Mohon tunggu...
Vico Adli Narindra
Vico Adli Narindra Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar SMAN 28 Jakarta

XI MIPA 4

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Siklus Klasik Kediktatoran

30 Agustus 2020   01:24 Diperbarui: 30 Agustus 2020   01:55 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah paham yang hidup di luar zona ideologi yang sudah dianut pada suatu bangsa kerap dicap negatif secara absolut. Namun, warisan pemikiran dan atribut-atribut positif nan kritis yang pernah digunakan di dalam paham yang dicap negatif tersebut kembali muncul di kalangan generasi muda, bahkan menjadi isu khusus di berbagai belahan dunia.

Kelompok muda-mudi yang dianggap memiliki pandangan dan pemikiran yang tajam terus bermunculan sejalan dengan gelombang penerbitan massal buku berhaluan progresif. Penerbit independen hingga perpustakaan ruang terbuka digagas untuk memicu literasi alternatif.

Namun di tengah produksi buku nasional yang dinilai krisis, pemerintah bertekad memusnahkan bacaan yang tidak sesuai ideologi negara. Buku-buku itu digadang berpotensi melahirkan kaum radikal dan anti-pemerintah. Hal ini, melahirkan sebuah ironi yang selalu menjadi bayang-bayang kehidupan bernegara dan sosial pada negara, mengatasnamakan patriotisme dan norma.

Masyarakat digiring, menjauh dari kata keterbukaan pikiran, yang lambat laun tanpa disadari menghidupkan kediktatoran dan matinya demokrasi dan sosialisme pada bangsa itu sendiri. Lambat tapi pasti, hal ini bak senjata makan tuan.

Lantas bagaimana hal yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan dapat menjadi langkah yang salah dan justru menggerogoti bangsa itu sendiri dari dalam?

Pemilik kekuasaan yang menganggap keadaan ini sebagai ancaman, mengalihkan urgensi negara menjadi terfokus pada pemberian pemahaman dan doktrin klasik agar masyarakat tidak terlalu terbuka dengan arus yang berlangsung.

Jika hal ini tidak efektif, keresahan atas terjadinya penggerusan ideologi tentu akan meningkat. Modernisasi zaman membuat perkembangan informasi menjadi lebih luas dan cepat.

Untuk itu, seorang pemimpin terkadang harus bermain dengan cara cerdik, memimpin pemerintahan dengan cara-cara yang di luar aturan yang biasa dengan cara mulus untuk mengatasi semua ancaman bahaya sampai keadaan dapat dipulihkan kembali dan kehidupan berjalankan sebagaimana sebelumnya.

Mematikan kritik dan aspirasi pemuda-pemudi bangsa, pembatasan literasi dan keterbukaan pikiran, serta pengkotakkan wawasan ideologi menjadi pilihan yang tepat dan jelas, dan yang lebih penting, kasat mata.

Jawaban yang sama setidaknya akan berjalan untuk satu periode berikutnya, kediktatoran dan siklus alaminya. Muncul dan berkembangnya suatu ideologi luar yang dirasa oleh para orang lama seharusnya tidak berada di negara mereka serta rasa takut akan persaingan dan tenggelamnya ideologi lama akan jelas memunculkan suatu penyelewengan.

Ya, penghindaran yang berujung kediktatoran dalam sebuah konstitusi. Kediktatoran umumnya dicirikan oleh beberapa hal berikut: penangguhan pemilihan dan kebebasan sipil; proklamasi keadaan darurat; diatur dengan keputusan; represi lawan politik; tidak mematuhi aturan prosedur hukum, dan kultus kepribadian. Hanya waktu yang menentukan, kriteria mana yang akan cepat terisi. Apakah ini akhir dari masalah dan sebuah solusi? Tentu tidak.

Babak baru akan segera terbuka. Para pemuda yang kritis dan terpelajar jelas akan terus bermunculan. Ketidakpuasan menjadi bahan bakar utama terjadinya keresahan. Pemikiran akan selalu berkembang. Kudeta dapat menjadi hal terakhir yang tercetus dalam benak pikiran manusia yang merasa tidak puas.

Peristiwa seperti Revolusi Oktober yang baru bisa saja tercipta kembali. Namun, perlu diingat bahwa hasil kudeta bagaikan pisau bermata dua. Kisah heroik Vladimir Lenin di Rusia mungkin bisa saja terjadi, atau justru kisah menyedihkan dan memalukan Napoleon Bonaparte di Perancis yang akan terjadi.

Pemerintahan yang baru pun dimulai. Orang-orang yang masih dalam suasana bergembira atas keberhasilan revolusi dan reformasi pemerintahan sering kali melupakan tujuan utama mereka.

Rezim baru yang memiliki kekuatan besar dapat melahirkan otoritas yang sangat kuat dan mutlak. Keputusan pemerintahan yang diambil tidak lagi kasat mata, mau yang baik ataupun yang buruk. Pemerintahan baru yang baik tentunya tidak serta merta terhindar dari masalah seperti kondisi finansial ataupun sumber daya alam.

Namun, kacamata baik itu dapat terlihat dari visi dan keberhasilan pembangunan jangka panjang, bukan sekadar omong kosong belaka. Mari berkaca dari Revolusi Perancis dan Orde Baru Indonesia.

Revolusi Perancis (wikimedia commons)
Revolusi Perancis (wikimedia commons)

Terlepas dari upaya untuk menghilangkan dominasi monarki, Napoleon Bonaparte memegang kekuasaan sebagai Kaisar pertama pada tahun 1804. Dia bersikeras bahwa dia memegang tujuan revolusi.

Namun, revolusi berubah menjadi lebih otoriter setelah pemerintahan Napoleon berjalan. Seiring perkembangannya, orang-orang yang bersimpati kepada pemikirannya turut berbalik membenci Napoleon.

Walaupun bersikeras, pada faktanya dia merebut kekuasaan untuk dirinya sendiri dan menggulingkan Republik Prancis Pertama untuk menjadi Kaisar. Bagi rakyat Perancis pada saat itu, itu adalah pengkhianatan terhadap cita-cita Republik Prancis dan itu membuktikan Napoleon tidak lebih dari seorang Diktator.

Contoh lainnya adalah rezim Soeharto yang pernah berkuasa selama 32 tahun di Indonesia. Keberhasilan merevolusi pemerintahan yang sudah ada lebih dari rata-rata masa kepemimpinan presiden yang sudah ada mungkin akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi namanya.

Namun, kegagalan dia dalam merombak penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sudah berakar dalam pemerintahannya mencoreng keharumannya.

Walaupun secara individu presiden kedua Indonesia itu tidak terlihat kediktatorannya, cap sebagai diktator akan lekat dengannya karena buruknya keterbukaan dan penyelewengan para bawahannya, menyebabkan perintah dan aturan yang ada menjadi absolut dan menjadi kepentingan tersendiri bagi mereka. Selain gerakan anti-komunis yang sudah tercipta pada awal pemerintahannya, lahirlah paham anti-Soeharto yang melengserkan dirinya sendiri dari kursi kepresidenan.

Dengan nama kekuatan rakyat ataupun demokrasi, hal yang jauh lebih buruk dari pemerintahan yang sebelumnya dapat terjadi. Kekuatan militer absolut yang berlandaskan anti-ideologi tertentu dapat terlahir dan membuat semua lebih buruk daripada pemerintahan yang sebelumnya. Akhir yang tidak ada hentinya dalam siklus pemerintahan yang sudah terlanjur tidak sehat.

Keputusan yang seolah mengekang kebebasan akan menjadi bumerang bagi pemerintah itu sendiri. Keputusan yang pemerintah buat sangatlah penting bagi kelanjutan dan kemajuan bangsa itu sendiri.

Julukan diktator sangatlah rentan dan pantas disematkan kepada suatu pemimpin jika pemerintahan yang dia jalani sudah tidak sehat dan terdapatnya anggapan bahwa pemimpin atau pemerintahannya lebih tinggi daripada pihak tertentu manapun.

Jangan sampai kepercayaan rakyat hilang hanya karena suatu tindakan yang tidak seharusnya dilakukan. Sebagai rakyat, sebelum kita mengkritik sesuatu, tentulah kita harus memastikan bahwa kita sudah memenuhi kewajiban kita sebagai rakyat terlebih dahulu. Jangan sampai kita menuntut hak, namun melupakan kewajiban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun