini. Pelibatan 3000 orang dalam film ini tentu juga menghasilkan kesan kolosal, dan kamera berhasil menangkapnya dengan baik. Saya mengenali beberapa tempat yang memang vintage dan bersejarah dalam era perjuangan kemerdekaan, memang cocok menjadi lokasi film diambil. Kota Lama Semarang.

Flayer Wage. Doc: Fachrul Muchsen
Flayer Wage. Doc: Fachrul Muchsen
Untuk pemilihan para pemeran film, saya berikan ibu jari ke atas. Secara fisik, actor Rendra mirip dengan tokoh Wage Rudolf Supartman yang saya lihat di ilustrasi sejarah mengenai beliau. Tentang acting tentu tidak usah dipertanyakan lagi. Jikapun ada saran yaitu perlu diproduksi lagi film biopik senada sehingga warisan kepada anak bangsa bukan hanya berupa kekayaan alam namun juga rasa hormat serta nasionalisme. Tanggal 9 November, kalian juga bisa merasakan keharuan saya dengan menonton tayangan perdana film Wage di seluruh bioskop Indonesia. Kids jaman now juga perlu menonton, karena di tangan mereka lah bangsa ini akan terus berkembang.

Oya, apa kalian tahu bahwa Wage lahir di Purworejo?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun