Mohon tunggu...
sastrabiru
sastrabiru Mohon Tunggu... GURU -

Pak Guru. kurang piknik, kelebihan ngopi.~

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Cerpen] Kebun Kopi dan Gubuk Ingatan

29 Agustus 2016   18:07 Diperbarui: 1 April 2017   09:10 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri - Vicky Mokoagow - 2016

Matahari mulai merabung di Cakrawala. Gunung-gunung sedang melamun dibalik halimun yang enggan pergi dari pundaknya, sesekali mereka menertawai manusia-manusia berseragam yang sibuk lalu-lalang di jalanan.
Ah manusia-manusia, sedang mengejar apa kalian? Bahkan belum sempat saya ngopi, kalian sudah sok sibuk begini. Gumam Gunung, dalam batin.

Begitulah senin pagi di dusun kami, selalu sibuk dengan caranya sendiri.

Saya tak ke Sekolah, karena badan masih payah paska Diklat Prajabatan kemarin.

Diluar kamar bapak sedang sibuk siap-siap ke kebun. Bapak saya memang seorang pekebun yang ulung. Di saban hari, sehabis ngopi pagi, ia senantiasa berangkat ke Kebun dengan seragam kucelnya yang sarat noda, menggantungkan parang di pinggang, dan berjalan diatas lars kesayangannya. Pergi pagi dan pulang tak menentu; kadang sehabis Ashar, kadang Maghrib, kadang pula ia tiba saat kedua cucunya sedang asik menonton serial kartun Sopo & Jarwo.

"Ndak ke sekolah ky?" (Tidak ke sekolah ky?) Singgungnya sembari memasukkan kaki kedalam sepatu lars.

"Masih lalah, rupa ndak sehat le ini."
(Masih capek, badan serasa tidak sehat) Jawabku, malas.

"Atau mo ka kobong jo? Supaya refreshing lagi toh." (Atau ke kebun saja? Sekalian refreshing juga kan) Ajak bapak, penuh suka.

Saya hening, sembari menakar manfaat dan mudarat dari ajakan Bapak barusan.

Beberapa detik kemudian.

"Marijo dang. Mar mo baganti dulu." (Ayolah kalo begitu. Tapi saya ganti baju dulu)
Badan bergegas menuju lemari, mencari pakaian lusuh untuk seragam ke kebun. Dan senin kali ini, saya memilih kebun. Maafkan Kepsek.

*

Motor berjalan pelan menuju kebun kopi di Molengku, melahap jalanan hitam yang menyisahkan jejak-jejak segar manusia dan kesibukannya. Saya menyetir motor sendirian, dan Bapak di motor tua kami, bersama Ibu --yang juga tak ke Sekolah-- dan keponakan saya, Alika. Ibu memang mulai kehilangan semangat ke Sekolah sejak ia di Mutasi ke salah satu SD di sebuah desa tempat berdirinya P.T JRBM, juga tunjangannya yang sudah sampai 2 (dua) candra belum pernah menyentuh tangannya, ditambah usianya yang sudah berkepala lima.

Tapi lebih dari itu, yang saya tahu, Ibu saya adalah seorang perempuan yang mencintai kebun kami dengan sepenuh hatinya. Maka jika ia berani menggadai waktu ke sekolah dan menukarnya dengan memilih ke kebun, itulah bagian dari resiko ia mencintai kebunnya.

Pernah ia berturur kepada saya, bahwa saat ke Kebun, ia selalu merasa sedang kembali ke masa-masa kecilnya, masa-masa ia hidup dan tumbuh besar bersama kakek & nenek saya, yang hidup dalam papah di bawah atap gubuk mereka yang selalu hangat. Sekalipun katanya, setiap hari perut mereka se-kakak-beradik hanya diasupi Pisang, Ubi, dan sayur-sayuran yang tumbuh liar di ladang untuk mengganjal lapar di saban siang dan malam. Kata Ibu juga, cara ia menghargai belas-kasihan dan pengorbanan kedua orang-tuanya adalah dengan selalu merawat kebun ini, dan ia bersumpah pada dirinya, sampai kapanpun tak akan pernah menjualnya ke tangan orang-orang Cina yang setia mengiming-iminginya dengan ratusan juta. Pernah juga ia bertutur, "nanti, kalo Mama so ndak ada, ini kobong ngana musti rawat, dengan jangan pernah jual pa Ko' atau sapapun." (Kelak, jika Ibu sudah tiada, kebun ini harus kau rawat, dan jangan pernah jual sama si Koh atau siapapun).

Duhhh, mata sudah berkaca-kaca. Kita lewati saja paragraf ini ya, teman-teman. Hihihi...

*

Tak sampai 10 (sepuluh) menit motor sudah tiba di Molengku, tak jauh dari danau Tondok. Untuk sampai ke jantung kebun kami, masih harus melalui jalanan kerikil yang membentang di sekitaran kebun milik seorang Tionghoa bernama Koh Aweng, kira-kira 200-an meter.

Sudah lama saya tak berkunjung ke kebun ini. Banyak yang berubah. Kali ini motor bisa berjalan terus sampai ke depan gubuk. Karena sudah dibangun jembatan beton yang melintang diatas sungai kecil yang membelah ladang milik Koh Aweng. Dulu, saat bocah, motor tak bisa sampai ke depan gubuk, melainkan harus ditanggalkan di depan pondok milik si Koh, kemudian berjalan melewati sungai serta barisan padang-ilalang sembari menenteng sendal sebelum sampai ke depan Gubuk.

Begitupun saat melewati Pondok dua susun milik Koh Aweng. Kali ini berubah total. Pondoknya kini lebih mirip villa, serta wajah orang yang menjaga pondoknya bukan lagi orang yang saya kenal dulu ketika bocah.

Dulu saat masih sering datang kesini, saya akrab sekali dengan penjaga kebun si Koh. Namanya Om Ape'. Ia berasal dari desa Otam. Ia seorang yang selalu berbaik hati kepada kami sekeluarga. Kadang saat pulang dari kebun dan mampir di pondoknya, ia selalu merepotkan diri untuk menyuguhkan kopi, dan kadang bila ada pisang atau ubi yang ia petik dari ladang, ia akan menggorengnya kemudian menghidangkannya disamping kopi. Kadang pula jika kami membawakanya kue atau rokok, ia tanpa hitung-hitungan akan menukarnya dengan beberapa ekor ikan nila yang ia tangkap diam-diam tanpa sepengetahuan dari Majikannya, dari empang yang berjejer disekitaran pondok.

Motor terus berjalan pelan melalui jalanan kerikil tepat disamping sungai kecil yang masih bening dan dingin. Kini mulai memasuki ladang milik si Koh, tinggal 100-an meter untuk sampai ke gubuk kami. Banyak yang berubah. Kali ini ladang milik si Koh sudah ditanami kopi Arabika, disekitarnya adalah barisan rapi tanaman bulanan; bawang dan rica. Beberapa orang pekerja sedang membersihkan rumput dengan tangan mereka yang kotor.

Sementara diseberang ladang Koh, tepat di depan kebun kami, tampak berdiri gedung beton, mewah, bercat putih, atapnya berwarna merah tua, serta cerobong asap berwarna coklat menjulang sendirian diujung atapnya. Sekilas gedung ini mirip bangunan ala-ala Skandinavia. Dan tentu, ini tempat santai Cina-cina berduit ditiap akhir pekan.

dokpri - Vicky Mokoagow - 2016
dokpri - Vicky Mokoagow - 2016
Disekitarnya menghampar danau kecil artfisial. Sebuah pondok kayu berdiri bersanding dengan sebuah jenteran untuk menyuplai listrik, tepat diatas danau kecil itu, dan tentu sebuah jembatan beton bercat merah melintang menghubungkan daratan dengan pondok, yang entah milik siapa itu.

Masih segar diingatan, dulunya, ladang ini tak ada danau kecil dan gedung semewah itu. Hanya sebuah ladang yang dipadati pepohonan cengkeh. Dan diantara barisan padat cengkeh itu, saya ingat betul, berdiri sebuah gubuk tua kesepian, beserta seekor anjing setia yang tunak berjaga-jaga di pelataran gubuk, yang akan menyalak tak segan-segan setiap orang yang melalui ladang itu, serta ketika senja datang bersama halimun, ia akan meraung panjang, tajam dan sendu, seakan menangisi kesepian di sekitar gubuk dan ladang di saban malam. Kini segalanya berubah, duit menyulapnya menjadi sedemikian megah begini. Tak ada lagi barisan pepohonan cengkeh yang rapat, serta gubuk tua dan seekor anjing yang sendu, dulu.

Motor akhirnya sampai di depan gubuk, tepat dijantung kebun kami. Kabun ini masih sama, tak ada yang berubah, kecuali pohon-pohon cengkeh yang dulunya setinggi anak ayam, kini sudah melebihi tinggi atap gubuk tua kami. Deretan pepohonan kopi robusta tampak menghijau-pekat diatas lahan seluas 1 hektare. Daun-daunnya sambung menyambung, membentuk selubung, seakan tak memberi celah untuk binar matahari menyambar ke tanah. Gubuk tua kami yang masih sama itu, serasa berdiri sendirian diatas lautan hijau pekat pepohonan kopi.

Saya harus berjalan pelan melalui pepohonan kopi sebelum kesomplok di samping gubuk tua kami.

Dan tibalah diri didepan gubuk tua yang lama tak dijumpai ini; Ia masih sama, sekalipun mulai leler dimakan usia. Kayu-kayu yang membungkus rangkanya juga masih sama; hanya kian renta dimakan tua, kian ringkih melawan dingin yang dikirimkan hawa danau tondok. Saya masih berdiri di letak yang sama, disamping gubuk tua, mematung tanpa kata-kata; mengeluarkan sebatang rokok, membakar ujungnya, menyesap buntutnya dan membubungkannya penuh legah ke langit senin yang merdeka.

dokpri - Vicky Mokoagow - 2016
dokpri - Vicky Mokoagow - 2016
Kaki berjalan pelan menaiki anak tangga yang renta, menuju beranda gubuk, yang lama tak menjumpai anak kecil ini, yang dulunya biasa bernyanyi dan bermain sendirian ketika Ibu & Bapaknya pergi mencangkul di ladang, hingga terlelap dalam penantian dipangkuannya. Entah, ia masih mengingat anak kecil yang kini tumbuh dewasa dengan misai yang melintang diatas bibirnya, dan janggut yang mulai bergelantungan pasrah di dagu tajamnya, serta gaya bicaranya yang kini sering menyelipkan bahasa-bahasa buku; ah, aku baru sadar sudah mulai tumbuh dewasa ketika berjumpa Gubuk tua ini.

Dan kau gubuk tua, tentu kau sudah lupa seorang lelaki ceking dengan kepala cepak yang sedang duduk dipangkuanmu yang selalu hangat ini. Tentu ingatanmu sudah mengeras dibekukan dingin, tapi segala romansa kita masih terpahat jelas di dinding-dinding kayu yang menyelimuti rangka tua mu ini, itu masih bisa aku baca dengan sejernih-jernihnya ingatan.

Pandangan aku hempaskan, menyoroti segala yang tampak; ke padang ilalang, ke pepohonan kopi yang mulai terasingkan (dari sini aku mulai tahu, bahwa pohon-pohon kopi mulai digantikan dengan tanaman bulanan, hanya tertinggal di kebun kami dan beberapa batang di ladang si Koh), ke gunung-gunung yang mengepung lembah-lembah yang damai, ke pematang yang kekeringan di antara empang-empang yang menghidupkan ikan-ikan, ke ladang-ladang subur yang sedikit lagi dipanen.

Berada di gubuk tua ini, serasa berada di rumah ingatan, dimana guratan-guratan masa lampau serasa hidup, menari-nari didalam kepala, memuntahkan kembali segala yang dimakan lupa. Seketika ingatan melompat jauh ke belakang, menelisik tumpukan sejarah yang mengendap ke sisi paling dasar ingatan, terlalu lama dilupakan; masa-masa kecil yang bahagia, berlari-larian tanpa alas kaki dibawah ketiak pepohonan kopi, menyambar rumput-rumput liar tak berdosa, menyanyi merdeka diatas puncak, mandi kedinginan didalam sungai, hingga menjumpai lelah dan merebah badan tanpa perintah dipangkuan si gubuk tua, hingga kemudian digitong Ibu pulang ke rumah ketika senja mengajak pulang. Ah, masa-masa kecil yang merdeka, betapa paripurna masa silam kita.

Tentu, setiap kita, dimanapun tanah yang kita pernah singgahi dan berdiri; selalu memiliki cerita yang ia simpan dan tak ia kurangi sedikitpun. Begitulah cara ruang dan waktu merawat cerita-ceritanya, yang kadang dilupakan manusia.

*

"Ada cingke itu babuah, pijo pete, supaya tu badan masih ta ba gara." (Ada cengkeh itu yang berbuah, silahkan petik, biar badanmu masih bergerak)
Singgung Ibu melihat anaknya yang sedang terjaga khayalan.

Ingatan itu tiba-tiba buyar, kembali menyelinap kedalam kepala, tersusun rapi seperti semula.

"Oh io, mana karong dang, supaya kita somo pi pete." (Oh ia, karungnya mana, biar saya langsung pergi memetik) jawabku setengah malas.

Saya kemudian berjalan menuju ke bagian puncak, ke pohon cengkeh yang ditunjuk Bapak. Membopong badan yang mulai payah ketika menaiki tanjakan. Tak lagi sama ketika bocah dulu, yang selalu tak mengenal lelah ketika naik turun di tanjakan yang sama.

Doh, gara-gara nikotin ini, deng tentu kuda-kuda yang so payah gara-gara so takuras for cari anak pertama (duh, ini gegara nikotin dan lutut yang mulai payah akibat dipakai buat program anak pertama) gumamku dalam batin.

Dan saya tahu, gunung-gunung sedang menertawai dengan remeh diri yang mulai tak berstamina ini.

Payah!

[*]

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun