Warga 16 Kampung Tua di Pulau Rempang dan Galang menolak relokasi. Mereka meminta pemerintah mengakui tanah adat dan ulayat warga. Belakangan, terbukti, ada penyampaian informasi yang minus ke/pada Warga 16 Kampung Tua, ditambah masuknya "orang-orang luar" untuk memprovokasi penduduk setempat.
Penolakan Warga disambut dengan, turunnya Petugas gabungan dari Polri, TNI, Ditpam Badan Pengusahaan Batam, dan Satpol PP. Bentrok dan rusuh pun terjadi.
Kerusuhan yang tadinya di sekitar area pengukuran lahan, dorong mendorong, hingga mendekati area sekolah. Gas Airmata yang ditembak ke Warga menyebar hingga area sekolah. Beberapa siswa sekolah dibawa ke rumah sakit akibat terkena gas air mata yang terbawa angin, karena lokasinya yang tidak jauh dari tempat terjadinya keributan.
Penjelasan Kapolri
"Sebelum terjadi bentrokan, BP Batam sudah melakukan langkah-langkah sebagaimana mestinya yakni mulai dari musyawarah, mempersiapkan relokasi hingga ganti rugi. BP Batam sudah menyiapkan ganti rugi untuk warga di Pulau Rempang, Batam, terkait rencana pengembangan di kawasan tersebut.
Langkah-langkah yang dilaksanakan oleh BP Batam sudah sesuai berjalan, mulai dari musyawarah, mempersiapkan relokasi, termasuk ganti rugi pada masyarakat yang mungkin telah menggunakan lahan atau tanah di Rempang.
Pengukuran lahan di Rempang bertujuan untuk pengembangan kawasan, namun kemungkinan lokasi tersebut dikuasai oleh beberapa kelompok masyarakat.
Di sana, ada kegiatan terkait dengan pembebasan atau mengembalikan kembali lahan milik otoritas Batam yang saat ini mungkin dikuasai beberapa kelompok masyarakat.
Pengukuran tersebut dilakukan lantaran pihak BP Batam akan menggunakan lahan tersebut untuk aktivitas investasi. Karena memang ada kegiatan yang akan dilakukan oleh BP Batam.
Penyelesaian konflik tersebut diselesaikan melalui musyawarah mufakat antara pihak-pihak terkait.
Namun demikian, tentunya upaya musyawarah, upaya sosialisasi penyelesaian dengan musyawarah mufakat menjadi prioritas, sehingga kemudian masalah di Batam, di Rempang itu bisa diselesaikan."
Akar Konflik yang Mendasar
Berdasarkan pengalaman, sejak 1990an, pendampingan terhadap warga (yang mengalami konflik tanah) di berbagai daerah, temasuk Jakata, ada semacam krologis baku sehingga terjadi Konflik Tanah. Hal-hal tersebut, antara lain,.
- Tanah Tak Digunakan, terlantar, ex Perkebunan Belanda, Milik Kerajaan/Bangsawan yang tak diurus.
- Rakyat Masuk, Tinggal, Buka Kebun, Rapikan, Jalan, Pasar, dan lain-lain
- Negara memberikan Legalitas Kependudukan, Bentuk RT/RW/Kelurahan, dan lain-lain
- Â Tanah mempunyai Nilai Ekonomi.
- Setelah Tanah mempunyai Nilai Ekonomi, masuk Investor kolaborasi dengan Pemda
- Kolaborasi menulusuri Sejarah Tanah; dan harus menemukan bahwa itu Tanah Negara dan Rakyat Menggunakan atau menggarap dan Tinggal Secara Tidak Sah
- Selanjutnya, Kolaborasi Investor dan Pemda melakukan berbagai Rekayasa agar "Rakyat Tergusur"
Akar Konlik Tanah yang mendasar tersebut, bisa tidak terjadi jika rakyat tak punya hak tinggal di "Tanah Terlantar" maka:
- Sejak awal jangan berikan ijin tinggal, garap, dan lain-lain
- Jangan berikan fasilitas Jalan, Air, Sekolah, Puskesmas, dan serterusnya
- Jangan berikan KTP
- Jangan bentuk RT RW Desa/Kelurahan
Faktanya, pada area Konflik Tanah, semuanya ada. Bahkan, Nilai Ekonomi area tersebut menaik, perputaran uang, serta pergerakan orang yang melaju. Sudah seperti itulah, baru Investor dan Pemda datang dengan alasan mau digunakan untuk kepentingan Negara. Selanjutntnya, anda nambah sendiri.
Tapi, jika memang Pemerintah dan Investor mau menggunakan Tanah yang Nilai Ekonominya telah naik tersebut, maka perlu konpensasi dan apresiasi terhadap warga; bahkan puluhan tahun mengembangkan hidup kehidupan dengan damai di situ.
Konpensasi dan apresiasi tersebut bisa berupa "ganti untung" 3 hingga 5 kali harga tanah. Dengan pertimbangan rakyat lah yang merapikan area, menimbun rawa, serta membangun keluarga, persaudaraan, komunitas; sesuatu yang tak ternilai dengan uang. Dan, masih banyak pertimbangan lain.
Gukuplah