Mohon tunggu...
Viddy Daery
Viddy Daery Mohon Tunggu... -

Aku adalah Aku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berani Klaim Gadjah Mada, Harus Hargai Kali Lamong!

1 Oktober 2014   03:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:52 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14120962411505377312

Oleh : Viddy Ad Daery *) budayawan, peneliti Gajah Mada  van Modo sejak 1999, diundang jadi pembicara folklore Gajah Mada di Kongres Folklor Asia III di Jogja 2013. Viddy juga aktif sebagai produser film daerah.

[caption id="attachment_362900" align="aligncenter" width="630" caption="Peta Lamongan (Google Map)"][/caption]

Berbeda dengan bupati-bupati Lamongan yang dulu, Bupati Lamongan H. Fadheli berani dengan tegas mengklaim bahwa tokoh Asia Tenggara (Nusantara dalam konsep yang sesungguhnya), yaitu Gajah Mada adalah putra kelahiran Lamongan, karena itu Lamongan akan disebut dengan ikon “Bumi Gajah Mada”.

Namun mengklaim hal itu, tentu akan mendapat serangan dari teoritikus-teoritikus “Gajah Mada kelahiran Malang, Bali, Batak, Minang, Lampung, Kalimantan, Nusa Tenggara dan sebagainya”, kecuali dengan meneliti dan mengungkap peran Kali Lamong yang pernah sangat penting dan menentukan jalannya roda sejarah sejak zaman Airlangga hingga Majapahit dan berlanjut ke zaman Sunan-sunan.

Banyak kota-kota kuno dibangun di pinggir sungai, karena memang sungai adalah urat nadi kehidupan yang sangat penting di masa lalu, ketika sarana jalan raya belum bagus, dan transportasi udara belum ada.

Dan tentunya, ibukota-ibukota kerajaan besar juga dibangun di pinggir sungai, meski untuk beberapa kerajaan besar, membangun istananya agak masuk ke dalam, bahkan jaraknya sekitar setengah hari perjalanan dari pinggir sungai dengan alasan keamanan.

Fungsi penting sungai mulai surut ketika jalan-jalan raya darat mulai dibangun bagus, bahkan diaspal dan dibeton, saat itu perjalanan darat lebih disukai karena cepat dan nyaman. Apalagi ketika pesawat terbang ditemukan, perjalanan sangat cepat dan nyaman meski kurang aman, lebih dipilih banyak orang.

Namun, sebenarnya tidak semua Negara melupakan sungai yang pernah berjasa besar dalam sejarah kehidupan. Semua Negara maju di dunia bahkan makin memperbagus sungainya. Malahan Negara-negara Asia tenggara yang notabene belum lama merdeka karena dijajah oleh Negara-negara Barat, relatif masih menghargai sungainya.

Sungai di Singapura masih dijaga kebeningannya meski tidak lagi berfungsi kecuali untuk sarana wisata, demikian juga Malaysia dan Brunei. Tetapi Thailand masih memfungsikan sungainya secara maksimal. Transportasi sungai bahkan dianggap lebih unggul untuk mengatasi kemacetan transportasi darat.

INDONESIA MENGKHIANATI SUNGAI

Hanya di Indonesia sungai dikhianati. Ya dikhianati, karena bukan hanya dilupakan fungsinya, bahkan dihancurkan, yaitu diracun, dijadikan pembuangan sampah, dipenggal-penggal untuk bendungan bahkan kemudian diurug dan dihilangkan.

Sudah begitu, para master city planner “yang cerdas” tidak membangun got yang memadai, maka jangan heran banjir di Indonesia bukan hanya datang rutin tahunan, melainkan setiap hari. Mungkin tujuannya agar proyek perbaikan dikucurkan setiap hari , tidak perduli masyarakat banyak menderita karenanya.

Rata-rata sungai di Indonesia memang kini kondisinya hancur binasa, namun saya mau membahas satu sungai YANG PERNAH SANGAT PENTING untuk sejarah Jawa Timur, tapi kini sama sekali dilupakan oleh siapa pun, padahal sungai itu masih ada, meski kini sungai itu tinggal menjadi sungai kecil atau kali.

SUNGAI LAMONG

Yayaya, sungai itu adalah Sungai Lamong....nah-nah-nah....tidak ada yang tahu atau pernah mendengar namanya kaaan? Kadang ada beberapa budayawan yang merasa pernah mendengar nama Sungai Lamong, tetapi mereka mengira sungai itu adalah anak sungai Brantas, ada pula yang mengira dia adalah anak sungai Bengawan Solo.

Padahal anggapan itu salah, meskipun memang pada beberapa titik ada pertemuan Sungai Lamong dengan Sungai Brantas dan juga dengan Bengawan Solo.

Sesungguhnya memang Sungai Lamong yang letaknya diapit Bengawan Solo dan Sungai Brantas, merupakan sungai yang mandiri, dengan hulunya bermata air dari Gunung Pucangan, Kudu, perbatasan Lamongan dan Jombang. Dari situ sungai itu mengalir ke utara sedikit menuju Garung dan Pamotan (dua ibukota kerajaan vassal (bawahan) Majapahit yang kini masuk kecamatan Sambeng, Lamongan, lalu bergerak ke timur menuju Babatan Mantup (di mana menurut folklore Lamongan, di perbatasan itulah terjadi Perang Salah Faham antara rombongan kemanten dari Kadipaten Lamongan dengan besannya dari Kadipaten Kediri—mengulang peristiwa Perang Bubat).

Di wilayah Babatan Mantup (naah kenapa nama desanya Babatan? Kok mirip Babat tempat lokasi perang Bubat ?), Sungai Lamong menjadi batas wilayah yang membagi wilayah Kabupaten Lamongan dengan Kabupaten Mojokerto.

Selanjutnya Sungai Lamong terus bergerak ke timur menuju Gresik dan akhirnya bermuara di Segara Madu atau Jaratan yang dipercayai dulu merupakan pelabuhan kuno Gresik.

Kalau melihat kondisi Sungai Lamong kini yang Cuma bagai kali kecil dengan lebar 6 meter, memang banyak orang bisa tidak percaya kalau Sungai Lamong atau ada yang menyebutnya Bengawan Setro itu pernah menjadi sungai bersejarah.

Namun menurut disertasi Ena Sumarna—mantan Sekda Lamongan yang menekuni dunia perguruan tinggi—Sungai Lamong pada masa jayanya lebarnya adalah 47 meter, setara dengan sungai besar pada umumnya.

Menurut budayawan Lamongan Daniyanto yang pernah membaca naskah kuno “Babad Lamongan” didapat kisah sejarah, bahwa Sunan Giri dan para santrinya banyak menggunakan jasa Sungai Lamong atau Bengawan Setro itu.

Juga menurut arkeolog nasional Bambang Budi Utomo, kalau melihat banyaknya temuan situs dan prasasti di tepi Sungai Lamong, maka sangat besar kemungkinan Sungai Lamong dulu dilayari perahu-perahu dagang.

Dalam folklor-folklor Lamongan dan Gresik, memang banyak menyebut peran penting Sungai Lamong, misalnya perjalanan dakwah Sunan Giri dan para santrinya, termasuk Sunan Hadi yang nantinya mendirikan Kadipaten Lamong atas restu Sunan Giri. Nama Kadipaten Lamong yang akhirnya berubah menjadi Lamongan, mau tak mau pasti mengambil nama Sungai Lamong.

PERTEMUAN ANAK SUNGAINYA

Kalau melihat peta Google Maps, maka Sungai Lamong meski kini jatuh menjadi kali kecil, ternyata mempunyai banyak anak sungai. Menurut arkeolog Dwi Cahyono, salah satu anak sungainya yang lokasinya dekat Selat Madura ada yang menyambung dengan Sungai Brantas, namun itu bukan berarti Kali Lamong adalah anak Sungai Brantas.

Sedang menurut Maksum Lengkir, budayawan lokal desa Kacangan, Kecamatan Modo, Lamongan, anak sungai Kali Lamong ada yang bersambung dengan Bengawan Solo di sekitar Bauwerno (kini Burno) sebuah desa kuno yang kini adalah merupakan perbatasan wilayah Babat-Lamongan dengan Kabupaten Bojonegoro. Lalu jalur sungainya masuk ke Semarmendem, terus alirannya menuju Bajul terus ke Bluluk lalu ke Ngimbang terus ke Patakan terus menuju Sambeng dan bergabung dengan Kali Lamong yang menuju Garung dan Pamotan, mantan ibukota kerajaan kecil/pakuwon yang merupakan vassal/bawahan Majapahit.

Dengan tersingkapnya alur-alur sungai di pedalaman Lamongan ini, maka KIAN TERBUKTI BENAR seliweran sejarah zaman Airlangga di abad 9-10 M sampai 12 M, Majapahit-Gajah Mada di abad 13-15 M dan sejarah Sunan-sunan termasuk Sunan Hadi di abad 15-16 M yang membangun dan memperbesar wilayah Kadipaten Lamong/ Lamongan.

Karena tanpa adanya peran sungai itu, memang agak mengherankan kalau Airlangga, Gajah Mada dan Sunan Hadi bergerak cepat ke seluruh penjuru Lamongan dari arah Bengawan Solo ke arah Sungai Brantas ulang-alik. Sebab tentunya waktu itu jalan raya darat meski sudah ada, tapi tentu kondisinya belum bagus.

Jadi, alur sungai nampaknya lebih masuk akal menjadi pilihan utama. Namun sayang, kini Kali Lamong dilupakan sejarah. Bahkan pemerintah Kabupaten Lamongan hanya sekedar mengklaim Gajah Mada “thok” , tanpa melakukan hal-hal yang berarti, termasuk merevitalisasi Kali Lamong yang bersejarah itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun