Selama ini, perusahaan tambang dan proyek investasi sering berkonflik dengan masyarakat setempat soal kepemilikan hak tanah yang tumpang tindih dengan konsesi tambang. Jika organisasi masyrakat, apalagi lekat dengan identitas agama, terjun dalam dunia konflik antar penguasa dan rakyat biasa, sebuah konflik horizontal dapat tercipta hingga menyinggung isu SARA.
Tidak hanya itu, minimnya kapasitas ormas untuk mengelola tambang dengan keterlibatan profesional juga menjadi bukti ketidakmampuan ormas untuk mendapatkan kosensi tambang ini.Â
PP yang sama mewajibkan badan usaha negara dan swasta yang mengelola tambang wajib memenuhi syarat-syarat administratif, teknis dan pengelolaan leingkungan, serta finansial. Namun, tidak ada rincian syarat-syarat yang harus dipenuhi badan usaha milik ormas. Melky, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan bahwa ormas keagamaan tidak mungkin memenuhi kriteria yang wajib dimiliki untuk pertambangan.Â
Kebijakan baru ini ditakutkan akan mempercepat perluasan areal tambang yang pasti berdampak buruk pada lingkungan dan masyarkat. Padahal, negara seharusnya memberikan rasa aman, bukan melahirkan sebuah ancaman baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H