Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Orang Rimba di Jambi

13 Desember 2017   14:20 Diperbarui: 13 Desember 2017   14:31 982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebetulan, saat kami datang, kelompok Sako Nini Tuwo sedang 'turun gunung' karena hendak berobat. Ketimbang mereka harus ke Puskesmas, Bang Yomi yang bertugas sebagai perawat mendatangi mereka dan menggelar tenda di antara hutan kelapa sawit itu untuk memeriksa penyakit satu per satu. Dengan ambulans yang disupiri oleh Bang Fadli ini, Bang Yomi membawa obat untuk P3K. Jika sakit mereka parah barulah mereka dikirim ke Puskesmas. 

Dalam pertemuan pagi itu, para sukarelawan WARSI menjadi jembatan bagi kami untuk meminta izin bertamu dan mengambil gambar anak-anak dari Suku Rimba ini. Mereka bicara dengan bahasa campuran Jambi dan Melayu dengan aksen khas Orang Rimba yang membuat saya merasa lost in translation. Sedikit-sedikit saya mencoba menangkap gaya bahasa dan gerak-gerik mereka. Walau sambutan yang kami dapat tidak meriah, setidaknya kami mendapatkan izin itu.

Mungkin hal ini juga dipermudah karena kehadiran Bang Gentar (yang pakai baju hitam sebelah Bang Maknun di foto di atas), yang merupakan salah satu anak didik Butet Manurung di Sokola Rimba. Bang Gentar adalah salah satu lulusan terpandai, tetapi memutuskan untuk pulang ke hutan dan berkeluarga. Namun hal ini tak menyurutkan semangat Bang Gentar untuk mengajar generasi berikutnya dan membantu tim WARSI.


Anin dan saya sudah siap bertualang!
DSCF5644.JPG
DSCF5644.JPG

pemandangan perjalanan melalui kebun kelapa sawit

Jadi setelah makan siang kami bersiap berangkat ke Taman Nasional Bukit Dua Belas naik mobil offroad melintasi ladang kelapa sawit dan perbukitan gersang. Di satu titik kami harus memarkir mobil dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Treknya tidak terlalu parah sih, tapi ada banyak peralatan kemping yang kami bawa yang membuat kami menyewa motor warga untuk membantu.

Kami tiba di tempat perkemahan tepat saat matahari tenggelam. Ada sebuah pondok kayu yang berdiri di sana, dan Suku Anak Dalam membuat tenda untuk mereka tidur. Tenda-tenda itu hanyalah selembar terpal yang dibentangkan di antara pepohonan dengan bantuan batang pohon yang berfunsgi sebagai bubungan. Terpal mereka tidak membentuk dinding, hanya menjadi atap. Satu terpal tenda diperuntukkan untuk satu keluarga. Saya tidak bisa membayangkan harus tidur seperti itu--masuk angin dan kedinginan sudah pasti!

Para kru mendirikan tenda untuk kami tidur--tenda 'modern' yang mirip igloo dengan pintu untuk menutup seluruh sisi--yang tampak kontras dengan kesederhanaan gaya Suku Anak Dalam bermalam. Mereka hidup semi-nomaden yang artinya tidak pernah tetap. Mereka mengeksplorasi hutan dan hidup dengan mengambil apa yang disediakan alam. Mereka memetik, memanen, atau berburu untuk makan. 


suasana shooting pagi hari

Satu hal yang membuat saya kagum, adalah peraturan mereka untuk tidak mandi atau membuang limbah apapun di sungai. Karena sungai adalah sumber air minum untuk mereka. Hal ini membuat saya terpaku. Betapa mereka bisa berpikir untuk menjaga sumber kehidupan--sedangkan kita di kota malah sembarangan membuang sampah dan limbah yang menjadikan sungai kita berwarna cokelat. Tak heran desa di sini dinamakan Sungai Jernih.

Hal lain yang saya pelajari dari suku ini adalah keadilan yang mereka jaga di antara mereka. Seperti makanan yang selalu mereka bagi sama rata di antara mereka, sekecil apapun yang mereka dapatkan. Atau ketika jalan pulang, salah satu dari mereka selalu menengok ke belakang memastikan kaki saya menjejak di tanah yang tepat. Jadi walau mereka tak mengenal kata 'tolong', 'terima kasih' dan 'maaf' (yang akhirnya ngga jadi galau sakit hati berkepanjangan sih), mereka punya nilai lain yang menurut saya sudah pudar di perkotaan. 

Belum sempat tenda kami terpasang sempurna, hujan mengguyur hutan malam itu. Kami harus berlindung, dan satu-satunya bangunan di situ adalah pondok kayu yang tidak boleh kami masuki. Suku Anak Dalam begitu protektif terhadap properti dan teritori mereka (bahkan mengambil gambar pun harus seizin mereka--itu sebabnya tidak terlalu banyak foto yang bisa saya pamerkan di sini.) Untungnya kami dibolehkan berteduh di bagian belakang pondok yang cukup terlindung dengan dinding papan kayu di dua sisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun