Â
Â
Dung dung dung
apa itu
anakku berkata tanya
hidup di negera lain budayaÂ
alpa semburat penghuni tanah air
Tak apa...asal tak mengangkat senjata
anakku juga tak membunuh lewat lidahnya
Â
Pak Kumis mendekat lambaianku
entah bila siapa nama ingusannya
jadi panggil saja Pak Kumis
bukan tanpa sebabÂ
bulu bawah hidungnya menantang
Â
Pak Kumis tak berubah
coklat sawo lengan berotot
punggung membungkuk
rambut pendek serupa kumisÂ
tak kunjung perak
raut datar digoda pelanggan ingusan
selengkung senyum serangkai kata
kata terima kasih bahasa jawa halus.
Â
Es krim apa
anakku bertanya
serutan dari tabung berputar jawabnya
putih dibumbui potongan kuning nangka
lembaran mini roti bukan gandum terselip
tumpukan mutiara merah muda penanda selesai
dua koin lima ratus aku letakan
di atas gerobak kayunya
Â
Enak walau menjeritkan ikatan di otakku
dingin
kata anakku  terbahak
bukan susu
manis bukan
santanlah kepingan air membeku
kita terlampau pintar berhemat
dan aku terkekeh
Â
Pak Kumis berjualan sejak aku lompat taliÂ
rok merah putih dan hapal pancasila
semua kecap manis lidah kubeli
seratus rupiah tak berat di saku
Â
Dulu tiga gerobak dorong hadir
Â
Biru penanda Pak Kumis
entah kuning dan hijauÂ
entah apa artinya
Pak Kumis pelit kata di balik senyum
dari tiga menjadi satu
hanya biru
Â
Amat jarang berbalut kaos
rentetan kancing diatas kain menempel
ditemani semata kaki kainÂ
sandal kulit asli tak mungkin
pet hitam menutup uban lurus lebat
Â
Setengah abad sudah pastiÂ
aneh kerutan nyaris tak bertambahÂ
kakinya tetap berderapÂ
selalu dalam irama walau turun rintik
Â
setelah ashar kecuali hujan abu 2006.
Â
Rangka kayu, gong kecil, warna payung
hanya retakan kaca nyata
hilang sedikit sisi kiri atas
Â
Anakku bertanya
dimanakah pak kumis lelap
aku mengeleng
bibirnya terlalu rapat
Â
Anggukan Pak Kumis 5.30 hadirÂ
anakku dan aku bersua
di pasar belakang sepeda onta berhiasÂ
60 cm bongkahan
tetesan balok es membuka kabutÂ
anakku bertanya
apa kita menjilati balok itu
bukan jawabku terkekeh
Â
Bukankah negara kolam susu
kail jala cukup menghidupi
lalu kenapa tetap miskin
bukan miskin
Pak kumis kaya harga diri
bukan uang negara diserutnya
lagipula
tiada susu, santanpun jadi
Â
Â
Image koleksi pribadi