Presiden Joko Widodo telah meresmikan aturan yang mengizinkan organisasi masyrakat (ormas) keagaaman untuk mendapatkan izin pengelolaan tambang. Hal ini merujuk pada PP 30 Mei 2024 No 25 yang disisipkan 1 pasal baru yakni 83A, menyebut bahwa wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dapat diprioritaskan kepada badan usaha yang dimiliki ormas keagamaan.
Perubahan ini tentu menuai polemik baik dari pakar hingga masyrakat Indonesia, mulai dari reliabilitas juga kredibilitas ormas keagamaan untuk mengelola sebuah pertambanganan. Pemerintah mengatakan bahwa tujuan kehadiran pasal ini untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta merupakan bentuk kontribusi dan pemberdayaan badan usaha warga dalam ormas keagamaan.
Hingga saat ini, dicatat bahwa satu-satunya ormas keagamaan yang suda berbaris "meminta" jatah Izin Usaha Tambang (IUP) ini hanyalah PBNU, saat Muhammadiyah, PGI, dan KWI diusulkan menolak. Perlu diketahui bagaimana PP ini bekerja, yaitu Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus atau WIUPK merupakan wilayah eks PKP2B atau Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batu Bara. Kepemilikan izin ini tidak dapat dipindahtangankan atau dialihkan tanpa persetujuan menteri, dan badan usaha ormas keagamaan terkait dilarang bekerjasama dengan pemegang PKP2B sebelumnya atau afiliasinya.Â
Namun, perlu diketahui juga bahwa untuk mendapatkan wilayah eks PKP2P sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang minerba, bahwa pengembalian wilayah (relinquishment) PKP2B diprioritaskan untuk dilelang kepada BUMN dan BUMD. Apabila BUMN dan BUMD menolak, maka dapat diajukan kepada pihak swasta.
Pada kebijakan ini, ormas keagamaan dalam kebijakan diterbitkan mendapat privilase sebagai kelompok yang paling dekat dengan swasta, sehingga bisa masuk dalam kategori swasta dalam UU No 3 Tahun 2020 tentang minerba menurut Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, Irwandy Arif.
Hal ini tentu menuai pro kontra, dan rasanya lebih jelas mudarat-nya dibandingkan manfaatnya. PBNU yang lalu disinggung soal fatwa mengharamkan pertambangan tahun 2015, kini mengharapkan jatah tambang, menegaskan bahwa organisasinya memang melarang adanya tindakan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan pihak tertentu saat melakukan penambangan, bukan mengharamkan legalitas izin penambangan dari pemerintah.
Namun, hampir mustahil sebuah aksi eksploitasi penambangan yang dilakukan sebuah kelompok tidak merusak lingkungan, terutama saat para pengelola bukan berasal dari kalangan profesional yang memiliki sertifikasi dan perhatian khusus pada lingkungan. Sementara PBNU memberikan tanggung jawab pengelolaan tambang yang akan diberikan nantinya kepada sang bendahara umum, Gudfan Arif Ghofur, yang merupakan seorang pebisnis dengan pengalaman di bidang politik tanpa adanya latar belakang profesional dalam bidang pertambangan dan lingkungan.Â
Tidak hanya itu, menurut jurnal yang diterbitkan Proceedings of the National Academy of Scineces (PNAS) tahun 2022, menybeutkan bahwa Indonesia menjadi salah satu penyumbang hilangnya hutan oleh pertambangan bersama Brasil, Ghana, dan Suriname. Penambangan skala industri seperti batu bara, emas, dan bijih besi menjadi pemicu deforestasi tropis, dan Indonesia menyumbang 58,2% hilangnya hutan.
Pertambangan turut menjadi musuh terbesar masyarakat karena prosesnya yang menganggu dan menghancurkan lingkungan warga sekitar sedangkan keuntungannya hanya dapat dirasakan penguasa. Selain PP ini bertentangan dengan  undang-undang yang telah ada, beberapa potensi konflik juga diprediksi akan muncul saat organisasi masyarakat keagamaan karena membawa identitas dan masyrakat tertentu.
Selama ini, perusahaan tambang dan proyek investasi sering berkonflik dengan masyarakat setempat soal kepemilikan hak tanah yang tumpang tindih dengan konsesi tambang. Jika organisasi masyrakat, apalagi lekat dengan identitas agama, terjun dalam dunia konflik antar penguasa dan rakyat biasa, sebuah konflik horizontal dapat tercipta hingga menyinggung isu SARA.
Tidak hanya itu, minimnya kapasitas ormas untuk mengelola tambang dengan keterlibatan profesional juga menjadi bukti ketidakmampuan ormas untuk mendapatkan kosensi tambang ini.Â
PP yang sama mewajibkan badan usaha negara dan swasta yang mengelola tambang wajib memenuhi syarat-syarat administratif, teknis dan pengelolaan leingkungan, serta finansial. Namun, tidak ada rincian syarat-syarat yang harus dipenuhi badan usaha milik ormas. Melky, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan bahwa ormas keagamaan tidak mungkin memenuhi kriteria yang wajib dimiliki untuk pertambangan.Â
Kebijakan baru ini ditakutkan akan mempercepat perluasan areal tambang yang pasti berdampak buruk pada lingkungan dan masyarkat. Padahal, negara seharusnya memberikan rasa aman, bukan melahirkan sebuah ancaman baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H