Mohon tunggu...
Vika Kurniawati
Vika Kurniawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

| Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menjahit Nasionalisme di Antara Ironi Tujuh Puncak Daratan

21 September 2017   08:25 Diperbarui: 22 September 2017   09:35 1708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guliran bendera raksasa. Doc:Pribadi

Saya menjadi teringat akan cerita seorang teman yang menjadi peneliti di sebuah konservasi. Setiap akan memasuki hutan, maka adat dan larangan dari para tetua harus diperhatikan. Hal ini membuktikan bahwa para petualang memang diharuskan rendah hati dan toleransi kultur budaya tanah yang dijejaki.

Film yang nyaris tanpa jeda tersebut, kecuali saat pemandangan alam beralun background musik yang sempurna, juga adil dalam memberikan sajian peradegan. Setiap daerah yang dikunjungi berbenang merah sama, yaitu kehidupan anak-anak baik sedang berseragam maupun kehidupan sehari.

Kilas balik. Doc:Pribadi
Kilas balik. Doc:Pribadi
 Memang terkuak beberapa ironi dari tiap daerah yang sebenarnya menjadi kisah yang terlanjur sama terdengar. Tak jauh-jauh dari kurang cepatnya perkembangan pembangunan fasiltas di daerah yang memang termasuk tertinggal. Entah mulai dari segi pendidikan, kesehatan, maupun prasarana daerah. Ironi karena melimpahnya sumber daya alam. Ironi memang tertanggap oleh tujuh kamera baik selama alat transportasi namun senyum dan kebahagian juga terekam dengan berlimpah. Bukankah batas terjangkaunya kebahagian, kekayaan tiap pribadi berbeda?

Semua perjalanan menuju tujuh puncak mempunyai keistimewaan sendiri namun yang paling mempesona bagi saya adalah misi ke puncak salju abadi. Bukan sekedar pemandangan yang memikat hati namun setumpuk emosi yang saya rasakan tiap adegannya.

Balita dengan tersenyum nyaman berdiam di gendongan mamanya, bersama menyusuri sungai lembah untuk menjadi porter para tim. Adegan itu mengingatkan saat saya menyaksikan ketangguhan para ibu-ibu yang juga menggendong putra mereka seraya mencari kayu bakar di lereng Merapi. Tentu kecadasaan alam dan suhu udara berbeda namun keduanya berbenang merah pada kasih ibu. Entah sudah keberapa kalinya adegan di film yang dibesut sutradara Anggi Frisca, berhasil mengingatkan saya akan serpihan memori berkesan.

Seluruh adegan film tersebut diahkiri dengan lampu layar tancap yang dinyalakan kembali. Ajakan untuk menyanyikan lagu kebangsaan seraya menggulirkan kain merah putih berukuran raksasa berhasil menghadirkan suasana baru. Sebuah langkah psikologis yang tepat karena seperti membawa rasa nasionalisme yang dijahitkan di layar menuju kehidupan nyata. Tentu efek yang diharapkan akan berlangsung lebih lama daripada tanpa hadirnya acara tersebut.

Para penonton yang memenuhi kursi, saya lihat termasuk generasi milenial dengan segmen tersendiri, yaitu para petualang (biasanya ditandai dengan membawa botol minum). Mereka terlihat semangat saat dinaungi bendera, dan saya pikir langkah seperti ini patut ditiru para sineas lain saat gala premier. Sesuatu yang kita pegang, cium dan dengar tentu akan lebih membekas di hati disamping apa yang ditangkap secara visual.

Flayer utama. Doc:Pribadi
Flayer utama. Doc:Pribadi
 Jika saya mengamati respon penonton selama pemutaran film(tertawa, dan turut bernyanyi) maka pesan yang ingin disampaikan berhasil mengena generasi milenial dan sesudahnya. Entah bila disajikan ke generasi pra milenial yang sebenarnya juga perlu mendapat kesempatan menikmati pesona film Negeri Dongeng. Rasa cinta dan hormat pada tanah air.

Apakah saya akan menjahitkan nasionalisme dengan langkah yang sama para pendaki gunung? Setiap pribadi tentu mempunyai kesadaran akan kapasitas masing-masing dan saya memilih merangkai pernak-pernik penyusun nasionalisme melalui kata seperti penulisan review Negeri Dongeng berikut.

Bagaimana dengan anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun