Mohon tunggu...
Vieto Cell
Vieto Cell Mohon Tunggu... Penulis - Citizen Journalism

Layanan Digital Vieto Cell

Selanjutnya

Tutup

Financial

Akad Murabahah pada Bank Syariah Mengandung Riba, Benarkah?

8 Juni 2023   13:06 Diperbarui: 8 Juni 2023   13:25 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agama Islam melarang kaum muslimin melakukan penarikan atau membayar bunga (riba).Perbankan syariah merupakan bank yang dalam pelayanannya memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksinya. Pelarangan inilah yang menjadi pembeda antara bank syariah dan bank konvensional. Secara teknis riba merupakan tambahan pada jumlah pokok pinjaman sesuai dengan jangka waktu peminjaman dan jumlah pinjamannya. Makna yang mendasari pelarangan riba dalam Islam adalah menghindari ketidakadilan dan kezaliman dalam segala praktik ekonomi. Sementara riba (bunga) pada hakekatnya adalah pemaksaan suatu tambahan atas debitur, yang seharusnya ditolong bukan dieksploitasi ataupun dipaksa. Hal ini bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang sangat peduli dengan kelompok-kelompok sosio-ekonomi yang lebih rendah agar kelompok ini tidak dieksploitasi oleh orang yang lebih kaya. Ajaran ekonomi Islam mengemban misi humanisme dan menolak adanya ketidakadilan dan kezaliman yang mata rantainya berefek pada kemiskinan.

Majelis Ulama Indonesia dengan jelas telah memfatwakan bahwa bunga bank telah memenuhi kriteria riba sehingga hukumnya menjadi haram. Keharaman ini secara otomatis melekat bagi siapapun dan lembaga keuangan apapun yang menerapkan bunga dalam operasionalnya. Bunga bank menjadi beban nasabah yang mengharuskan bisnisnya selalu untung dan menjadi dasar bagi perbankan untuk meraup keuntungan dari nasabahnya. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa ada pertimbangan dari aspek bisnis yang mengalami fluktuasi untung dan rugi. Keuntungan tidak harus didapati dari penerapan bunga, justru dengan prinsip adil dan transparan dalam bermuamalah semua pihak akan tetap mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan.

Sistem perbankan konvensional menerapkan konsep riba yang sudah menjadi barang umum di masyarakat dan menjadi rujukan bagi operasional bank syariah dalam mendapatkan keuntungan bisnisnya. Sementara penerapan kaidah-kaidah syariah islam di perbankan syariah selama ini masih memunculkan keraguan bagi sebagian besar masyarakat. Label syariah dari produk yang ditawarkan perbankan syariah hanya menjadi pembungkus agar produk tersebut bisa diterima oleh masyarakat. Namun, secara nyata semua produk tersebut masih bermasalah dan bertentangan dengan syariat islam.

Pengertian Riba

Pengertian riba secara teknis menurut para ulama adalah pengambilan keuntungan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil baik dalam utang piutang maupun jual beli. Batil dalam hal ini merupakan perbuatan ketidakadilan (zalim) atau diam dalam menerima ketidakadilan. Pengambilan tambahan secara batil akan menimbulkan kezaliman di antara para pelaku ekonomi. Dengan demikian esensi pelarangan riba adalah penghapusan ketidakadilan dan penegakan keadilan dalam perekonomian. Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah), berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat (al-irtifa'). Pelarangan riba dalam Islam secara tegas dinyatakan baik dalam Al Qur'an maupun Hadist yang diwahyukan secara berangsur-angsur seperti halnya pengharaman khamar (miras). Di jelaskan dalam Al Qur'an surat ar-rum ayat 39 : 

Artinya : "Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)".  

Sementara itu, dalam Hadist juga dijelaskan bahwa Rasulullah SAW. mencela penerima dan pembayar bunga orang yang mencatat begitu pula yang menyaksikan. Beliau bersabda, "mereka semua sama-sama dalam dosa "(HR. Muslim, Tirmidzi dan Ahmad). Dari abu said al-khudri ra, Rasulullah saw bersabda, "Jangan melebih lebihkan satu dengan lainya, janganlah menjual perak dengan perak kecuali keduanya setara, dan jangan melebih lebihkan satu dengan lainya, dan jangan menjual sesuatu yang tidak tampak" (HR. Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Naza'I dan Ahmad). Dari Ubada Bin Sami Ra, Rasulullah saw bersabda "Emas untuk emas, perak untuk perak, gandung untuk gandum. Barang siapa yang membayar lebih atau menerima lebih dia telah berbuat riba, pemberi dan penerima sama saja (dalam dosa)" (HR.Muslim dan Ahmad).

Pengertian Murabahah

Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan murabahah adalah jual beli yang dilakukan seseorang dengan harga awal ditambah dengan keuntungan. Penjual menyampaikan harga beli kepada pembeli ditambah dengan permintaan keuntungan yang dikehendaki penjual kepada pembeli. Seperti ungkapan penjual kepada pembeli: "saya menjual barang ini kepada anda dengan harga beli sepuluh dinar. Mohon anda memberi kami keuntungan satu dirham". Menurut Ibnu Rusyd, sebagaimana dikutip oleh Syafi 'i Antonio (2009), mengatakan bahwa murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam jual beli jenis ini, penjual harus memberitahu harga barang yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Sedangkan menurut Fatwa DSN No : 111/DSN-MUI/IX/2017, akad murabahah adalah akad jual beli suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih tinggi sebagai laba.

Dari definisi di atas dapat dinyatakan bahwa murabahah adalah jenis jual beli. Sebagai akad jual beli, murabahah memiliki spesifikasi tertentu. Pertama, Keharusan adanya penyampaian harga awal secara jujur oleh penjual kepada calon pembeli sekaligus keuntungan yang diinginkan oleh penjual. Kedua, Keuntungan yang diinginkan oleh penjual tersebut harus sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Hal spesifik seperti inilah yang membedakan murabahah dari jual beli pada umumnya. Bank Syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut.

Praktek Murabahah yang terjadi

Mari kita lihat contoh dibawah ini:

1. Calon pembeli datang ke bank, dia berkata kepada pihak bank, "Saya bermaksud membeli mobil X yang dijual di dealer A dengan harga Rp. 200 juta. Pihak bank lalu menulis akad jual beli mobil tersebut dengan pemohon, dengan mengatakan, "Kami jual mobil tersebut kepada Anda dengan harga Rp. 220 juta, dengan tempo 3 tahun." Selanjutnya bank menyerahkan uang Rp. 200 juta kepada pemohon dan berkata, "Silakan datang ke dealer A dan beli mobil tersebut."

Realita yang terjadi ini bukanlah murabahah. Kenyataannya adalah pihak bank meminjamkan uang pada si pemohon sebesar 200 juta untuk membeli mobil di dealer. Lalu si pemohon mencicil hingga 220 juta. Seandainya transaksi dengan pihak bank adalah jual beli, maka mobil tersebut harus ada di kantor bank. Karena syarat jual beli, si penjual harus memegang barang tersebut secara sempurna sebelum dijual pada pihak lain. Ibnu Umar berkata:

"Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali." (HR. Muslim no. 1527)

Mobil tersebut belum berpindah dari dealer ke kantor bank. Itu sama saja bank menjual barang yang belum ia miliki atau belum diserah terimakan secara sempurna. Dan realitanya maksud bank adalah meminjamkan uang 200 juta dan dikembalikan 220 juta. Kenyataan ini adalah riba karena para ulama sepakat, "Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba."

2. Contoh kedua sama dengan ilustrasi pertama, hanya saja pihak bank menelpon showroom dan berkata "Kami membeli mobil X dari Anda." Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu pihak bank berkata kepada pemohon: "Silakan Anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya."

Ilustrasi kedua pun sama, bank juga menjual barang yang belum diserahterimakan secara sempurna. Ini termasuk pelanggaran dalam jual beli seperti yang diterangkan dalam Hadits Muslim di atas.

3. Ada ilustrasi ketiga misalnya, seorang pemohon datang ke bank dan dia butuh sebuah barang, maka pihak bank mengatakan, "Kami akan mengusahakan barang tersebut." Bisa jadi sudah ada kesepakatan tentang keuntungan bagi pihak bank, mungkin pula belum terjadi. Lalu pihak bank datang ke toko dan membeli barang tersebut selanjutnya dibawa ke halaman bank, kemudian terjadilah transaksi antara pemohon dan pihak bank.

Pada akad di atas, pihak bank telah memiliki barang tersebut dan tidak dijual kecuali setelah dipindahkan dan dia terima barang tersebut.

-- Menurut Fatwa DSN No : 111/DSN-MUI/IX/2017 dijelaskan bahwa apabila akadnya bersifat mengikat (tidak bisa dibatalkan), maka haram karena termasuk menjual sesuatu yang sebelumnya tidak dimiliki.

-- Bila akadnya tidak bersifat mengikat (bisa dibatalkan) oleh pihak penjual atau pembeli, maka masalah ini ada khilaf di kalangan ulama masa kini. Pendapat terkuat, jual beli semacam  ini dibolehkan karena barang sudah berpindah dari penjual pertama kepada bank.

Wallahu a'lam bish showwab.

Oleh: Drajad Surya Maulana, Mahasiswa Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun