"Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, kitab suci adalah fiksi"
Begitulah pernyataan Rocky Gerung dalam acara Indonesia Lawyers Club pada 10 April 2018, yang kemudian menjadi kontroversi hingga disebut sebagai penistaan agama. Sebenarnya kalau diuji dalam silogisme, argumen pak Rocky bisa diterima karena memiliki conditional "bila" dan "maka".
Dalam beberapa kesempatan, saya sendiri telah menyaksikan bahwa pak Rocky juga telah memberikan penjelasan tentang conditional tadi. Sehingga, sebenarnya argumen tersebut bisa saja dipatahkan juga dengan menggunakan silogisme dengan membatalkan "bila" dalam silogisme pak Rocky. Ternyata masalah ini simple bukan? Tentu saja! Akan tetapi saya mencoba mengaitkan argumen pak Rocky secara dengan menggunakan sudut pandang teologi.
Saya tidak membela pak Rocky, karena argumen beliau bukan soal benar salah. Sebagai orang yang belajar filsafat dan teologi, saya paham bahwa pak Rocky tidak hanya sedang berargumen, tetapi juga memberikan dekonstruksi terhadap definisi fiksi. Maklum, orang yang belajar filsafat seringkali gerah dengan "rezim kepastian" (strukturalis) hehehe.
Tetapi disini saya mencoba menafsirkan pemikiran beliau sehingga muncul pemahaman mengapa kitab suci dapat disebut fiksi (mengaktifkan imajinasi). Secara hermeneutis, hal tersebut wajar saja dan tidak ada yang salah. Justru bagi saya pribadi keindahan dan seni dari membaca kitab suci adalah dengan menggunakan kemampuan imajinasi itu. Karena mau bagaimanapun kitab suci tersebut memiliki unsur sebagai karya sastra. Kemudian bagaimana kita mampu menafsirkan dan memahami pesan atau makna yang disampaikan dalam teks itu? Dengan menggunakan imajinasi untuk mengkonstruksi kisah dalam teks tersebut dalam pikiran kita. Itulah mengapa kemudian kitab suci disebut mengaktifkan imajinasi. Karena dalam pembacaan tersebut, ada imajinasi yang perlu kita bangun untuk mencoba memahami dan menafsirkan.
Sampai disini kita sudah mendapat gambaran pemahaman mengapa kitab suci bisa dikatakan mengaktifkan imajinasi..
Kemudian kita beralih kepada persoalan fiksi. Sebenarnya fiksi telah menjadi peyoratif. Ini bukan kodrat dari kata tersebut, tetapi ada stigma yang sudah terlebih dahulu ditempelkan pada kata fiksi ini, hingga membuatnya menjadi peyoratif. Hal ini sebenarnya bergantung dari bagaimana cara kita memahami sebuah definisi.
Contohnya, jika kita melihat KBBI maka ada beberapa definisi dalam sebuah kata. Namun pertanyaannya apakah kita memahami definisi itu secara apa adanya, atau melalui ragam definisi yang dipaparkan kita menafsirkan kembali definisi yang sudah ada, disitulah letak permasalahan yang ada. Karena ada orang yang memang memahami apa adanya, atau memahami dengan mendalami, menafsirkan, dan menelusuri definisi yang sudah ada untuk mencoba menggali makna yang kurang dipahami oleh orang banyak atau bahkan tersembunyi.
Dalam dunia filsafat, ada tokoh filsafat abad ke- 20 bernama Jacques Derrida yang terkenal dengan dekonstruksi. Dekonstruksi ini merupakan sebuah penataan untuk menyingkap makna-makna yang terpinggirkan atau terabaikan (Haryatmoko, 2016:133) . Konsep ini yang seharusnya sering dimunculkan dan dikembangkan dalam hidup kita sebagai eksistensi yang berpikir. Mengapa? Karena hidup merupakan pencarian akan makna. Oleh karena itu dalam pencarian akan makna, akan lebih baik bagi kita untuk melepas strukturalis atau kepastian (kemutlakan) dalam hidup ini. Apa yang dilakukan oleh pak Rocky bagi saya merupakan upaya untuk melepas kemutlakan tadi, demi pencarian akan makna.
Hal itu juga dapat kita temukan dalam pemikiran filsuf abad ke-20 lainnya, bernama Michel Foucault. Beliau dikenal dengan konsep "arkeologi" dalam bukunya yang berjudul "The Archaeology of Knowledge". Arkeologi menurut Foucault berarti sebuah penggalian historis dari suatu episteme (proses pembentukan pengetahuan). Sehingga, pengetahuan bukanlah suatu hal yang ada dengan sendirinya, melainkan terjadi atas berbagai proses yang terjadi. Dan proses itulah yang coba digali melalui arkeologi yang dimaksud oleh Foucault (Foucault, 2002:106-107).
Dari sini, kita harusnya bisa memahami apa yang menjadi tujuan pak Rocky yang dinilai mengobrak-abrik definisi fiksi yang sudah dari dulu dipahami secara umum. Pak Rocky sebenarnya tidak sedang merusak atau membongkar kata fiksi begitu saja, tetapi ada proses dekonstruksi (penataan ulang) yang beliau berikan, yang kemudian memberikan kita pemahaman baru terhadap fiksi itu sendiri.
Pak Rocky kemudian telah berhasil dalam mengupayakan pencarian akan makna yang tersingkirkan atau tersembunyi dengan neologisme yang beliau berikan. Sebenarnya kalau kita terbiasa menanamkan pemikiran semacam ini, maka kita sebenarnya tidak perlu ramai dengan gaya berpikir pak Rocky. Bagi saya sendiri, kita selama ini lebih sering mempelajari dan mengetahui sebuah pemikiran, tetapi tidak pernah menerapkannya. Itulah mengapa banyak orang memandang aneh gaya berpikir pak Rocky, yang mencoba menerapkan pemikiran-pemikiran yang selama ini mungkin hanya kita pelajari dan pahami saja.
Kalau begitu....
Kita sekarang sudah semakin memahami tentang gaya berpikir yang mendalam dan menyingkap makna yang terpinggirkan yang tadi sudah kita pahami bersama. Kemudian yang masih menjadi perdebatan adalah soal fiksi yang selalu dikaitkan dengan khayalan atau rekaan. Sekarang mari kita melihat definisi fiksi sendiri yang umum kita temukan dalam KBBI.
Fiksi kurang lebih memiliki definisi cerita rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan; pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran.
Sekarang kita coba ejawantahkan pemikiran yang tadi sudah saya jabarkan diatas. Kalau kita melihat definisi yang diberikan oleh KBBI, sebenarnya itu hanya mencakup sebagian kecil dari definisi fiksi tadi.
Dalam definisi yang ada, kita sendiri bisa menggali makna-makna baru dari fiksi itu sendiri. Kalau menelusuri pemikiran pak Rocky, maka ada kemungkinan beliau tidak sedang melihat fiksi sebagai suatu sifat yang melekat pada benda, melainkan sebagai sebuah "energi". Sebagai sebuah energi, maka fiksi memiliki daya yang dapat membuat kita berimajinasi dalam membacanya. Apakah makna semacam itu ada dalam KBBI? Tentu tidak! Tetapi apakah bisa dipertanggung jawabkan? Tentu saja! Penggalian lah yang harus kita lakukan.
Definisi yang sudah ada tadi harus terlebih dahulu ditelusuri dan dikupas secara mendalam, baru kita akan menemukan makna dari apa yang kita gali dan kupas itu. Ingat! Ada prinsip dekonstruksi yang perlu ditanamkan untuk sedikit melepas kemutlakan, guna menghadirkan definisi yang terpinggirkan. Fiksi yang kita kenal sebagai peyoratif dan buruk, harus dilepas ketika kita mencoba menggali makna baru atau makna yang terpinggirkan mengenai fiksi itu.
Kemudian soal fiksi yang dikaitkan dengan kitab suci memang kemudian menjadi perdebatan karena sensitif. Karena memang kitab suci berkaitan dengan keyakinan. Akan tetapi disini yang perlu menjadi sikap kita adalah soal keterbukaan dan gaya berpikir rasional. Ada baiknya kita tidak menjadi pribadi yang legalistis, hingga membuat akal sehat kita luntur.
Memang kita beriman penuh dengan kitab suci kita, apapun itu. Tetapi sadarilah, kitab suci itu telah berada di dunia dan tentu saja menjadi bagian dari sebuah karya sastra. Keindahan kitab suci kita bukan hanya ketika kita melihatnya sebagai sebuah benda yang amat sakral dan suci, tetapi kita juga bisa melihat keindahannya sebagai karya sastra yang ditulis, dan kita maknai dengan intuisi dan rasio kita.
Hidup adalah sebuah pencarian akan makna..
Oleh karena itu bongkarlah sikap strukturalis,
dan beranilah untuk berpikir secara liar...
Karena itu juga yang dibekali oleh Sang Ilahi
dalam pencarian akan makna dalam hidup ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H