Saya menjadi teringat akan cerita seorang teman yang menjadi peneliti di sebuah konservasi. Setiap akan memasuki hutan, maka adat dan larangan dari para tetua harus diperhatikan. Hal ini membuktikan bahwa para petualang memang diharuskan rendah hati dan toleransi kultur budaya tanah yang dijejaki.
Film yang nyaris tanpa jeda tersebut, kecuali saat pemandangan alam beralun background musik yang sempurna, juga adil dalam memberikan sajian peradegan. Setiap daerah yang dikunjungi berbenang merah sama, yaitu kehidupan anak-anak baik sedang berseragam maupun kehidupan sehari.
Semua perjalanan menuju tujuh puncak mempunyai keistimewaan sendiri namun yang paling mempesona bagi saya adalah misi ke puncak salju abadi. Bukan sekedar pemandangan yang memikat hati namun setumpuk emosi yang saya rasakan tiap adegannya.
Balita dengan tersenyum nyaman berdiam di gendongan mamanya, bersama menyusuri sungai lembah untuk menjadi porter para tim. Adegan itu mengingatkan saat saya menyaksikan ketangguhan para ibu-ibu yang juga menggendong putra mereka seraya mencari kayu bakar di lereng Merapi. Tentu kecadasaan alam dan suhu udara berbeda namun keduanya berbenang merah pada kasih ibu. Entah sudah keberapa kalinya adegan di film yang dibesut sutradara Anggi Frisca, berhasil mengingatkan saya akan serpihan memori berkesan.
Seluruh adegan film tersebut diahkiri dengan lampu layar tancap yang dinyalakan kembali. Ajakan untuk menyanyikan lagu kebangsaan seraya menggulirkan kain merah putih berukuran raksasa berhasil menghadirkan suasana baru. Sebuah langkah psikologis yang tepat karena seperti membawa rasa nasionalisme yang dijahitkan di layar menuju kehidupan nyata. Tentu efek yang diharapkan akan berlangsung lebih lama daripada tanpa hadirnya acara tersebut.
Para penonton yang memenuhi kursi, saya lihat termasuk generasi milenial dengan segmen tersendiri, yaitu para petualang (biasanya ditandai dengan membawa botol minum). Mereka terlihat semangat saat dinaungi bendera, dan saya pikir langkah seperti ini patut ditiru para sineas lain saat gala premier. Sesuatu yang kita pegang, cium dan dengar tentu akan lebih membekas di hati disamping apa yang ditangkap secara visual.
Apakah saya akan menjahitkan nasionalisme dengan langkah yang sama para pendaki gunung? Setiap pribadi tentu mempunyai kesadaran akan kapasitas masing-masing dan saya memilih merangkai pernak-pernik penyusun nasionalisme melalui kata seperti penulisan review Negeri Dongeng berikut.
Bagaimana dengan anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H