1. PENDAHULUAN
Seperti yang kita ketahui bahwa sektor perpajakan menjadi salah satu sektor penerimaan terbesar dalam negara. Di tahun 2023, pajak berperan sebanyak 64,6% dalam postur APBN yang digunakan untuk kelangsungan hidup negara Indonesia. Hal ini menandakan bahwa pajak masih menjadi sektor yang penting ubtuk terus dikembangkan dan ditingkatkan lagi penerimaannya  (Susilawati, 2021).
Masalah yang timbul adalah, tingkat kesadaran masyarakat di Indonesia yang masih harus ditingkatkan lagi terkait dengan kepatuhan pembayaran pajak. Jika dilihat, secara umum jelas bahwa tingkat kesadaran negara kita masih kalah jika dibandingkan dengan negara - negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dll. Hingga saat ini pun, tax ratio kita masih berada di kisaran angka 12%. Di harapkan tingkat kesadaran wajib pajak baik pribadi ataupun badan di Indonesia terus meningkat untuk terus bisa meningkatkan penerimaan perpajakan negara kita.
Namun, terdapat beberapa dilema yang sekiranya muncul terkait dengan kesadaran dan kepatuhan masyarakat sebagai wajib pajak saat ini. Seperti yang kita tahu bahwa apabila terdapat suatu pelanggaran seperti telat lapor atau telat bayar, maka wajib pajak akan dikenakan sanksi terkait kelalaiannya tersebut. Hal ini tentunya akan menambah pemasukan bagi negara kita sendiri di samping besaran pajak yang harus dibayarkan itu sendiri. Sanksi tersebut berupa bunga maupun denda yang besarannya telat diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Semakin banyak sanksi yang dihasilkan atas kelalaian wajib pajak, maka akan semakin menambah penerimaan dari sektor perpajakan bagi negara. Jika kita asumsikan bahwa tax ratio yang ada masih sama besarnya, maka penerimaan lain dari sanksi tentunya cukup menambah keuntungan. Namun, jika ingin meningkatkan tax ratio dan menjadi warga negara yang baik, Maka kita harus meminimalisir kelalaian wajib pajak dan meningkatkan kepatuhan serta kedisiplinannya terhadap peraturan perpajakan.Â
Harapannya, semakin banyak masyarakat sebagai wajib pajak yang patuh, maka semakin banyak pula penerimaan perpajakan yang bisa kita dapatkan. Semakin patuh masyarakat, tentunya diharapkan bisa meningkatkan lagi wajib pajak - wajib pajak baru yang bisa menambah penerimaan negara. Akibatnya, tax ratio pun perlahan meningkat.
Hal ini lah yang sekiranya bisa menjadi dilema dalam pernerimaan perpajakan disituasi dengan seperti saat ini. Karena tentunya, kita sangat ingin negara mendapatkan penerimaan semaksimal mungkin dari sektor perpajakan, tapi di sisi lain, sebagai negara yang baik, tentunya kita menginginkan warga negara yang baik dan patuh terhadap peraturan perpajakan yang ada. Ini lah dilema yang muncul, yakni wajib pajak patuh dan tanpa sanksi atau banyak sanksi banyak penerimaan?
2. LITERATUR REVIEW
Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Â
Dengan demikian, semua pajak yang dibayarkan oleh masyarakat pada akhirnya nanti akan dirasakan pula oleh masyarakat itu sendiri manfaatnya. Tentunya dengan intrepretasi secara tidak langsung, atau dapat diartikan pula bahwa manfaatnya dapat dirasakan tidak saat ini juga. Bisa satu tahun, lima tahun, atau bahkan 10 tahun kedepan, tergantung program yang sedang dijalankan oleh pemerintah.Â
Beberapa contoh hasil dari kinerja perpajakan yaitu terbangunnya ruas jalan di seluruh Indonesia yang bisa menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya. Contoh lainnya yaitu terbangunnya jembatan yang mengubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya yang terputus akibat sungai, lembah, dll. Dengan terhubungnya daerah-daerah ini, maka aktivitas penduduk dan perekonomian pun akan semakin meningkat (Sinaga, 2018).
Dalam memenuhi perpajakan tersebut, tentunya terdapat peraturan-peraturan tentang perpajakan yang harus di patuhi oleh masyarakat. Peraturan tersebut tertuang dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Semua hal mengenai perpajakan diatur dalam UU KUP tersebut, mulai dari tata cara pembayaran, penyetoran, pelaporan hingga sanksi-sanksi yang siap menanti jika ada keterlambatan ataupun kelalaian yang dilakukan oleh wajib pajak. Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dalam Pasal 10 ayat (2) UU KUP atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (Mangkuprawira, 2015).
Sebagai contoh, jatuh tempo pembayaran pajak untuk wajib pajakdan beberapa sektor lainnya yaitu:
Wajib Pajak
PPh Pasal 4(2)
PPh Pasal 15
PPh Pasal 25
Tanggal 15 bulan berikutnya
PPh Pasal 29
Sebelum SPT tahunan disampaikan
Pemotong/pemungut
PPh Pasal 4(2)
PPh Pasal 15
PPh Pasal 21
PPh Pasal 23/26
Tanggal 10 bulan berikutnya
PPh pasal 25 bagi WP usaha kecil atau WP di daerah tertentu
paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir
PPN & PPnBM
Wajib Pajak
Akhir bulan berikutnya
Selain bendahara/pemungut
Akhir bulan berikutnya
Bendaharawan
Tanggal 7 bulan beriktunya
Pemungut
Tanggal 10 bulan berikutnya
PPh Pasal 22
Importir
Saat penyelesaian doc
DJBC
1 hari kerja
Bendaharawan
Hari yang sama
Pemungut
Tanggal 10 bulan berikutnya
Sementara untuk batas waktu penyampaian surat pemeritahuan atau SPT yaitu:
SPT Masa
20 hari setelah akhir masa pajak
SPT Tahunan PPh OP
3 bulan setelah akhir tahun pajak
Perpanjangan
(maksimal 2 bulan)
dengan
pemberitahuan
SPT Tahunan PPh Badan
4 bulan setelah akhir tahun pajak
Dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur, pelaporan dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
Apabila kita melalaikan peraturan yang ada dialam UU KUP tersebut, maka akan terdapat sanksi yang harus kita penuhi sebagai konsekuensinya, baik berupa denda maupun bunga. Sanksi-sanksi tersebut bisa muncul akibat dari telat membayar pajak, telat melaporkan spt, telat melunasi angsuran, dll. Sebagai contoh yang diatur dalam UU KUP pasal 9 ayat 2 (a) untuk PPh masa pajak yang isinya dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dikenakan paling lama 24 bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu). Sedangkan pasal 9 ayat (b) untuk PPh setahun yang berisi dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dikenakan paling lama 24 bulan, dan bagian dari bulan penuh 1 (satu) bulan. Keduanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga/bulan yang ditetapkan oleh Menkeu.
Contoh sanksi lainnya yaitu atas penundaan penyampaian SPT Tahunan yang diatur dalam Pasal 19 ayat 3 UU KUP yang berbunyi "Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian SPT Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayara pajak tersebut, Wajib Pajak dikenai bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung dari saat berakhrinya batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan dikenakan paling lama 24 bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan (Wijaya & Pardede, 2020).
Berikut merupakan beberapa contoh sanksi yang ada dan diatur dalam UU KUP dan masih banyak lagi sanksi lainnya terkait kelalaian maupun keterlambatan dalam menunaikan kewajiban perpajakan.
3. PEMBAHASAN
Seperti yang telah kita ketahui bahwa sektor pajak merupakan sumber penerimaan terbesar bagi negara setiap tahunnya, yang selalu diusahakan untuk terus meningkat penerimaannya. Berbagai upaya tentunya akan terus dikerahkan oleh pemerintah, kementerian keuangan, khususnya direktorat jendral pajak untuk terus bisa memaksimalkan sektor pajak. Penerimaan pajak yang terus meningkat setiap tahunnya bukan menjadi alasan untuk berhenti mencari celah yang masih bisa dimasuki oleh para pelanggar pajak.Â
Diyakini bahwa sebenarnya masih banyak wajib pajak yang lalai dalam menunaikan kewajibannya, baik suatu ketelatan bahkan keengganan untuk membayar. Pelanggaran yang dilakukan oleh para wajib pajak itu tentunya akan menuaikan sanksi yang bisa menambah pemasukan bagi negara disamping besaran pokok pajaknya itu sendiri. Hal ini secara tidak langsung memang menjadi tambahan keuntungan bagi negara. Memang besarannya tidak seberapa dibanding besaran pajak pokoknya, tetapi jika dilakukan oleh banyak pihak bisa menjadi tambahan yang bisa diperhitungkan jumlahnya.
Sanksi baik denda maupun bunga tersebut didapat apabila ada wajib pajak yang melanggar. Bila kita mengaharapkan lebih dari sektor sanksi ini, berarti sama saja kita mengharapkan kelalaian yang lebih dari masyarakat ataupun wajib pajak dalam menunaikan kewajiban pajaknya. Semakin banyak pelanggar, semakin banyak pula pendapatan negara dari sektor pajak disamping besaran pokok pajaknya.
Namun, jika hal ini terus dibiarkan maka akan tumbuh sikap dan perilaku negatif dari masyarakat itu sendiri untuk terus membiasakan diri melanggar ketentuan yang berlaku. Tentu sebagai masyarakat yang cerdas yang bijak, masyarakat akan dengan sendirinya menghindari sanksi untuk mengurangi tagihan yang harus mereka bayar. Namun, akan selalu ada wajib pajak yang melakukan pelanggaran baik terlambat menyetor ataupun melaporkan dan masih banyak lagi. Sebagai petugas pajak yang baik, tenrtunya kita harus mengantisipasi tindakan-tindakan yang bisa menimbulkan kelalaian tersebut. Bagaimanapun kepatuhan pajak harus tetap ditegakkan demi masyarakat dan taraf berpikir yang lebih baik kedepannya. Selain itu, kita juga tidak boleh terus-terusan berharap dari besaran sanksi. Target utama kita adalah wajib pajak-wajib pajak yang memang harus mengeluarkan besaran pokok pajak mereka. Semakin kita bisa menumbuhkan kesadaran untuk semua masyarakat, semakin banyak masyarakat yang patuh dan mulai membayar pajak mereka. Semakin banyak masyarakat yang patuh dan membayar pajak, maka semakin banyak pula penerimaan pajak yang masuk.
4. KESIMPULAN
Dari penjelasan dan pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kita harus terus meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya patuh terhadap peraturan dan ketentuan perpajakan daripada terus berharap akan kelalaian mereka yang akan menuaikan pendapatan melalui sanksi. Untuk apa kita berharap pada besaran sanksi denda maupun bunga yang tidak seberapa besarnya, tapi kita kehilangan jati diri kita sebagai bangsa yang berusaha untuk berbenah menjadi lebih baik lagi dalam hal kepatuhan dan kedisiplinan. Memelihara suatu hal yang buruk tidaklah mendapat apapun selain keburukan diakhir masanya. Jadi, lebih baik kita berusaha meningkatkan terus kesadaran dan kepatuhan masyarakat, serta meminimalisir kesalahan dan kelalaian masyarakat. Masyarakat patuh, penerimaan terus meningkat, Indonesia pun semakin maju.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI