Mohon tunggu...
Xavier Kharis
Xavier Kharis Mohon Tunggu... -

“Dalam kesadaran moral ku, mata Allah menatapku, dan sejak itu, tak pernah dapat aku melupakan bahwa mata itu memandangku” (Kierkergaard)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Berdamai dengan "Fiksi"

1 Februari 2019   23:13 Diperbarui: 2 Februari 2019   00:16 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Rocky kemudian telah berhasil dalam mengupayakan pencarian akan makna yang tersingkirkan atau tersembunyi dengan neologisme yang beliau berikan. Sebenarnya kalau kita terbiasa menanamkan pemikiran semacam ini, maka kita sebenarnya tidak perlu ramai dengan gaya berpikir pak Rocky. Bagi saya sendiri, kita selama ini lebih sering mempelajari dan mengetahui sebuah pemikiran, tetapi tidak pernah menerapkannya. Itulah mengapa banyak orang memandang aneh gaya berpikir pak Rocky, yang mencoba menerapkan pemikiran-pemikiran yang selama ini mungkin hanya kita pelajari dan pahami saja.

Kalau begitu....

Kita sekarang sudah semakin memahami tentang gaya berpikir yang mendalam dan menyingkap makna yang terpinggirkan yang tadi sudah kita pahami bersama. Kemudian yang masih menjadi perdebatan adalah soal fiksi yang selalu dikaitkan dengan khayalan atau rekaan. Sekarang mari kita melihat definisi fiksi sendiri yang umum kita temukan dalam KBBI.

Fiksi kurang lebih memiliki definisi cerita rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan; pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran.

Sekarang kita coba ejawantahkan pemikiran yang tadi sudah saya jabarkan diatas. Kalau kita melihat definisi yang diberikan oleh KBBI, sebenarnya itu hanya mencakup sebagian kecil dari definisi fiksi tadi. 

Dalam definisi yang ada, kita sendiri bisa menggali makna-makna baru dari fiksi itu sendiri. Kalau menelusuri pemikiran pak Rocky, maka ada kemungkinan beliau tidak sedang melihat fiksi sebagai suatu sifat yang melekat pada benda, melainkan sebagai sebuah "energi". Sebagai sebuah energi, maka fiksi memiliki daya yang dapat membuat kita berimajinasi dalam membacanya. Apakah makna semacam itu ada dalam KBBI? Tentu tidak! Tetapi apakah bisa dipertanggung jawabkan? Tentu saja! Penggalian lah yang harus kita lakukan.

Definisi yang sudah ada tadi harus terlebih dahulu ditelusuri dan dikupas secara mendalam, baru kita akan menemukan makna dari apa yang kita gali dan kupas itu. Ingat! Ada prinsip dekonstruksi yang perlu ditanamkan untuk sedikit melepas kemutlakan, guna menghadirkan definisi yang terpinggirkan. Fiksi yang kita kenal sebagai peyoratif dan buruk, harus dilepas ketika kita mencoba menggali makna baru atau makna yang terpinggirkan mengenai fiksi itu.

Kemudian soal fiksi yang dikaitkan dengan kitab suci memang kemudian menjadi perdebatan karena sensitif. Karena memang kitab suci berkaitan dengan keyakinan. Akan tetapi disini yang perlu menjadi sikap kita adalah soal keterbukaan dan gaya berpikir rasional. Ada baiknya kita tidak menjadi pribadi yang legalistis, hingga membuat akal sehat kita luntur. 

Memang kita beriman penuh dengan kitab suci kita, apapun itu. Tetapi sadarilah, kitab suci itu telah berada di dunia dan tentu saja menjadi bagian dari sebuah karya sastra. Keindahan kitab suci kita bukan hanya ketika kita melihatnya sebagai sebuah benda yang amat sakral dan suci, tetapi kita juga bisa melihat keindahannya sebagai karya sastra yang ditulis, dan kita maknai dengan intuisi dan rasio kita.

Hidup adalah sebuah pencarian akan makna..

Oleh karena itu bongkarlah sikap strukturalis,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun